Tahun Baru, DIri Baru

Tahun Baru, DIri Baru
ilustrasi tahun baru/net

MONITORDAY.COM - Tahun 2022 sudah di depan mata, hanya tinggal menghitung hari. Tapi, apa yang istimewa dari pergantian tahun selain berkurangnya umur? Dalam Islam, perayaan maupun peringatan tahun baru tidak ada syariatnya. Apalagi jika dirayakan secara berlebihan dan menyerupai suatu kaum.

Tahun baru masehi yang bertepat pada tanggal 1 Januari, diketahui tidak ada sangkut pautnya dengan suatu peristiwa di dalam Islam. Berbeda dengan tahun baru Hijriyah. Bulan Muharram sebagai awal tahun baru hijriyah banyak sekali mengandung peristiwa penting dalam Islam, misalnya Perang Khaibar. Bahkan yang istimewa, bulan Muharram disebut bulan Allah oleh Nabi Saw.

Sedangkan tahun baru masehi lebih lekat dengan peristiwa yang ada dalam agama Nasrani, karena sering disandingkan dengan perayaan natal, mengingat memang jarak waktunya dekat sekali. Dan diantara kebanyakan yang merayakan tahun baru adalah orang Erofa, dimana Nasrani menjadi agama yang mendominasi disana.

Ada yang identik di setiap pergantian tahun baru masehi, musik, terompet dan kembang api. Konser musik mewarnai penghujung tahun dan tak jarang mengundang kericuhan, banyak orang mabuk yang gila-gilaan. Tiupan terompet dan letusan kembang api meramaikan langit dunia.

Jika dilihat secara sekilas mengenai budaya yang biasa muncul di peringatan tahun baru, sama sekali tidak mencerminkan budaya Islam, bahkan cenderung menyerupai kaum lain. Misalnya meniup terompet yang merupakan budaya kaum yahudi.

Juga, menurut sejarah, penetapan adanya tahun matahari (masehi) bermula pada abad 46 sebelum masehi yang ditetapkan oleh Julius Caesar. Sebelum Caesar, tahun baru masehi terlebih dahulu dirayakan oleh kaum romawi pada 153 SM dengan cara bertukar kado sebagai simbol penebus dosa.

Setelah menilik sejarahnya, masih maukah merayakan tahun baru yang nyatanya bukan dari Islam? Padahal, Nabi Saw sudah mengingatkan agar tidak menyerupai kaum lain. Sabdanya: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut.”

Dikuatkan dengan sabda Nabi Saw yang menanggapi hari besar orang Madinah. Dari Anas bin Malik r.a, dia berkata, saat Nabi Saw datang ke Madinah, orang Madinah memiliki dua hari besar untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, “Dua hari untuk apa ini?”. Mereka menjawab, “Dua hari dimana kami sering bermain-main di masa jahiliyah.” Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya: Idul Adha dan Idul Fitri.”

Adapun menurut para sahabat begini. Umar bin Al-Khathab r.a berkata, “Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka”. Beliau berkata lagi, “Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka.”

Dan Abdullah bin Amr bin Al-Ash ra. berkata, “Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka.”

Mengakarnya budaya peringatan tahun baru masehi, tanpa sadar sudah menganggu keimanan orang-orang islam. Secara tidak sadar, orang muslim yang ikut-ikutan merayakan tahun baru sudah dibutakan oleh budayanya non-muslim. Dan yang paling mengkhawatirkan sudah menyerupai kaum agama lain.

Agar pergantian tahun baru bukan sekadar menandai berkurangnya umur, tapi juga sebagai tanda pembaruan diri, terutama dalam keimanan kepada Allah. Maka, daripada mengamburkan waktu untuk kesenangan fana, memubazirkan uang untuk beli terompet dan kembang api. Alangkah baiknya, mengisi waktu dengan hal-hal yang lebih bermanfaat, misalnya bersilaturahmi dengan keluarga besar, mengadakan pengajian dan muhasabah/evaluasi akhir tahun bersama.