Utopia Keadilan Bagi Novel Baswedan
Kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan hampir menemui babak akhirnya. Pelaku penyiraman air keras yang menyebabkan satu mata novel tidak bisa melihat dituntut hukuman selama 1 tahun penjara. Sebuah hukuman yang sangat ringan bila dibandingkan dengan aksi kejahatan yang dilakukannya.

MONDAYREVIEW.COM - Kasus teror yang dialami Novel Baswedan menjadi sorotan publik. Bagaikan drama televisi, perkembangan kasus ini berjalan cukup dramatis. Pasca aksi teror yang membuat satu matanya kehilangan penglihatan, polisi tak kunjung berhasil menangkap pelaku teror. Bahkan pada awalnya polisi menduga teror yang dialami bermotif persaingan bisnis semata.
Sampai akhirnya, pada akhir tahun 2019, ditangkaplah dua pelaku teror tersebut yang ternyata anggota kepolisian. Pelaku yang bernama Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette beralasan Novel telah mengkhianati institusi Polri. Hal ini yang menjadi motif mereka melakukan aksi yang membahayakan jiwa tersebut.
Publik tidak begitu saja percaya terhadap pengakuan pelaku penyiraman. Beredarlah teori konspirasi bahwa pelaku yang ditangkap hanyalah pion semata. Adapun dalang sebenarnya kasus ini tidak pernah terungkap. Bahkan motif sebenarnya dari penyiraman tersebut belum terungkap.
Kasus ini menjadi semakin dramatis manakala sebagian pihak menuduh Novel Baswedan hanya melakukan sandiwara. Pihak penuduh Novel mengeluarkan teori konspirasi tandingan bahwa Novel hanya berpura-pura, mata Novel sebenarnya masih bisa melihat. Bagi Novel dan pendukungnya tuduhan ini sangatlah biadab, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.
Kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan hampir menemui babak akhirnya. Pelaku penyiraman air keras yang menyebabkan satu mata novel tidak bisa melihat dituntut hukuman selama 1 tahun penjara. Sebuah hukuman yang sangat ringan bila dibandingkan dengan aksi kejahatan yang dilakukannya.
Jaksa penuntut umum beralasan bahwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette terbukti melakukan penganiayaan berencana terhadap Novel Baswedan. Menurut Kurnia selaku Tim Advokat Novel Baswedan, tuntutan JPU terlalu rendah tidak berpihak kepada korban kejahatan. Tuntutan ini seakan membenarkan kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi menurut tim advokasi Novel.
Kejanggalan pertama soal pasal yang dijadikan landasan tuntutan. JPU menggunakan pasal 351 dan 355 KUHP tentang penganiayaan. Padahal menurut Advokat Novel, yang lebih pas digunakan adalah pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Alasannya aksi yang menimpa Novel dapat mengakibatkan hilangnya nyawa Novel.
Kejanggalan kedua perihal saksi penting yang tidak dihadirkan. Setidaknya ada tiga saksi kunci yang semestinya dihadirkan. Tiga saksi ini sudah pernah diperiksa oleh tim penyidik Polri, Komnas HAM dan Tim Pencari Fakta bentukan Polri. JPU tidak menganggap penting kesaksian mereka, seolah JPU ingin menutupi fakta yang sebenarnya.
Kejanggalan ketiga, peran penuntut umum menjadi seolah-olah pembela tersangka karena tuntutan yang rendah terhadap tersangka. Bahkan sebelum sidang berlangsung, jaksa memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan kepada Novel Baswedan.
Kejanggalan-kejanggalan ini membuat keadilan bagi Novel Baswedan bak utopia semata. Yang ada adalah Novel menjadi korban dari sandiwara hukum saja. Hukum di Indonesia belum bisa mengungkap aktor intelektual dibalik pelanggaran HAM. Novel bukan yang pertama, sebelumnya Munir Said Thalib menjadi korban pelanggaran HAM. Aktor intelektualnya tak terungkap.