Kisah Dua Ulama Pendiri MUI Yang Rendah Hati

Kisah Dua Ulama Pendiri MUI Yang Rendah Hati
Ilustrasi: Buya Hamka memperhatikan Kiai As'ad bersalaman dengan Presiden Soeharto

MONITORDAY.COM - Berdirinya Majelis Ulama Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dua sosok ulama besar, yakni KH. As'ad Syamsul Arifin dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka). Dua sosok ini berlatar belakang dua ormas Islam terbesar di Indonesia yakni NU dan Muhammadiyah. 

Pendirian MUI merupakan inisiatif pemerintah orde baru yang ingin mewadahi para ulama di Indonesia. Pada tahun 1975, Menteri Agama Mukti Ali diminta untuk menghubungi KH. As'ad Syamsul Arifin dan Buya Hamka serta para ulama lainnya. Rapat pendirian MUI pun dimulai. Dalam pertemuan tersebut, Mukti Ali ditanya perihal tujuan dan status MUI yang akan didirikan.  

Menjawab pertanyaan itu, Mukti Ali menjawab bahwa tujuan pendirian MUI adalah untuk mewadahi para ulama. Di luar dugaan, jawaban KH. As'ad Syamsul Arifin sangat menohok. “Lalu siapa di antara kita ini yang ulama? Kalau saya jelas bukan, barangkali Buya Hamka itu yang ulama ya?”. Buya Hamka menanggapi dengan pesan yang tak kalah menohok. "Jika KH. As'ad saja merasa belum pantas menjadi ulama, apalagi saya," ujar Buya Hamka. 

Kisah di atas menunjukkan betapa rendah hatinya para ulama pendahulu kita. Tak ada yang meragukan KH. As'ad dan Buya Hamka, namun mereka masih merasa belum pantas menyandang gelar ulama. Sikap ini patut diteladani oleh generasi setelahnya. 

Kisah di atas juga menunjukkan bahwa MUI didirikan oleh para ulama yang tidak diragukan lagi integritas, wawasan dan karakternya. Oleh karena itu keberadaan MUI tetap penting di Indonesia guna mewadahi para ulama. Adapun kasus terbaru dimana MUI kecolongan saat anggotanya ada yang terduga teroris, jangan dijadikan alasan untuk pembubaran MUI. 

Melalui pernyataan sikap resminya, MUI sudah menegaskan akan melakukan "bersih-bersih" internal. Hal ini patut diapresiasi karena MUI mempunyai iktikad baik untuk tidak membiarkan anasir berbahaya masuk ke dalam internalnya. Tentu saja kita tetap menerapkan asas praduga tak bersalah terhadap terduga teroris. Biar proses hukum berjalan sesuai dengan prosedur. 

Jika ingin adil, tak hanya MUI yang bisa disusupi. Banyak pula instansi lainnya bahkan pemerintahan yang sudah tersusupi paham-paham berbahaya. Tidak adil rasanya jika MUI saja yang disorot. Bahkan jika MUI harus dibubarkan dengan alasan anggotanya terduga teroris, artinya parpol pun pantas dibubarkan ketika ada anggotanya yang korup. 

Oleh karena itu kita perlu memandang kasus yang menimpa MUI dengan adil dan jernih. Yang perlu kita lihat adalah sikap MUI terhadap terduga teroris. Sikap yang diambil sudah benar. MUI menyerahkan kepada proses hukum dan menonaktifkan tersangka sampai jelas keputusannya. Hal ini menunjukkan MUI sudah punya iktikad baik.