Mindfulness dalam Islam

MONITORDAY.COM - Grafik hidup selalu fluktuatif dan dinamis, kadang di posisi atas, bahagia, senang, beruntung, kadang di posisi bawah, bermasalah, sedih, depresi. Masalah dan kebahagiaan bagai dua sisi mata uang. Keduanya merupakan alat ukur keimanan seseorang.
Keimanan seseorang tidak hanya diukur saat dia diuji dan jatuh ke bawah titik nol. Tapi juga diukur saat dia sedang bahagia. Kita pasti setuju bahwa sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Sedih yang berlarut-larut akan membuat lupa pada Allah, begitupun kekayaan yang terlalu menumpuk.
Datangnya cobaan dan masalah tidak bisa kita atur. Yang bisa kita atur adalah bagaimana respon diri kita terhadap masalah yang datang. Kita bahkan bisa loh bahagia di tengah timpaan masalah. Lebih tepatnya, kita bisa meminimalisir pikiran kalut akan masalah dan menggantinya dengan pikiran positif. Caranya dengan mindfulness.
Mindfulness artinya sadar penuh dan hadir utuh terhadap apa yang sedang kita hadapi dan kerjakan. Kebiasaan merespon masalah sebagai suatu yang negatif menjadikan kita lupa atau tidak sadar bahwasannya masalah diciptakan untuk kebahagiaan. Ibarat hujan, masalah akan menghujani hidup kita, tapi setelahnya pelangi akan terbit, kebahagiaan akan hadir.
Allah mendeskripsikan mindfulness dalam Islam melalui ibadah sholat. Sholat adalah tiang, nyatanya tidak hanya berlaku untuk agama, tapi juga diri kita. Sholat sebagai penyangga hidup berfungsi untuk mendidik diri agar berprinsip dan memiliki pendirian meski masalah mengombang-ambing.
Sholat juga melatih lebih menerima secara sadar penghambaan diri pada Sang Pencipta. Perintah khusyu dalam sholat berguna sebagai meditasi dan kontemplasi diri agar menyelam lebih dalam terhadap apa yang sedang dihadapi. Mindfulness dalam konteks sholat adalah khusyu, mengosongkan hati dan pikiran serta penyerahan diri secara penuh kepada Allah.
Inti dari mindfulness adalah self awareness (kesadaran diri) dan self love (mencintai diri). Orang yang sadar dan mencintai dirinya tidak mungkin berbuat buruk pada diri sendiri. Banyak kasus yang disebabkan hilangnya self awareness dan self love, misalnya bunuh diri.
Ketidakmampuan menerima masalah yang datang dan kurangnya mengenal hakikat diri menyebabkan kekacauan dalam hidup. Mengakhiri hidup menjadi jalan terakhir sebagai penyelesaian masalah. Padahal masalahnya tidak seberapa dan masih bisa diatasi dengan mindfulness.
Imam Ghozali dalam kitabnya Mukasyafatul Qulub berkata: “Menyayangi diri sendiri itu sama dengan menyelamatkan diri dari adzab Allah melalui jalan menjauhi dosa, taubat, melakukan amal saleh dan ikhlas sebelum menyelamatkan orang lain.”
Saat kita mencintai dan menyadari hakikat diri maka tidak ada yang diinginkan kecuali kebaikan untuk diri sendiri. Sikap ini akan menyeret kita pada pencapaian kebahagiaan sejati hidup yang muncul dari nurani dan hati yang terdalam.
Sebuah hadis qudsi yang cukup populer secara tidak langsung memberitakan pada kita bahwa untuk bahagia kita harus mengenal diri sendiri dulu. “Barangsiapa yang mengenal diri sendiri, maka dia akan mengenal Tuhannya.”
Kebahagiaan yang kita yakini dalam islam adalah yang datang dari Tuhan, kebahagiaan yang bersifat sejati dan hakiki, yang tidak akan kita temukan kecuali harus mengenal Tuhan dulu.
Dengan jalan mindfulness, sadar penuh dan hadir utuh untuk diri kita dan Tuhan, maka menerima masalah bukan lagi hal yang menyulitkan bagi kita. Justru kita semakin semangat menyelami diri dan menjadi manusia seutuhnya.