Menyikapi Isu Papua dengan Kepala Dingin
Persoalan Papua merupakan hal yang sensitif untuk dibahas, terutama di media sosial. Hal ini karena potensi separatisme yang tinggi .

MONDAYREVIEW.COM – Peristiwa gugatan pelanggaran HAM oleh Vanuatu menjadi tren pemberitaan akhir-akhir ini. Vanuatu merupakan negara kepulauan kecil yang terletak di Samudra Pasifik yang dikenal dengan wilayah Oseania. Perdana Menteri Vanuatu protes terhadap pelanggaran HAM yang disinyalir dilakukan Indonesia terhadap rakyat Papua. Menanggapi protes tersebut, diplomat Indonesia Silvany Pasaribu mengatakan Indonesia sudah meratifikasi konvensi terkait HAM dan rasisme, sementara Vanuatu belum meratifikasinya. Diplomat muda tersebut mengatakan bahwa Vanuatu tidak pantas berbicara HAM jika negaranya sendiri belum meratifikasi konvensi HAM.
Sikap Vanuatu juga memancing reaksi dari warganet Indonesia yang mengomentari akun instagram negara tersebut dan menyampaikan hujatannya. Banyak juga yang tidak tahu dan baru mendengar negara Vanuatu. Ada yang menuduh Vanuatu merupakan proxy atau kaki tangan dari Australia yang memang ingin Papua berpisah dari NKRI. Sehingga Vanuatu getol mengomentari soal Indonesia. Anggota DPR RI Komisi I Muhammad Iqbal mendesak Kemenlu untuk meminta kepada PBB agar memberikan sanksi kepada Vanuatu atas pernyataannya tersebut. Pernyataan tersebut dianggap melanggar kedaulatan RI.
Berbeda dengan DPR RI, Amnesty International Indonesia menyayangkan respons Indonesia saat menjawab tuduhan yang dilontarkan Vanuatu terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada sidang PBB. Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Usman Hamid sangat menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia di forum PBB yang masih cenderung resisten terhadap suara-suara dari negara sekecil apa pun, bahkan sekecil negara Vanuatu misalnya. Menurut dia, Indonesia seharusnya menjawab tuduhan tersebut dengan cara yang lebih elegan, misalnya, dengan cara yang memperlihatkan komitmen Indonesia dalam penegakkan hukum dan HAM. Hal itu mengingat Indonesia yang merupakan negara hukum. Maka dari itu, Indonesia seharusnya mengusut kasus-kasus pelanggaran yang ada.
Persoalan Papua merupakan hal yang sensitif untuk dibahas, terutama di media sosial. Hal ini karena potensi separatism yang tinggi jika ada kesalahan dalam penanganan Kelompok Kriminal Bersenjata. Kita tidak bisa memungkiri bahwa pelanggaran HAM memang ada, hal ini tidak bisa terus ditutup-tutupi. Kabar terbaru adalah meninggalnya seorang pendeta tertembak oleh TNI yang sedang memburu kelompok separatis. Sayangnya pemerintah cenderung bungkam soal banyaknya korban dari kalangan sipil di Papua. Namun kita juga mesti adil bahwa banyak juga korban dari kalangan TNI yang sudah berjatuhan. Mereka adalah korban dari kelompok separatis yang ingin merdeka yang bersenjata. Tentu saja kita semua ingin konflik ini diakhiri karena menimbulkan korban dalam kedua belah pihak.
Kelompok separatis menginginkan referendum, hal ini berpeluang besar membuat Papua berhasil merdeka dari NKRI. Indonesia trauma dengan referendum, mengingat Timor Leste lepas dari RI adalah hasil referendum. Jika memang RI tidak mau referendum, maka perlu diperbanyak pendekatan-pendekatan persuasive terhadap para separatis. Kurangi baku tembak, perbanyak perundingan. Tentu saja dalam hal ini perlu banyak diplomat cerdas yang mempunyai kemampuan diplomasi handal. Kita bisa menjadikan Aceh contoh dimana Jusuf Kalla berhasil menjinakkan gerakan separatis GAM. Seharusnya Papua juga bisa. Tentu hal itu bisa dicapai hanya jika kita menyikapinya dengan kepala dingin, tidak dengan cara emosional.