Siasat Hadapi Gejala Taper Tantrum yang Dapat Merontokkan Nilai Tukar

Siasat Hadapi Gejala Taper Tantrum yang Dapat Merontokkan Nilai Tukar
Ancaman Nilai Tukar Hadapi Taper Tantrum/ net

MONITORDAY.COM - Ekonomi antar negara dan kawasan saling bergantung satu sama lain. Interdependensi itu semakin menguat dari waktu ke waktu seiring globalisasi. Permintaan dan ketersediaan barang mengalir dalam rantai pasok global. Pun ketika pandemi menghantam dunia. Neraca transaksi perdagangan antar negara diharapkan kembali bergerak dinamis menuju keseimbangan baru.    

Lebih setahun pandemi berlangsung. Ekonomi Amerika Serikat diperkirakan akan segera pulih melihat kesuksesan pengendalian pandemi. Dengan angka rerata penularan harian sepekan terakhir di 17 ribuan kasus menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Ekonomi AS memiliki pengaruh yang besar terhadap perekonomian dunia. 

Ironisnya pulihnya ekonomi AS juga menjadi ancaman. Jika Dollar AS menguat akan memunculkan kemungkinan melemahnya mata uang lain termasuk Rupiah. Gejala itulah yang dinkenal sebagai Taper Tantrum.  Istilah itu merujuk pada efek pengumuman kebijakan moneter  pada tahun 2013 yang langsung memukul kurs sejumlah negara berkembang. 

Kala itu, ekonomi AS yang mulai pulih dari krisis akibat sub-prime mortgage membuat The Fed membuka wacana untuk mulai melakukan pengetatan (tapering off). Pengumuman dilakukan oleh Federal Reserve (Fed) tentang pengurangan kebijakan quantitative easing (QE) di masa depan. 

The Fed mengumumkan bahwa mereka akan mengurangi laju pembelian obligasi Treasury, untuk mengurangi jumlah uang yang diberikannya ke ekonomi. Taper tantrum pun terjadi akibat meningkatnya imbal hasil obligasi sebagai reaksi atas pengumuman itu.

Arus modal berbondong-bondong menyerbu pasar keuangan AS, karena ada harapan cuan dari kenaikan suku bunga. Akibatnya, dolar AS menguat luar biasa dan mata uang dunia anjlok.

Dollar Index, yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia, melesat 13,57% secara point-to-point pada awal 2013 hingga akhir 2015. 

Akibatnya, rupiah melemah 47,37% dalam periode tersebut. Rupiah yang awalnya masih di bawah Rp 10.000/US$ terdepresiasi hingga ke atas Rp 14.000/US$.

Indonesia memiliki pengalaman menghadapi situasi sejenis saat AS mulai menggeliat keluar dari situasi sulit yang sempat mereka hadapi. Salah satu strateginya dengan mematok asumsi suku bunga (yield) Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun 2022 di kisaran 6,32 persen sampai 7,27 persen.

Menurut Sri Mulyani tingkat suku bunga atau yield ditentukan oleh mekanisme pasar. Asumsi tingkat suku bunga SUN 10 tahun pada 2022 mencerminkan kebutuhan pembiayaan APBN serta risiko ketidakpastian pasar keuangan global yang diperkirakan masih akan berlangsung.

Pasar keuangan yang  dalam, aktif, dan likuid, akan menjadi sumber pembiayaan yang stabil, efisien, dan berkesinambungan. Hal ini akan meminimalkan dampak risiko volatilitas  aliran modal investor asing terhadap yield SUN. 

Pemerintah bisa menyesuaikan yield SUN agar tetap menarik di tengah kondisi yang mengkhawatirkan. Apalagi, Bank Indonesia saat ini juga sudah menurunkan suku bunga acuan menjadi 3,5 persen, yang merupakan suku bunga terendah sepanjang sejarah.