Menggagas Masjid Ramah Difabel

Menggagas Masjid Ramah Difabel
Masjid Sultan Qabuus (Pixabay)

MONITORDAY.COM - Difabilitas atau disabilitas merupakan dapat kita temui dalam mayarakat. Dalam dunia modern, menjadi difabel bukanlah sebuah aib, namun sebuah perbedaan yang harus dihargai dan juga diperlakukan selayaknya.

Dalam ajaran agama, seorang difabel adalah makhluk Allah SWT yang juga mesti diperlakukan dengan baik. Difabilitas bukan hukuman dari Tuhan. Kelompok difabel mesti dibantu agar bisa hidup layaknya masyarakat pada umumnya. 

Timbul pertanyaan, jika agama Islam tidak mempersoalkan difabel, lantas apakah tempat ibadah yakni Masjid sudah ramah bagi kelompok difabel? Dalam beberapa peristiwa masjid belum bisa menyediakan fasilitas untuk difabel. Misalnya seorang tuna daksa yang tidak mampu berjalan dan harus memakai kursi roda. 

Saat masuk masjid, dia tidak diizinkan untuk masuk karena roda yang membuatnya bisa berjalan dianggap najis. Sebuah alasan yang masuk akal. Lantas bagaimana solusi dari hal tersebut? 

Seorang akademisi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dr. Arif Maftuhin menulis sebuah buku berjudul Masjid Ramah Difabilitas: Dari Fikih ke Praktek Aksesibilitas. Buku tersebut merupakan hasil penelitian penulisnya dan pengalaman selama mendampingi kelompok difabel di UIN Sunan Kalijaga. Arif juga berkesempatan meneliti Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sebagai model masjid ramah difabel. 

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arif, ditemukan bahwa mayoritas Masjid di Yogyakarta masih tidak ramah terhadap difabel. Hal ini menjadi tantangan ke depan untuk membangun masjid ramah difabel. Arif juga menyoroti belum adanya aturan di Indonesia yang menyoroti ketersediaan akses bagi kelompok difabel dalam beribadah. 

Ada beberapa indikator yang bisa dijadikan penilaian masjid ramah difabel:

1. Adakah nomor telpon yang bisa dihubungi untuk layanan masjid?
2. Adakah web, blog, atau jejaring sosial yang bisa diakses orang luar?
3. Adakah papan dan rambu lalu lintas di sekitar masjid yang menunjukkan keberadaan dan lokasi masjid?
4. Apakah masjid berlokasi di tempat yang mudah dijangkau dengan berbagai moda transportasi: jalan kaki, kursi roda, sepeda, sepeda motor, mobil, dan bus
5. Apakah tempat parkir ramah bagi difabel dengan kursi roda?
6. Adakah slot khusus disediakan untuk difabel?
7. Dari tempat parkir, apakah mudah bagi difabel untuk menjangkau area masjid yang aksesibel?
8. Adakah rute khusus yang bisa membantu tunanetra dan pengguna kursi roda?
9. Apakah tersedia ramp dan handrail di jalur masuk ke masjid?
10. Apakah gerbang utama masuk masjid bisa dengan mudah diakses oleh kursi roda?
11. Apakah ada akses yang mudah dari area parkir, ke tempat wudu, dan masuk ke dalam masjid bagi tunanetra dan pengguna kursi roda?
13. Apakah kamar kecil bisa diakses kursi roda?
14. Apakah ada tempat wudu yang bisa diakses kursi roda?
15.Adakah kursi di tempat wudu untuk membantu mereka yang tidak dapat berdiri saat wudu?
16. Apakah ruang utama masjid bisa diakses pengguna kursi roda?
17. Adakah shaf khusus kursi untuk duduk jamaah yang tidak mampu berdiri?
18. Adakah mimbar khutbah bisa diakses oleh khatib yang menggunakan kursi roda?
19, Apakah materi khutbah disediakan dalam bentuk yang aksesibel (audio, teks, bahasa isyarat)?

Setiap poin di atas dinilai dengan 3 poin maksimal. 2 artinya ya, 1 artinya kurang, dan nol artinya tidak. Jika sebuah masjid mendapatkan sekor 26-38, artinya masjid tersebut sudah ramah difabel. Jika 13-25, maka kurang ramah difabel. Jika sekornya 0-12, artinya belum ramah difabel. 

Referensi:

Maftuhin, Arif. "Aksesibilitas Ibadah bagi Difabel: Studi atas Empat Masjid di Yogyakarta." INKLUSI Journal of Disability Studies 1.2 (2014): 249-268.

Maftuhin, Arif. Masjid Ramah Difabel: Dari Fikih ke Praktik Aksesibilitas. LKiS, 2019.