Menggugat Bank Syariah

MONITORDAY.COM - Pada Bulan Mei yang lalu Ustadz Yusuf Mansur menyampaikan kritiknya terhadap Bank Syariah. Menurut UYM Bank Syariah lebih mahal dibanding dengan Bank Konvensional. Hal ini membuat nasabah malas mengambil pembiayaan di institusi berbasis nilai syariah tersebut. UYM juga sebut pembiayaan Bank Syariah belum bisa diakses untuk masyarakat bawah.
Pernyataan UYM ditanggapi oleh Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Direktur Infrastruktur Ekosistem Syariah KNEKS Emir Sutan Emir Hidayat mengatakan bahwa margin Bank Syariah sudah lebih kompetitif dibanding dahulu. Terlebih Bank Syariah besar seperti Bank Syariah Indonesia (BSI). Namun Emir tak memungkiri jika memang masih ada faktor-faktor yang membuat margin Bank Syariah lebih mahal.
"Terkait masih adanya pembiayaan di bank syariah yang mahal, hal ini bukan karena aspek syariahnya, tetapi lebih kepada aspek ekonominya, seperti dari ukuran atau size dari bank syariahnya dan struktur dana pahak ketiga bank syariah tersebut yang mungkin masih banyak berasal dari dana-dana mahal seperti deposito," ujarnya dilansir dari bisnis.com.
Belum lama ini gugatan kepada Bank Syariah kembali muncul. Kali ini datang dari Pengusaha Jalan Tol Jusuf Hamka. Anak angkat dari Buya Hamka tersebut mengaku diperas oleh sebuah bank syariah swasta yang tak dia buka identitasnya. Dia melayangkan somasi sebanyak 3 kali namun tidak digubris. Jusuf kemudian menempuh jalur hukum atas peristiwa yang menimpanya.
Kasus ini mencuat ke publik. Jusuf mengeluarkan pernyataan bahwa bank syariah kejam. Pemberitaan mengenai kasus Jusuf Hamka ditanggapi oleh Masyarakat Ekonomi Syariah. Menurut Iggi H. Achsien Sekjen Masyarakat Ekonomi Syariah, Jusuf telah minta maaf atas pernyataannya tersebut.
"Industri perbankan syariah sebagai salah satu unsur dalam ekonomi syariah di Indonesia sedang dalam tahap kondisi menuju kebangkitan. Ada peran OJK yang melakukan pengaturan dan pengawasan. Ada juga DSN MUI yang ikut mengawasi aspek syariahnya. Untuk itu, MES mengimbau agar semua pihak mengedepankan tabayyun," ujarnya.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas sayangkan pernyataan Jusuf Hamka soal bank syariah. Menurutnya pernyataan tersebut merugikan bank syariah secara umum.
"Akibatnya semua perbankan syariah di tanah air tercoreng dan kena getahnya, hal ini tentu jelas tidak baik karena akan membuat citra dan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah akan rusak dan jatuh," kata Anwar kepada Kompas.com, Minggu (25/7).
Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Eksistensi bank syariah dimulai sejak Bank Muamalat didirikan pada tahun 1991. Adapun gagasan mengenai ekonomi syariah sendiri sudah tumbuh sejak beberapa dekade sebelumnya. Adanya bank syariah menjadi alternatif bagi masyarakat yang menginginkan transaksi perbankan sesuai syariah. Namun selama satu dekade berjalan, bank syariah tidak terlalu berkembang.
Sampai keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 1 tahun 2004, yang berisi haramnya bunga bank. Banyak perbankan yang kemudian membentuk unit usaha syariah. Saat unit usaha berkembang, unit usaha syariah berpisah dari induknya dan membentuk bank umum syariah. Hari ini kita melihat hampir semua bank konvensional baik BUMN maupun swasta mempunyai unit usaha syariah.
Secara umum, yang membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah prinsipnya. Prinsip syariah melarang adanya riba (rente), maysir (judi) dan gharar (ketidakjelasan) dalam transaksi ekonomi. Transaksi dalam bank syariah didasarkan pada prinsip ini. Prinsip syariah juga memperhatikan kehalalan barang yang ditransaksikan. Misalnya bank syariah tidak akan memberikan pembiayaan kepada perusahaan bir.
Fatwa MUI mengharamkan bunga bank dengan alasan bunga sama dengan riba. Padahal dalam bank konvensional bunga bank merupakan sumber keuntungan bagi bank. Oleh karena itu ada beberapa transaksi yang yang dimodifikasi menyesuaikan prinsip syariah di dalam bank syariah.
Untuk kredit konsumtif, mekanisme pada bank konvensional adalah bank memberikan pinjaman dana kepada nasabahnya untuk diberikan barang yang dibutuhkan. Dalam jangka waktu tertentu, nasabah harus mengembalikan dana tersebut ke bank berikut dengan bunganya.
Sementara dalam bank syariah, mekanisme yang digunakan bukan kredit konsumtif, namun jual beli. Akad ini disebut dengan murabahah. Misalnya seorang nasabah ingin membeli sebuah mobil. Maka agar tidak menjadi riba, pihak bank terlebih dahulu membeli mobil yang diinginkan. Setelah itu pihak bank akan menjual kembali mobil itu kepada nasabah dengan harga yang dinaikan. Selisih kenaikan harga ini disebut dengan margin. Margin inilah yang digunakan oleh bank syariah.
Apakah dalam praktiknya benar-benar seperti itu? Kenyataannya dalam praktik bank syariah tidak membeli mobil seperti teorinya. Yang membeli mobil tetap nasabah. Uangnya tetap diberikan kepada nasabah. Sehingga mirip dengan bank konvensional. Akad ini disebut murabahah bil wakalah. Bank mewakilkan pembelian mobil kepada nasabah. Praktik yang masih mirip bank konvensional ini menjadi salah satu kritik dari pihak yang ingin bank syariah benar-benar sesuai dengan teorinya.
Untuk kredit produktif, di bank konvensional maka pihak bank akan meminjamkan dana kepada nasabah untuk digunakan sebagai modal. Setelah beberapa waktu yang dijanjikan, nasabah wajib mengembalikan dananya beserta bunganya.
Adapun kredit produktif di bank syariah maka pihak bank syariah menjadi pemilik modal (investor/sohibul mal) sementara nasabah menjadi pengelola usaha. Akad ini disebut mudharabah. Nanti keuntungan dari usaha tersebut akan dibagi dengan pihak bank sebagai investor (profit/loss sharing) berdasarkan persentasi yang disepakati. Teorinya jika pengusaha untung maka bank juga untung. Namun jika pengusaha rugi maka bank akan rugi juga.
Namun lagi-lagi dalam praktiknya akad mudharabah jarang dipraktikan di bank syariah. Alasannya bagi pengusaha akad ini rumit, karena mengharuskan mereka rutin melaporkan keuangannya kepada bank. Bagi bank syariah pun sama rumitnya. Bank syariah lebih nyaman dengan murabahah yang lebih sederhana.
Akad mudharabah dipraktikan saat kita menyimpan uang di bank syariah berupa deposito atau tabungan biasa. Jika bank konvensional menjanjikan bunga untuk nasabah yang menyimpan deposito, bank syariah menjanjikan revenue sharing (bagi hasil). Namun belum ada ceritanya nasabah ikut menanggung kerugian bank syariah jika rugi. Nasabah akan selalu dapat hasil bagi untung dari bank syariah.
Menjawab Tantangan Bagi Bank Syariah
Perdebatan soal akad bank syariah telah berlangsung sejak lama dan berputar pada masalah itu-itu saja. Misalnya perdebatan apakah bunga bank riba atau bukan harus diakui ada dua mazhab antara yang menghalalkan dan mengharamkan. Bank syariah perlu keluar dari pembahasan tersebut dan fokus menjawab tantangan yang lebih substantif.
Bank syariah perlu meningkatkan layanannya sehingga bisa bersaing dengan bank konvensional. Jika layanan bank syariah sudah memuaskan, maka secara rasional masyarakat akan berbondong-bondong memilih bank syariah. Namun jika bank syariah terus menerus berlindung dalam doktrin ideologis halal dan haram, boleh jadi masyarakat tak akan banyak peduli.
Kritik dan UYM dan Jusuf Hamka mesti dijawab dengan upaya perbaikan yang konkret dari bank syariah. Dalam kasus Jusuf Hamka tentu kita masih menunggu hasil investigasi oleh aparat hukum dan OJK terkait peristiwa dan kesepakatan yang sebenarnya.
Merger tiga bank syariah BUMN menjadi BSI merupakan contoh langkah yang baik memperkuat bank syariah. Diharapkan saat menjadi bank yang besar, maka margin akan lebih kompetitif dan pelayanan akan lebih baik. Kita tahu BSI sedang menguatkan aspek teknologi digital dalam perbankannya.
Persoalan SDM dalam bank syariah pun perlu diperhatikan. Mayoritas SDM di bank syariah hari ini masih berlatar belakang ekonomi konvensional dan hanya diajari ekonomi syariah melalui kursus singkat. Jangan-jangan ini juga yang menyebabkan adanya gap antara ekonomi syariah dalam teori dan praktik.
Pekerjaan rumah membenahi industri perbankan dan keuangan syariah masih panjang. Hari ini kita punya modal sosial yang cukup kuat. Misalnya Organisasi Masyarakat Ekonomi Syariah yang diisi oleh para pengusaha dan ekonom dari berbagai latar belakang. Modal sosial ini perlu dimaksimalkan dengan sebaik mungkin.