Ataturk, Erdogan dan Sekularisme

MONITORDAY.COM - Polemik mengenai penamaan Jalan di Menteng dengan Mustafa Kamal Ataturk mencuat ke publik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana meningkatkan kerja sama internasional dengan Pemerintah Turki. Salah satu caranya adalah dengan pergantian nama jalan tersebut. Namun sejumlah tokoh Islam menolak rencana tersebut hal ini karena rekam jejak Mustafa Kamal yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Siapakah Mustafa Kamal Ataturk?
Biar bagaimanapun Mustafa Kamal merupakan tokoh dari bangsa Turki. Mustafa Kamal diabadikan sebagai nama bandara Turki. Makam Mustafa Kamal pun sangat megah. Mustafa Kamal adalah bapak Turki Modern, setelah sebelumnya Turki menjadi pusat dari kekhalifahan Usmani. Tak dapat dimungkiri bahwa kondisi khilafah Usmani pada awal abad ke-20 sudah sakit-sakitan. Sudah banyak bobrok di dalamnya, yang membuat imperium tersebut akhirnya jatuh.
Mustafa Kamal adalah pendiri Negara Turki setelah jatuhnya khilafah Usmani. Jika pada masa khilafah pemerintahan berbasis syariat Islam, maka Mustafa Kamal mengubah haluan tersebut. Pemerintahan Turki Modern berbasis kepada sekularisme. Sayangnya, sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kamal terlalu radikal. Misalnya dia melarang pemakaian jilbab. Dia juga mengganti adzan dengan bahasa Turki. Sebuah pembaharuan yang kebablasan.
Hal ini lah yang membuat Mustafa Kamal tidak disukai umat Islam di berbagai belahan dunia. Karena atas nama sekularisme dan modernisme, dia mengubah syariat yang telah baku. Padahal seharusnya pembaharuan Islam bisa tetap dilakukan tanpa mengusik syariat Islam yang sudah baku. Misalnya di Indonesia, dimana para pembaharu Islam tidak mendapat penolakan. Karena modernisasi tidak mengusik akidah dan ibadah mahdhah.
Baik dan Buruk Sekularisme
Apa itu sekularisme? Secara sederhana sekularisme adalah paham dimana antara agama dan negara mesti dipisahkan. Sekularisme lahir di barat dimana kondisi saat agama Kristen berkuasa senang menindas para ilmuwan. Akhirnya muncul lah ajakan untuk meninggalkan agama, atau memisahkannya dari negara.
Hal ini tidak terjadi dalam peradaban Islam. Dimana saat Dinasti Abbasiyah, para ilmuwan justru sangat dimuliakan. Artinya seharusnya umat Islam tidak perlu terhadap sekularisme. Sekularisme menghasilkan dampak buruk, yakni sikap anti agama. Hal ini bisa kita lihat dalam sikap Mustafa Kamal Attaturk. Dimana dia menuduh Islam sebagai penyebab keterbelakangan.
Namun di sisi lain, sekularisme bisa dibuat menjadi ramah agama. Hal ini karena dalam sekularisme terdapat doktrin mengenai kebebasan. Kebebasan jika dimaknai secara benar maka terdapat juga kebebasan untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Inilah yang dikatakan oleh Erdogan, saat ditanya kenapa dia mempertahankan sistem sekuler Turki dan tidak mendirikan kembali khilafah di Turki.
Erdogan mengatakan bahwa di negara sekuler, seseorang bebas untuk menjalankan atau tidak menjalankan agamanya. Artinya di negara sekuler justru perempuan berhijab tidak boleh dilarang. Seorang yang mengamalkan agamanya juga tidak dapat dilarang. Menurut Erdogan, sekulerisme justru bisa dimanfaatkan untuk perkembangan dakwah Islam.
Indonesia Bukan Negara Sekuler, Bukan Negara Agama
Sebagian pihak menuduh Indonesia adalah negara sekuler. Karena dasar negaranya adalah pancasila bukan Islam. Namun sebagian lagi membantah hal tersebut. Alasannya mana mungkin di negara sekuler ada Kementerian Agama? Akhirnya muncul ungkapan, Indonesia bukan negara sekuler, bukan juga negara agama. Indonesia adalah negara yang bukan-bukan.
Ungkapan tersebut bukan hanya candaan. Namun jika kita telaah lebih dalam, memang begitulah kenyataannya. Indonesia memang bukan negara sekuler. Sekuler bagaimana, Kementerian Agama ada dari tingkat pusat sampai Kecamatan. Kompilasi Hukum Islam sudah masuk ke sistem hukum nasional. Tempat ibadah dimana-mana. Sekolah berbasis agama dimana-mana. Perempuan berhijab bisa kita temukan dengan mudah.
Namun Indonesia pun memang bukan negara yang memformalkan agama sebagai dasar negaranya. Indonesia menjadikan agama sebagai prinsip dan nilai luhur. Indonesia menyetarakan semua agama di hadapan negara. Setiap agama di Indonesia mempunyai hak yang sama sebagai warga negara untuk menjalankan keyakinannya.
Konsep di atas patut disyukuri dan dipertahankan. Karena dengan tidak adanya lagi polemik hubungan agama dan negara, bangsa ini bisa melangkah ke depan membangun jiwa dan badannya, untuk Indonesia Raya.