Menggagas Fikih Agraria Untuk Keadilan Sosial

Menggagas Fikih Agraria Untuk Keadilan Sosial
Ilustrasi petani yang mengolah tanah

MONITORDAY.COM - Reforma agraria adalah upaya pemerataan kepemilikan tanah melalui redistribusi tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah. Reforma agraria dilatarbelakangi dengan masih adanya ketimpangan kepemilikan tanah. Mayoritas rakyat tidak mempunyai tanah untuk dikelola. Sedangkan sekelompok kecil masyarakat menguasai tanah yang sangat luas. 

Ketimpangan tersebut bertentangan dengan pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketimpangan juga tidak sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yakni adanya kesejahteraan umum yang dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Ketimpangan juga tidak sesuai dengan nilai ajaran agama Islam, yakni bahwa harta tidak boleh beredar diantara orang kaya saja. 

Sayangnya selama ini isu reforma agraria masih identik dengan kelompok "kiri" bahkan komunis. Hal ini disebabkan sejarah bahwa kelompok yang paling memperjuangkan reforma agraria adalah kelompok kiri. Namun bukan berarti kita menjadi terlarang memperjuangkan juga reforma agraria. Justru kita perlu merumuskan sendiri konsep reforma agraria yang diambil dari ajaran Islam. Perlu dirumuskan fikih agraria. 

Sejarah Rasulullah SAW adalah sejarah perjuangan dan pemihakan kepada orang-orang yang lemah. Sahabat-sahabat Rasulullah SAW pada masa awal berasal dari golongan hamba sahaya. Rasulullah SAW tidak segan bergaul dengan orang-orang miskin dan memberi kabar gembira bahwa mereka akan lebih dahulu masuk surga.

Allah SWT juga pernah menegur Rasulullah SAW dalam QS. 'Abasa karena mengabaikan Abdullah bin Ummi Maktum dan lebih mementingkan pembesar Quraisy untuk didakwahi. Dalam QS. Al Ma'un, Allah SWT menyatakan bahwa seseorang yang melaksanakan shalat masih mungkin celaka, jika dia menghardik anak yatim dan tidak mau berbagi kepada sesama. Bahkan disebut dengan pendusta agama. 

Oleh karena itu, reforma agraria sebagai bagian dari pemihakan kepada kelompok yang lemah seharusnya sesuai dengan ajaran Islam. Tinggal kita perlu merumuskan secara sistematis Fikih Agraria. Fikih Agraria telah menjadi bahan diskusi dalam Musyawarah Nasional Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah. Berikut prinsip ajaran Islam mengenai fikih agraria dilansir dari muhammadiyah.or.id. 

Pertama, Tauhid

Nilai dasar tauhid meniscayakan bahwa segala yang ada di langit dan bumi secara mutlak dan total hanya milik Allah. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang diberi akal ditugaskan untuk mengelola bumi (QS. Ali Imran: 189 dan al-Nahl: 49).

Kedua, al-Akhlak al-Karimah

Nilai dasar kemuliaan manusia ini merupakan konsekuensi dari ketauhidan. Secara etika individual maupun sosial, manusia sebagai khalifah Allah memiliki kewajiban untuk memakmurkan alam dan bumi seisinya dengan segala potensi sumber daya yang terdapat di dalamnya (QS. Shad: 26).

Dalam kaitannya dengan sumber daya yang mati atau terbengkalai karena satu dan lain hal, Nabi saw memberikan perintah kepada manusia untuk memberdayakannya sebagai wujud akhak yang mulia terhadap bumi. Dalam hadis yang diriwayatkan Ibn Hibban, Rasulullah menyatakan bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, maka akan diberi pahala. “Manusia diberi tanggungjawab moral untuk memakmurkan alam ini,” kata Soehadha.

Ketiga, Kemaslahatan

Nilai dasar ini menandakan bahwa kemaslahatan harus menjadi tolok ukur dalam mengelola, memberdayakan, sampai membuat kebijakan yang terkait dengannya.

Keempat, Keadilan

Soehadha menerangkan bahwa nilai dasar keadilan tercermin pada proses pembuatan hukum, penegakan hukum, jaminan proses pemerataan kesejahteraan rakyat, dan solidaritas umat dan bangsa.

Kelima, Kemanusiaan

Soehadha menuturkan bahwa membangun, menjaga kelestarian, dan memanfaatkan sumber agraria pada hakikatnya adalah upaya manusia dalam menjaga jiwa dan kemuliaan manusia. Hal tersebut termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat 29 yang menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi boleh dimanfaatkan untuk keberlangsungan hibup manusia.

Keenam, Musyawarah

Nilai dasar musyawarah berarti mengutamakan harmoni dalam pengelolaan agraria. Sebab secara sosial dan kemanusiaan, dalam pemilikan dan pemanfaatan lahan serta alam sekitar, tentu tidak lepas dari nilai musyawarah yang menghasilkan kesepakatan antar warga masyarakat. “Ini penting sebab sekarang masih banyak konflik-konflik agraria antar masyarakat,” tuturnya.

Itulah keenam nilai-nilai dasar Fikih Agraria yang disusun Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Nilai-nilai tersebut diserap langsung dari semangat al-Quran dan as-Sunnah dan merupakan nilai paling esensial dalam ajaran Islam. Karenanya, penyusunan Fikih Agraria berangkat dari keenam nilai-nilai dasar di atas.