Vaksinasi Jadi Puzzle Penting Imunitas Tubuh

MONITORDAY.COM - Mengapa orang yang sebelumnya telah pulih dari COVID-19, masih memiliki kekuatan yang lebih kuat? hal itu dikarenakan mereka telah divaksinasi. Lantas respon imun setelah divaksinasi dibandingkan mereka yang tidak pernah terinfeksi seperti apa?
Vaksinasi merupakan cara yang efektif untuk melindungi tubuh dari dampak buruk virus corona dengan cara membentuk sistem kekebalan untuk melawan virus tersebut. Selain vaksinasi, sistem kekebalan terhadap virus corona juga akan terbentuk ketika seseorang terinfeksi oleh virus tersebut.
Apa yang akan terjadi ketika seseorang yang sudah pernah terinfeksi virus corona juga menerima vaksin COVID-19? Kombinasi infeksi alami dan vaksin dikatakan bisa membentuk sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat yang bisa memberi perlindungan yang lebih besar terhadap virus corona dan varian lainnya. Itulah mengapa orang yang sudah pernah terpapar virus corona dan mendapatkan vaksin COVID-19 dikatakan memiliki “super immunity”.
Sebelum Delta dan varian covid-19 hadir setahun yang lalu, sekitar setahun yang lalu - -Ahli virologi Theodora Hatziioannou dan Paul Bieniasz, keduanya di Universitas Rockefeller di New York City, telah mulai membuat versi protein kunci SARS-CoV-2 dengan kemampuan untuk menghindari semua antibodi penghambat infeksi dalam tubuh.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi bagian lonjakan – protein yang digunakan SARS-CoV-2 untuk menginfeksi sel – yang ditargetkan oleh antibodi penetral ini untuk memetakan bagian penting dari serangan tubuh kita terhadap virus.
Jadi para peneliti mencampur dan mencocokkan potensi mutasi yang diidentifikasi dalam eksperimen laboratorium dan virus yang beredar, dan menguji lonjakan Franken mereka pada virus 'pseudotype' yang tidak berbahaya yang tidak mampu menyebabkan COVID-19.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan September ini di Nature1, mereka melaporkan bahwa mutan lonjakan yang mengandung 20 perubahan sepenuhnya resisten terhadap antibodi penetral yang dibuat oleh sebagian besar orang yang diuji yang telah terinfeksi atau divaksinasi - tetapi tidak untuk semua orang.
Mereka yang telah pulih dari COVID-19 beberapa bulan sebelum menerima vaksinasi Covid-19, menyimpan antibodi yang mampu melawan lonjakan mutan, yang menunjukkan lebih banyak resistensi terhadap serangan kekebalan daripada varian alami yang diketahui.
Antibodi orang-orang ini bahkan memblokir jenis virus corona lainnya.
“Sangat mungkin mereka akan efektif melawan varian masa depan apa pun yang dilemparkan oleh SARS-CoV-2 terhadap mereka,” kata Hatziioannou, dikutip dari Nature (14/10/2021).
Saat dunia mewaspadai varian virus corona baru, dasar dari 'kekebalan super' semacam itu telah menjadi salah satu misteri besar pandemi.
Para peneliti berharap, dengan memetakan perbedaan antara perlindungan kekebalan yang berasal dari infeksi dibandingkan dengan vaksinasi, mereka dapat memetakan jalur yang lebih aman ke tingkat perlindungan yang lebih tinggi ini.
“Ini memiliki implikasi pada booster dan bagaimana respons kekebalan kita siap untuk varian berikutnya yang muncul,” kata Mehul Suthar, ahli virus di Emory University di Atlanta, Georgia.
Hal senada diutarakan oleh Pandu Riono, Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI).
Menurutnya, vaksinasi pada orang yang sudah terinfeksi Covid-19 meningkatkan kadar imun yang lebih tinggi. Kondisi ini dikenal dengan nama super immunity.
"Vaksinasi pada orang yang sudah terinfeksi, ternyata meningkatkan kadar imun yang lebih tinggi dibandingkan pada orang yang belum terinfeksi dan vaksinasi," kata Pandu, Senin (18/10), dikutip dari Merdeka.com (19/10/2021).
Kondisi super immunity bisa mengurangi penggunaan vaksin dosis ketiga atau booster. terutama pada masyarakat umum.
"Kondisi itu juga (menyebabkan) vaksinasi suntikan ke-3 tak diperlukan pada penduduk pada umumnya," ujar Pandu.
Vakinasi Covid-19 Booster (ke 3)
Masih menurut Pandu, saat ini pemerintah baru menetapkan pemberian suntikan vaksin Covid-19 dosis ketiga kepada tenaga kesehatan.
Sementara untuk masyarakat umum, belum diputuskan.
"Kalau tahun depan akan diselenggarakan hanya pada lansia dan komorbiditas. Belum diputuskan apakah nanti ada suntikan ke-3,” ucapnya.Sementara itu, Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pemerintah belum memutuskan pemberian vaksin Covid-19 dosis ketiga kepada masyarakat.
Pemerintah masih menunggu hasil uji klinis tahap tiga terkait booster oleh para produsen vaksin.
Selain itu, pemerintah juga menunggu publikasi ilmiah Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengenai hasil monitoring studi booster dan rekomendasi ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization).
"Kita tunggu rekomendasi WHO dan para ahli tentang bagaimana langkah terkait booster ini," jelas Nadia.
Mengenai vaksin ketiga, kata Matthieu Mahévas, seorang ahli imunologi di Necker Institute for Sick Children di Paris, akan baik didapatkan untuk mereka yang belum terinfeksi Covid-19.
Untuk mendapatkan manfaat dari kekebalan hibrida, sebuah studi dari Qatar menunjukkan bahwa orang yang mendapatkan vaksin mRNA Pfizer–BioNTech setelah infeksi cenderung tidak positif COVID-19 dibandingkan individu yang tidak memiliki riwayat infeksi.Kekebalan hibrida mungkin juga bertanggung jawab atas penurunan jumlah kasus di seluruh Amerika Selatan, kata Gonzalo Bello Bentancor, ahli virologi di Oswaldo Cruz Institute di Rio de Janeiro, Brasil.
Banyak negara Amerika Selatan mengalami tingkat infeksi yang sangat tinggi di awal pandemi, tetapi sekarang telah memvaksinasi sebagian besar populasi mereka.
Ada kemungkinan bahwa kekebalan hibrida lebih baik daripada kekebalan dari vaksinasi saja dalam memblokir penularan, kata Bello Bentancor
Kemudian, bagaimana dengan mereka yang tidak divaksinasi sama sekali?
Tak bisa dipungkiri, pro dan kontra soal vaksinasi masih ramai diperbincangkan. Selain mereka yang pro dengan vaksinasi, ada juga yang kontra. Namun ada alasan di balik tak diperbolehkannya kategori-kategori tertentu untuk divaksinasi Covid-19? berikut penjelasannya.
Orang yang Sedang Sakit
Pada dasarnya, vaksin yang didistribusikan telah lolos uji klinis serta mendapatkan Emergency Use Authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar terjamin keamanan dan kemanjurannya. Pengujian ini dilakukan kepada orang-orang yang sehat secara fisik, sehingga belum ada data penyuntikan vaksin kepada orang yang sedang sakit.
Namun ternyata, hal ini pun dilakukan bukan tanpa alasan. Orang yang sedang sakit, sistem kekebalan tubuhnya sedang berupaya melawan infeksi yang diderita, sehingga kalau divaksinasi, dikhawatirkan akan menimbulkan penyakit yang lain. “Karena itu, seseorang yang sedang sakit belum boleh divaksin dan perlu menunggu sembuh dulu untuk bisa divaksin Covid-19,” kata dr. Vertando.
Orang dengan Komorbid yang Tidak Terkontrol
Kamu pasti tak asing lagi dengan istilah komorbid, kan? Orang dengan komorbid atau penyakit penyerta yang tak terkontrol tidak boleh divaksinasi agar tidak terjadi ketimpangan reaksi. “Kalau tetap divaksinasi dan tubuhnya mengalami reaksi tertentu, akan sulit buat tenaga medis menentukan reaksi itu bersumber dari penyakit penyertanya atau vaksin Covid-19. Walaupun memang biasanya efek samping vaksin itu ringan, sebagai tanda tubuh sedang membangun perlindungan terhadap virus Covid-19,” jelas dr. Vertando.
Terus, gimana dengan penyakit penyerta yang terkontrol? Jika komorbid terkontrol (minum obat rutin, kondisi fisik fit) dan sudah dapat surat keterangan dari Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP), Smartcitizen boleh kok divaksinasi Covid-19 sesegera mungkin. Makanya, jangan lupa check up rutin, ya!
Individu Berusia di Bawah 18 Tahun
Sampai saat ini, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Komite Ahli Penasihat Imunisasi Nasional belum mengeluarkan rekomendasi vaksinasi Covid-19 untuk individu berusia di bawah 18 tahun, karena belum ada data dari hasil uji klinis.
Tapi, jangan khawatir, segala kemungkinan dapat terjadi di waktu mendatang. “Pelaksanaan vaksinasi akan terus berkembang sesuai dengan penelitian sains. Jika nanti sudah ada uji klinis vaksin untuk orang berusia di bawah 18 tahun, para ahli akan memberikan rekomendasi ke pemerintah dan pemerintahlah yang berwenang untuk mengeluarkan kebijakan vaksinasi tersebut.
Seiring dengan waktu, vaksin kini telah diberikan hingga ke anak usia 6 tahun.
Individu dengan Riwayat Penyakit Autoimun
Menyuntikkan antigen yang terkandung pada vaksin ke dalam tubuh akan membuat sistem kekebalan tubuh belajar mengenali antigen tersebut. Jika di kemudian hari kita terpapar virus yang mengandung antigen, sistem kekebalan akan mengenalinya dan menyerang secara agresif, sebelum patogen menyebar lalu kita jatuh sakit.
Namun, berbeda dengan orang yang memiliki riwayat autoimun. “Orang yang sakit autoimun, sistem kekebalannya menyerang tubuh sendiri, sehingga bila divaksinasi Covid-19 dikhawatirkan kekebalan tubuh akan melemah dan lebih rentan terinfeksi virus, termasuk Covid-19,” ungkap dr. Vertando.
Penyintas Covid-19 yang Belum Tiga Bulan Pulih
Penasaran kenapa seorang penyintas Covid-19 tidak boleh divaksinasi sebelum tiga bulan pulih? Kenapa pula harus tiga bulan? “Seseorang yang sudah pernah positif Covid-19 memiliki kekebalan alami. Tapi, setelah 3 bulan, jumlah antibodi dalam tubuhnya berkurang sehingga kekebalan alami tersebut berkurang juga,” tutur dr. Verando. Karena itu, penyintas Covid-19 direkomendasikan untuk vaksin setelah tiga bulan pulih, agar kekebalan tubuh terhadap virus semakin baik.
Wanita Hamil
Sejauh ini, penyebab wanita hamil tidak diperbolehkan untuk divaksin karena data hasil uji klinis belum tersedia, sehingga vaksin belum dapat dipastikan aman untuk kelompok ini. Lalu, bagaimana dengan perempuan yang baru tahu dirinya hamil setelah mendapat vaksinasi dosis pertama?
“Tentunya perlu konsultasi ke dokter spesialis kandungan untuk memantau perkembangan janin,” tutur dr. Vertando. Selain itu, wanita hamil juga tidak boleh mendapatkan suntikan vaksin dan vaksinasi dosis kedua ditunda sampai setelah melahirkan. “Untuk wanita yang sedang program hamil, sebaiknya menunda program dan kembali melanjutkan sebulan setelah mendapat vaksinasi dosis kedua,” tambahnya.
Orang dalam Pengobatan Gangguan Pembekuan Darah, Defisiensi Imun, dan Penerima Produk Darah/Transfusi
Selain karena belum ada data untuk kelompok ini dari hasil uji klinis, para ahli juga mengimbau agar orang dalam pengobatan gangguan pembekuan darah, defisiensi imun, dan penerima produk darah tidak divaksin. “Ini karena dikhawatirkan terjadi komplikasi ataupun muncul penyakit yang dapat memperparah kondisi orang yang sedang dalam pengobatan tersebut,” ungkap dr. Vertando.
Sebagai catatan, ketentuan ini berlaku untuk semua jenis vaksin Covid-19 yang sudah didistribusikan di Jakarta. Tetapi, aturan terkait kelompok yang tidak boleh divaksinasi ini dapat berubah sewaktu-waktu, seiring dengan perkembangan hasil penelitian, uji klinis, maupun rekomendasi para ahli.
Vaksin untuk Semua
Sejatinya, vaksinasi bersifat inklusif. Namun, seperti yang sudah dibahas, memang ada kelompok-kelompok individu yang tidak boleh divaksin karena kondisi kesehatan. Selain itu, jumlah vaksin saat ini masih terbatas, sehingga pemerintah harus melakukan vaksinasi secara bertahap, berdasarkan prioritas penerima vaksin. Misalnya, Vaksinasi Tahap 1 untuk Tenaga Kesehatan, Vaksinasi Tahap 2 untuk Lansia dan Petugas Pelayan Publik, Vaksinasi Tahap 3 untuk masyarakat rentan dari aspek geospasial, sosial, dan ekonomi, serta Vaksinasi Tahap 4 untuk masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya.
Penentuan prioritas ini bukan tanpa alasan. Sebagai garda terdepan dalam memerangi virus Covid-19, tenaga kesehatan punya tingkat risiko penularan dan kematiannya tinggi. Begitu pun dengan lansia yang persentase kasus positifnya tinggi. Sementara pelayan publik yang bekerja dekat dengan masyarakat sangat berisiko terpapar virus. Oleh karena itu, vaksinasi tahap 1 dan tahap 2 yang sudah berlangsung ini diprioritaskan untuk mereka.