Bom Waktu itu Bernama Sampah

Diperkirakan jika pengelolaan sampah di sana tidak menemui kemajuan, maka tahun 2021 TPST Bantargebang sudah tidak mampu lagi menampung sampah dan akan ditutup.

Bom Waktu itu Bernama Sampah
Sumber gambar: vice.com

MONDAYREVIEW.COM – Modernitas meniscayakan adanya kemudahan dalam produksi. Produksi barang dan jasa bisa dilakukan secara massal dengan jauh lebih efektif dibanding dengan era sebelumnya. Produksi dengan skala industry juga membuat harga barang terjangkau oleh mayoritas masyarakat. Roda ekonomi yang digerakkan oleh para kapitalis bertumpu pada industry-industri ini. Namun, banyaknya produksi barang secara massal artinya juga produksi sampah secara massal. Negara-negara maju relative bisa melakukan pengelolaan sampah dengan baik. Namun di negara berkembang seperti Indonesia, persoalan sampah masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah. Sayangnya persoalan ini juga tak banyak yang memperhatikan, karena lebih fokus pada persoalan politik kekuasaan.

Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) bagi sampah yang ada di Jakarta adalah Bantargebang Bekasi. Di sana, sampah sudah menjadi bagaikan bukit bahkan gunung. Di sana ada gunungan sampah secara harfiah, banyak juga pemulung yang mencari nafkah di sana. Hal ini menjadi sorotan Leonardo de Caprio, artis terkenal Hollywood yang juga aktivis lingkungan hidup. Setiap hari sekitar 6.000-7.500 ton sampah masuk ke Bantargebang. Diperkirakan jika pengelolaan sampah di sana tidak menemui kemajuan, maka tahun 2021 TPST Bantargebang sudah tidak mampu lagi menampung sampah dan akan ditutup. Tentu jika Bantargebang ditutup, maka mau tidak mau kita harus mencari lagi lokasi lain sebagai pengganti. Jika tidak ditemukan, maka persoalan sampah akan menjadi bom waktu yang meledak sewaktu-waktu.

Persoalan lainnya adalah rendahnya kepedulian pemerintah terhadap para pemulung di sana. Padahal mereka lumayan membantu untuk menguraikan sampah-sampah di Bantargebang. Menurut para pemulung di sana, Bantargebang bukanlah lautan sampah, namun lautan uang. Banyak yang menemukan barang-barang berharga di balik tumpukan sampah. Barang-barang biasapun bisa dijual ke penadah. Menurut mereka yang tidak bisa dijadikan uang hanyalah daun dan obat. Sayangnya para pemulung ini tidak memperhatikan keselamatan, karena di gunung sampah tersebut banyak benda tajam, lalu di gunung sampah tersebut rentan jatuh saat mendaki sampah. Para pemulung ini tidak mempunyai jaminan kesehatan dalam melaksanakan aktifitasnya.

Ada beberapa wacana yang digulirkan guna menyelesaikan persoalan sampah ini. Salah satunya adalah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PTLSa). Sampah-sampah yang ada dibakar dan dibuat menjadi tenaga pendorong listrik. Sayangnya sampah-sampah yang ada banyak yang merupakan organic sehingga menghasilkan kalori yang rendah. Para aktivis lingkungan pun masih mengkritik rencana pembangunan PLTSa karena dinilai masih mempunyai dampak negative dari lingkungan.

Cepat atau lambat, otoritas yang berwenang mesti melakukan akselerasi guna memecahkan persoalan sampah ini. Sembari masyarakat juga mesti diberikan kesadaran untuk meminimalisir produksi sampah rumah tangga dan memilah sampah berdasarkan jenisnya. Jika rumah tangga sudah banyak yang sadar untuk meminimalisir memproduksi sampah rumah tangga, maka persoalan TPST Bantargebang bisa sedikit diatasi. Diperlukan upaya dari atas yakni pemerintah dan bawah yakni masyarakat guna menyelesaikan persoalan sampah.