Meneladani Rasulullah

MONITORDAY.COM - Kebijaksanaan di dalam tindakan-Ku menciptakan engkau adalah untuk melihat bayangan-Ku dalam cermin jiwamu,cinta-Ku dalam hatimu (Hadist Qudsi)
Kelahiran Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi Wasalam merupakan anugerah terbesar dari Alloh SWT kepada manusia. Allah SWT hendak mengajarkan kepada manusia bagaimana cara mencerap ‘sibghatallah’ (celupan Allah) dan merefleksikan bayangan sifat-sifat-Nya melalui utusan-Nya.
Hal ini merupakan konsekwensi logis karena manusia telah siap mengemban amanah-Nya. Amanah Allah merupakan tugas-tugas kewajiban dan tanggung jawab yang di bebankan Allah SWT kepadanya yang harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya.
Menurut sebagian mufassir, ‘sibghatallah’ atau celupan Alloh mengandung arti keimanan kepada Alloh dengan ikhlas tanpa disertai kemusyrikan sedikitpun. Makna ini ditegaskan oleh pernyataan hamba-Nya: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan” (QS Al Fatihah:5).
Sifat-sifat Allah terangkum dalam nama-nama yang baik ‘Asmaul Husna’. Sebagian dari sifat-sifat tersebut terungkap dalam Al-Qur’an, seperti: “Dialah Allah tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Dialah Allah tidak ada Tuhan selain Dia.
Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana” (QS-Al Hasyir: 22-24).
Amanah Allah SWT yang telah diterima manusia pada hakikatnya berupa tugas dan tanggung jawab sebagai ‘Abdullah’ (menyembah atau mengabdi kepada Allah) (QS Al-Dzariat: 56) dan ‘Khalifah fil Ard’ (menjadi wakil Allah untuk memakmurkan bumi dengan merefleksikan sifat-sifat Allah) (QS Al-Baqarah: 30). Dengan demikian, dalam menjalani kehidupan di dunia ini manusia mempunyai tugas ganda.
Secara prinsip, tugas ganda manusia dideskripsikan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat Ihsan (kebajikan), memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. An-Nahl:90). Tugas dan tanggung jawab ini meliputi tugas terhadap Allah, tugas terhadap diri sendiri, dan tugas terhadap sesama makhluk Allah di bumi.
Secara praktis, pelaksanaan tugas tersebut di diskripsikan oleh Al-Qur’an dalam kepribadian “Ibadurrahman”: "Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang selalu berdo’a: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".
Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (QS Al-Furqon:63-68)
Mengingat karakteristik manusia sebagai pelupa, tergesa-gesa, mudah putus asa dan juga angkuh. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya manusia cenderung mengabaikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam prinsip dan petunjuk praktis tersebut. Akibatnya, prinsip dan petunjuk praktis yang seharusnya dijadikan pedoman dalam melaksanakan tugas menjadi terlupakan.
Pengabaian terhadap prinsip dan tuntutan praktis ini merupakan bentuk perwujudan akhlak manusia. Kecenderungan akhlak manusia ini, dianalogikan oleh Allah dalam firman-Nya: “Tetapi kamu lebih memilih kehidupan dunia sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS Al-A’la:16-17).
Bagaimana cara Allah mengajarkan kepada manusia agar tugas dan tanggung jawabnya terlaksana sesuai dengan kehendak-Nya?
Muhammad SAW merupakan sosok manusia terpilih atas kebijaksanaan-Nya dibangkitkan sebagai Rasul-Nya. Misi utama dalam pengutusan-Nya adalah untuk menyempurnakan akhlak. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW: “Tiada lain aku diutus kecuali untuk menyempurnakan Akhlak” (Hadist).
Ketika Allah SWT berdialog dengan para malaikat mengenai rencana-Nya akan menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Para malaikat mengungkapkan bahwa kecenderungan manusia selalu membuat kerusakan dan menumpahkan darah. Allah SWT menegaskan bahwa Dia lebih tahu tentang potensi yang dimiliki manusia. Diantara potensi yang dimiliki manusia antara lain kemampuan untuk belajar (QS Albaqarah: 30-31).
Sebagai pembelajar, manusia mempunyai potensi untuk belajar berbagi hal dengan siapapun dan dengan cara apapun. Untuk mendukung efektifitas pembelajarannya, Allah pun telah memberikan sarana kepadanya.
Seperti diungkapkan dalam Al-Qur’an: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl:78).
Kata ‘bersyukur’ dalam konteks ayat ini dapat dimaknai memfungsikan. Dengan memfungsikan telinganya, penglihatannya dan hati nuraninya agar proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif.
Ketidakmampuan manusia menangkap apa yang dipelajarinya ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an: “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (QS Al-A’raf:179).
Selain menjelaskan kerugian besar yang akan diperoleh manusia yang tidak memfungsikan hati nurani, penglihatan, dan pendengaran yang digambarkan dengan penderitaan yang akan di alami dalam neraka jahanam. Allah SWT pun mengisyaratkan dalam ayat ini mengenai sumber belajar bagi manusia yaitu: ayat-ayat-Ny.
Akhlak Rasulullah yang sangat dibanggakan oleh Allah sesuai dengan firman-Nya: ''Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang baik.'' (QS Al-Qalam [68]: 4), merupakan ayat-ayat Allah yang dihadirkan dihadapan manusia agar ia dapat mensyukuri nikmat-Nya dengan cara mengembangkan potensinya sebagai pembelajar.
Dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, baik secara prinsip maupun secara praktis. Manusia dapat belajar melalui pengamatan praktik baik Rasulullah SAW, baik pada saat Rasulullah malaksanakan perannya sebagai ‘Abdullah’ maupun ‘Khalifatullah fil ardh’.
Karena sifat Rahman dan Rahim Allah SWT kepada manusia, Dia mengingatkan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya telah ada pada diri rasulullah suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Alloh.” (QS Al-Ahzab:21). Wallahu a’lam bi showab.