Indonesia Tetap Optimis dan Waspada Hadapi Gejolak Ekonomi Dunia

Indonesia Tetap Optimis dan Waspada Hadapi Gejolak Ekonomi Dunia
ilustrasi uang Rupiah/ net

MONITORDAY.COM - Indonesia harus tetap waspada dalam menghadapi gejolak ekonomi dunia. Pandemi yang sudah mulai reda belum sepenuhnya mengembalikan geliat ekonomi. Pada saat yang sama terjadi serangan Rusia atas Ukraina yang menyebabkan melambungnya harga komoditas terutama minyak yang masih menjadi sumber energi utama. 

Sejauh ini Indonesia berada dalam kondisi ekonomi yang relatif kuat dari terpaan resesi. Strategi Pemerintahan Joko Widodo yang menggulirkan berbagai skema bantuan sosial dan pembiayaan ekonomi UMKM adalah kuncinya. Disamping itu geliat ekonomi juga terbantu oleh pembangunan infrastruktur yang dalam jangka pendek menggerakkan belanja barang dan menyerap tenaga kerja. Dalam jangka menengah dan panjang, infrastruktur yang menunjang konektivitas memberi jalan bagi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi nasional. 

Optimisme atas masa depan ekonomi Indonesia tergambar dalam perbincangan Menteri BUMN Erick Thohir dengan Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Kristalina Georgieva. IMF sendiri memiliki misi untuk memastikan stabilitas sistem moneter internasional. Untuk bisa mencapainya, IMF melakukan tiga cara, yaitu dengan melacak ekonomi global dan ekonomi negara anggota, pinjaman ke negara-negara dengan kesulitan neraca pembayaran, dan memberikan bantuan praktis kepada anggota.

Usai bertemu Kristalina Georgieva Erick Thohir menuturkan bahwa risiko ekonomi Indonesia masuk dalam jurang krisis hanya 3% saja. Meski begitu, geopolitik dan krisis ekonomi global berpotensi berdampak pada ekonomi kita, IMF meyakinkan Indonesia tidak di dalam jurang krisis. Tetapi bukan berarti kita tidak waspada. Karena tadi disampaikan secara internal kita kuat, tetapi secara eksternal yang namanya geopolitik, ekonomi global bisa saja berdampak. 

Kondisi berbeda dialami oleh Sri Lanka dan Pakistan yang kini didera krisis ekonomi. Menurut riset Fitch Solutions tekanan ekonomi kemungkinan akan menghantam Sri Lanka dan Pakistan karena keduanya adalah importir energi dan memiliki defisit transaksi berjalan yang lebar. Defisit transaksi berjalan Pakistan bisa mencapai 4,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sementara Sri Lanka di 4,4% PDB apabila harga minyak terus bertahan di atas US$ 125/barel.

Per Juni 2022 inflasi di Pakistan tidak kurang dari 54,6% (yoy) dengan pertumbuhan ekonomi per Maret 2022 berada pada angka minus 1,4% (yoy). Sementara rasio utang per PDB pada akhir tahun lalu mencapai 117%. Mata uang negara itu juga mengalami pelemahan yang sangat signifikan. 

Setali tiga uang dengan Pakistan, Sri Langka juga mengalami inflasi tahunan hingga 50% dengan inflasi pangan 80%. Sejak 2005 Sri Langka telah mengalami pertumbuhan ekonomi negatif dan sektor manufakturnya menurun tajam. Pendapatan negara itu semakin merosot ketika sektor pariwisata yang menjadi salah satu andalannya terpuruk diterjang pandemi. 

Indonesia harus waspada karena Afghanistan, Argentina, Venezuela, Laos, Turki dan Mesir juga mengalami gejala krisis ekonomi. Inflasi di beberapa negara tersebut cukup tinggi. Di Argentina inflasi diperkirakan mencapai 70% sementara di Mesir hingga 15%. Angka inflasi setinggi itu tentu sangat menyulitkan bagi rakyat negara-negara tersebut. Harga barang yang melambung mencekik rakyat. 

Hingga hari ini ekonomi Indonesia masih relatif aman meski subsidi yang harus digulirkan Pemerintah untuk BBM dan energi lainnya patut diwaspadai. Pemerintah dan rakyat harus bahu-membahu dalam menghadapi situasi sulit ini dengan efisiensi dalam segala hal. Lebih daripada itu jangan sampai terjadi gejolak politik yang akan merugikan masa depan bangsa.