Nilai Tambah Bagi Bahan Baku Industri Green Fuel
Minyak nabati menjadi salah satu sumber energi terbarukan. Bahan bakunya memerlukan sentuhan teknologi yang mampu memberi nilai tambah. Kementerian Perindustrian mengalokasikan program nilai tambah dan daya saing industri dan menetapkan fokus pengembangan kegiatan prioritas nasional pada tiap-tiap sektor manufaktur dalam APBN 2021.

MONDAYREVIEW.COM – Minyak nabati menjadi salah satu sumber energi terbarukan. Bahan bakunya memerlukan sentuhan teknologi yang mampu memberi nilai tambah. Kementerian Perindustrian mengalokasikan program nilai tambah dan daya saing industri dan menetapkan fokus pengembangan kegiatan prioritas nasional pada tiap-tiap sektor manufaktur dalam APBN 2021.
Untuk industri agro, salah satu yang menjadi prioritas antara lain, penyusunan rencana bisnis, studi kelayakan dan detail engineering design (DED) industrial vegetable oil/industrial lauric oil sebagai bahan baku industri green fuel atau B100.
Biodiesel dihasilkan dari proses transesterifikasi dengan bahan baku minyak nabati atau lemak hewan yang direaksikan dengan senyawa alkohol seperti metanol. Bahan baku tersebut mengandung rantai trigliserida yang dapat disederhanakan menjadi rantai methyl esters monogliserida dengan bantuan katalis. Senyawa methyl esters tersebutlah yang dikenal dengan biodiesel murni atau biasa disebut dengan Fatty Acid Methyl Esters (FAME).
Trigliserida merupakan senyawa yang terkandung dalam minyak nabati. Di Indonesia, bahan bakar nabati ini umumnya dihasilkan dari sawit. Selain dari sawit, minyak nabati juga dapat dihasilkan dari bunga matahari, kedelai, rapeseed, kacang tanah, kelapa, dan kapas.
Namun minyak yang dihasilkan jumlahnya berbeda-beda, bergantung pada bahan bakunya. Di Indonesia, produktivitas minyak nabati dari sawit yang biasa disebut dengan crude palm oil (CPO) baru berkisar 3,65 Ton/Ha/Tahun.
Selain bahan baku di atas, ada juga bahan baku lain yang dapat dikembangkan menjadi minyak nabati bahan baku biodiesel seperti minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) dan mikroalga. Penggunaan UCO sudah dilakukan di Indonesia namun masih dalam skala kecil. Pada dasarnya, UCO dapat menjadi bahan baku biodiesel karena UCO sendiri berasal dari minyak nabati, sehingga dapat diproses lebih lanjut menjadi biodiesel.
Sedangkan mikroalga memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi bahan baku biodiesel, yield minyak dari mikroalga dapat mencapai 75 persen dari berat kering massa. Namun proses pemurnian minyak nabati dari mikroalga masih terbilang cukup mahal sehingga bahan baku ini masih dalam tahap pengembangan.
Bahan baku yang berasal dari sawit melewati berbagai proses hingga sampai menjadi CPO. Untuk mendapatkan CPO dari tandan buah segar (TBS), diawali dengan proses perebusan yang bertujuan untuk membuat tandan buah segar menjadi layu dan mudah ditekan agar menghasilkan minyak. Setelah tandan buah segar sudah layu, maka dilumatkan dengan mesin digester dan kemudian ditekan agar menghasilkan CPO kotor.
CPO kotor kemudian dimurnikan melalui beberapa proses untuk mendapatkan CPO murni. Selain menghasilkan CPO, tandan buah segar juga akan menghasilkan beberapa produk samping seperti tandan buah kosong, palm oil mill effluent (POME), serat, dan minyak kernel. Dalam produksi dengan bahan baku tandan buah segar sebanyak 1 ton akan menghasilkan CPO murni sebanyak 240 kg.
CPO yang dihasilkan akan menjadi bahan baku untuk proses pembuatan biodiesel. Proses yang umum digunakan adalah proses transesterifikasi seperti yang telah disebutkan di awal artikel ini. Pada dasarnya proses ini memisahkan gliserin pada rantai trigliserida sehingga menghasilkan methyl esters dan gliserol.
Proses ini membutuhkan alkohol dan katalis berupa senyawa basa kuat. Alkohol yang digunakan seperti methanol, etanol, isopropanol, dan lain-lain. Namun, perlu diperhatikan kandungan air yang terdapat pada alkohol yang digunakan karena akan mempengaruhi kualitas biodiesel yang dihasilkan. Jika kandungan air pada alkohol tinggi maka kualitas biodiesel yang dihasilkan akan rendah.
Selain alkohol, terdapat katalis yang digunakan pada proses transesterifikasi. Fungsi dari katalis ini adalah meningkatkan daya larut saat reaksi berlangsung. Katalis yang digunakan merupakan senyawa basa kuat seperti NaOH atau KOH atau Natrium Metoksida. Katalis ini bersifat higroskopis sehingga kinerjanya akan terganggu jika banyak air yang diserap. Setelah reaksi transesterifikasi, senyawa basa dinetralkan dengan menambahkan senyawa asam dan akan menghasilkan senyawa garam ionik.
Produk FAME atau biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi harus memenuhi standar mutu yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, khususnya Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi.