Hapus Kebijakan 1 Negara 2 Sistem di Tengah Pandemi, China Caplok Hongkong

China akhirnya menghilangkan hak istimewa Hongkong/HK (special previlage) yang menjalankan 'satu negara, dua sistem'

Hapus Kebijakan 1 Negara 2 Sistem di Tengah Pandemi, China Caplok Hongkong
1 Negara 2 Sistem di Tengah Pandemi, China dan Hongkong

MONDAYREVIEW.COM - China akhirnya menghilangkan hak istimewa Hongkong/HK (special previlage) yang menjalankan 'satu negara, dua sistem'. Di bawah struktur itu, HK diberikan kekuasaan pemerintahan sendiri, dengan kerangka hukum dan ekonomi yang sebagian besar terpisah dari China, serta berbagai kebebasan lain termasuk hak pemilu yang terbatas.

Sistem seperti itu mendasari status HK sebagai pusat keuangan dan bisnis global, terutama sebagai perantara antara China dan dunia.

Namun kebijakan 'satu negara, dua sistem'yang sudah berjalan selama 50 tahun sejak mendiang Deng Xiaoping yang merupakan Presiden China penerus Mao Zedong yang sukses mengubah negara China yang pesakitan dan kelaparan, kini menjadi kekuatan ekonomi yang mampu bersaing ketat dengan Amerika.

China, dibawah Presiden China, Xi Jinping kini menginginkan hak terhadap Hongkong lebih luas lagi. Ia memerintahkan semua pemegang ID Card (KTP) dan passport akan Hongkong bakal dicabut dan ganti dengan KTP dan passport china. Semua kebijakan pemerintahan hongkong di kendalikan oleh beijing. 

Bahkan,  Presiden Xi mengultimatum bagi siapa saja yang menyimpan dolar hongkong harap segera di lepaskan.  Selama ini uang kertas yang berlaku hongkong di cetak oleh Hongkong Satndard Bank Chartered (HSBC Inggiris) namun kini semua uang kertas hongkong di cabut dan penukarannya menjadi mata uang YUAN china dengan nilai sama.

Menanggapai kebijakan sepihak China, Kementerian Dalam Negeri Inggris menilai Hongkong adalah bagian dari Common Wealth British (Negara Persemakmuran Inggris) membuat kebijakan dramatis.

Inggris  mengumumkan peluang bagi warga Hong Kong untuk mengajukan diri menjadi warga negara Inggris, dan banyak orang kemungkinan akan mendaftar mengingat China akan memberlakukan undang-undang keamanan super ketat di wilayah bekas koloni Inggris itu.

Keputusan pemerintah Inggris itu membuat China geram, dan kemungkinan akan mendapat kecaman keras dari para pendukung tradisional Partai Konservatif yang menentang imigrasi.

Dilansir The Guardian, hari Kamis (28/5/2020) Menteri Luar Negeri Dominic Raab mengatakan Inggris akan memperpanjang hak visa bagi sekitar 350.000 orang pemegang paspor kebangsaan Inggris di seberang lautan (BNO), apabila Beijing benar-benar akan mengimplementasikan UU keamanan nasional yang ketat terhadap wilayah Hong Kong. 

Dia mengatakan hak visa diperpanjang dari periode 6 bulan menjadi 12 bulan sehingga memberi jalan bagi mereka yang ingin mengajukan permohonan menjadi warga negara Inggris.

Akan tetapi, hari Jumat Kementerian Dalam Negeri dalam blog di websitenya menjelaskan bahwa ketentuan itu hanya berlaku bagi pemegang paspor BNO yang tinggal di Hong Kong. Sekitar 2,9 juta orang di Hong Kong memegang paspor BNO, tetapi sebagian besar tidak memperpanjangnya. Paspor BNO itu dikeluarkan untuk warga Hong Kong semasa teritori yang menjadi koloni Inggris itu diserahkan kembali ke China pada 1997.

Menanggapi hal itu, Kementerian Luar Negeri China mengatakan bahwa London sudah pernah menyetujui bahwa pemegang paspor BNO tidak akan menikmati hak residensi dan bahwa tawaran itu melanggar hukum internasional dan memperingatkan kemungkinan tindakan balasan dari Beijing.

China khawatir kebijakan itu akan menggerus sumber daya manusia dari kota internasional yang makmur tersebut dan akan mengusik stabilitas perekonomian Hong Kong, pusat bisnis dunia yang sangat berharga bagi Beijing.

Tidak jelas apakah wakil-wakil rakyat dari Partai Konservatif akan mendukung kebijakan itu, mengingat pemerintah Inggris (yang dikuasai Konservatif) saat ini berjuang mati-matian untuk keluar dari Uni Eropa agar dapat mengambil alih kedaulatannya atas kontrol imigrasi.

Tampaknya, China memanfaatkan seluruh negara-negara yang sibuk menangani COVID-19 kemudian melancarkan mimpi negeri komunis tersebut.  Banyak pihak menilai, Xi Jinping ingin menaikan level perang syaraf otak dengan rival-rivalnya termasuk Amerika Serikat.