Belajar Menjadi Stoik Dari Nabi Muhammad

MONITORDAY.COM - Isu kesehatan mental semakin populer seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Masifnya penggunaan media sosial oleh masyarakat membuat persoalan kesehatan mental mencuat ke publik. Banyak yang berbagi persoalan psikologisnya dalam kanal-kanal media sosial.
Namun tak hanya itu, media sosial pun disinyalir menjadi salah satu penyebab problem kesehatan mental. Cyber bullying dan debat kusir dapat dengan mudah kita temui di jagat medsos.
Di tengah berbagai kegelisahan dan keresahan yang menghinggapi manusia modern, muncul sebuah inisatif untuk menghidupkan kembali aliran filsafat stoikisme. Stoikisme adalah aliran filsafat terapan dimana para penganutnya mengajarkan kebahagiaan tergantung pada diri sendiri, bukan pada apa yang di luar diri. Salah satu yang mempopulerkan filsafat itu adalah Henri Manampiring dengan buku best sellernya Filosofi Teras.
Penganut Stoikisme disebut Stoik. Dalam pandangan Stoik, dalam hidup ini ada hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan ada hal yang tak bisa kita kendalikan. Kunci kebahagiaan adalah saat kita bisa fokus kepada hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan mengabaikan hal yang ada di luar kuasa kita. Setelah fokus pada hal yang ada dalam kendali, seorang stoik memilih hal yang paling membahagiakan bagi dirinya.
Cuaca hari ini cerah atau hujan adalah hal yang tidak bisa kita kontrol. Namun sikap dan emosi kita terhadap cuaca tersebut adalah hal yang bisa kita kontrol. Apakah kita akan mencaci maki hujan karena membuat tubuh kita basah, atau kita dengan segera mengambil payung untuk mencegah kita lebih basah lagi dua hal ini sepenuhnya ada dalam kendali kita. Tentu seorang stoik akan memilih mengambil payung dibanding mencaci maki hujan.
Komentar-komentar toxic atau kebencian yang ada di media sosial kita adalah hal yang di luar kendali kita. Namun memblokir akun-akun toxic, atau mencaci maki mereka sehingga terjebak dalam debat kusir yang tak berujung itu sepenuhnya dalam kendali kita. Seorang stoik akan memilih untuk memblokir akun-akun tidak bermanfaat dibanding terjebak dalam debat kusir yang memubadzirkan waktu dan energi.
Menurut Stephen R. Covey dalam bukunya 7 Habits of Effective People, sikap ini disebut dengan sikap proaktif. Lawannya adalah reaktif. Seorang manusia tidak sama dengan hewan atau tumbuhan, dimana kedua makhluk ini tidak mempunyai pilihan bebas atas setiap stimulus yang diterimanya.
Tumbuhan putri malu ketika disentuh, maka hukum alamnya dia akan menguncup. Dia tidak punya pilihan lain. Seekor hewan, ketika diancam maka dia akan berlari atau menyerang balik. Pilihannya hanya itu saja.
Manusia tidak begitu. Ketika manusia mendapat stimulus dari luar dirinya, ada banyak pilihan tindakan yang bisa dia lakukan. Namun sayangnya, dalam otak manusia masih ada warisan dari otak hewan yang disebut otak reptil. Hal ini yang membuat manusia seringkali reaktif dalam membuat keputusan. Maka yang terjadi adalah banyaknya konflik bahkan pertumpahan darah.
Rasulullah SAW memberikan pesan kepada kita sebagai seorang mukmin agar bersikap ala Stoik. Suatu hari Rasulullah SAW bersabda bahwa orang mukmin itu luar biasa. Apabila dia mendapat kesenangan, dia bersyukur, apabila dia mendapat musibah, dia bersabar. Dengan syukur dan sabar, maka semua yang dialami oleh orang mukmin adalah kebaikan.
Hadits ini mendorong kita memiliki kecerdasan emosional dalam menyikapi peristiwa yang terjadi dalam hidup ini. Syukur dan sabar adalah respon yang sepenuhnya ada dalam kendali kita. Sementara kesenangan dan kesedihan seringkali berada di luar kendali kita. Rasulullah SAW ingin kita fokus kepada emosi kita, bukan kepada hal-hal yang di luar diri kita.
Tak hanya dalam perkataan, Rasulullah SAW mencontohkan sendiri dalam perbuatan. Saat beliau mendapatkan penolakan dakwah oleh masyarakat Thaif, Malaikat menawarkan untuk mengazab penduduk Thaif. Jika saja Rasulullah SAW mengiyakan tawaran Malaikat, maka Thaif akan luluh lantak saat itu juga. Namun Rasulullah SAW lebih memilih mendoakan warga Thaif dibanding membalas perbuatan mereka.
Saat ada orang Badui yang kencing di Masjid, para sahabat dengan segera naik pitam dan menghunuskan pedangnya untuk memberi pelajaran kepada orang Badui tersebut. Namun Rasulullah menahannya, beliau hanya menyuruh untuk membersihkan kencing itu dengan seember air.
Perkataan dan sikap Rasulullah di atas hendaknya bisa kita teladani dalam kehidupan kita saat ini.