Keadilan Allah dalam Mendistribusikan Kebutuhan Pokok Manusia

MONITORDAY.COM - “Dan Aku telah mendatangkan segala apa yang kamu perlukan. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS.14:34).
Firman Allah ini menegaskan bahwa selama manusia hidup di alam dunia ini, segala keperluannya baik yang diminta melalui lisan maupun yang tidak diminta pasti akan dipenuhi. Terhadap apa yang diberikan Allah itu, baik secara secara kuantitatif maupun kualitatif manusia tidak akan mampu menghitungnya. Apa saja nikmat Allah yang diberikan kepada manusia? bagaimana cara Allah mendistribusikannya?
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah, maka apabila sudah kusempurnakan kejadianya, dan Aku tiupkan kepadanya ruh(ciptaan)Ku. Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS.38: 71-72).
Ayat ini menjelaskan bahwa manunia merupakan makhluk dua dimensi. Pada diri manusia terdapat aspek jasmaniah dan aspek ruhaniah. Kedua aspek tersebut harus berfungsi dengan efektif sepanjang menjalani hidupnya. Sebagai Pencipta dan sekaligus Pemelihara ciptaan-Nya Allah Maha Tahu tentang keperluan manusia dalam memenuhi kebutuhan pokok jasmani dan ruhani tersebut.
Pemenuhan kebutuhan pokok ruhaniah berorientasi pada perolehan nilai-nilai luhur kehidupan: kehormatan, kemuliaan, kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan. Sementara pemenuhan kebutuhan pokok jasmaniah beriorentasi padahal yang berkaitan dengan bernapas, makan, minum, dan berpasangan.
Terpenuhinya kebutuhan pokok ruhaniah dan jasmaniah mengantarkan manusia pada suatu kondisi yang diidamkan: ‘sehat wal afiat’ baik jasmaniah (lahir) maupun ruhaniah (batin).
Allah memberikan segala keperluan (nikmat) manusia tentunya sesuai dengan kehendak-Nya. Secara umum, keperluan pokok manusia diberikan secara langsung oleh Allah. Adapun pendistribusiannya ada yang langsung oleh Allah, ada pula sebagian kewenangan distribusinya diserahkan pada manusia. Dalam hal penditribusian oleh manusia, Allah membatasi kewenangan manusia dengan menetapkan rambu-rambu-Nya.
Untuk memenuhi kebutuhan pokok ruhaniah yang berorientasi pada nilai-nilai luhur. Allah memberikan nikmat dengan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab suci kepada para utusan-Nya.
Para rasul dibangkitkan dari kalangan manusia terpilih sesuai dengan kehendak-Nya. Rosulullah Muhammad SAW dipilih sebagai utusan-Nya karena beliau mempunyai pribadi yang sangat luhur. Muhammad mempunyai sifat yang sangat agung: ‘Shiddiq’,’Amanah’,’Fathonah’, dan ‘Tabligh’.
Ketika beliau dibangkitkan, sifat-sifat ini sudah hampir lenyap dalam kehidupan masyarakat arab di masa itu. Padahal sifat-sifat ini merupakan nikmat Allah yang telah diberikan pada setiap orang yang akan menjadi wahana untuk memperoleh nilai-nilai luhur yang selalu di dambakan manusia dalam menjalani kehidupannya, tetapi dorongan hawa nafsunya telah mereduksi sifat-sifat itu.
Secara kebahasaan, shiddiq artinya benar. Dalam konteks manusia, shiddiq bukan hanya perkataannya yang benar, tapi juga sikap, dan perbuatannya juga benar. Aktualiasi sifat shiddiq pada diri Nabi Muhammad SAW diwujudkan dengan keselarasan antara ucapan, sikap, dan perbuatannya.
Keselarasan ini teraktualisasikan dengan mengabaikan dorongan hawa nafsu. Terkait dengan hal ini, Allah SWT berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS. 53:4-5).
Amanah secara bahasa berarti benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah, Nabi Muhammad SAW dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar ‘Al Amin’ yang artinya terpercaya, jauh sebelum beliau diangkat jadi Nabi.
Apapun yang beliau ucapkan, penduduk Mekkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong. “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.” (QS.7:68)
Tabligh secara bahasa artinya menyampaikan. Dalam konteks tugas dan tanggung jawab manusia, pada saat mengemban amanah, tabligh dapat diartikan transparan atau terbuka (apa adanya). Segala firman Allah yang ditujukan oleh Allah SWT kepada manusia, disampaikan oleh Nabi.
Tidak ada yang disembunyikan meski itu menyinggung diri Nabi SAW. “Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.” (QS.72:28)
Fathonah secara bahasa artinya cerdas. Kecerdasan Muhammad SAW ditunjukan saat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi di kalangan pemuka kaum Quraisy ketika akan mengembalikan hajar aswad ke tempatnya semula setelah banjir bandang yang menimpa ka’bah.
Para pemuka kaum Quraisy masing-masing merasa paling berhak untuk menempatkan hajar aswad ke tempatnya sehingga hampir menimbulkan pertikaian diantara mereka. Dengan kecerdasannya, Muhammad SAW mampu menerjemahkan klaim-klaim mereka dengan jalan keluar yang mendamaikan.
Kecerdasan itu menjadi penting bagi Muhammad SAW sebagai seorang Nabi. Beliau harus mampu menjelaskan firman-firman Allah kepada kaumnya agar mereka mau menerima dan meyakini kebenaran ajaran Islam yang dirisalahkannya.
Nabi juga harus mampu berdebat dengan orang-orang kafir dengan cara yang penuh kearifan. Bagi manusia secara umum, kecerdasan ini merupakan keniscayaan. Setiap saat dirinya akan berhadapan dengan berbagai persoalan hidup dan harus mampu menyelesaikannya secara tuntas tanpa menimbulkan masalah baru.
‘Shiddiq’, ’Amanah’, ’Tabligh’, ‘Fathonah’ merupakan sifat-sifat yang menjadi kebutuhan pokok ruhaniah manusia untuk memperolah nilai-nilai luhur dalam menjalani kehidupannya.
Allah mengingatkan kembali akan sifat-sifat yang menjadi kebutuhan pokok ruhaniah itu, dengan menjadikan rosul-Nya sebagai teladan (best practice). Allah SWT berfirman: ”Sungguh telah ada dalam diri rosululloh teladan yang baik bagi orang yang berharap bertemu dengan tuhannya dan selalu mengingatnya (QS.33:21)
Untuk memenuhi kebutuhan pokok jasmaniah, Allah menyediakan ‘udara’, ‘air’, ‘makanan’, dan ‘pasangan’. Semuanya merupakan kebutuhan pokok jasmaniah manusia. Sesuai dengan karakternya, manusia tidak mungkin bisa hidup tanpa udara, air, makanan, dan pasangan.
Kebutuhan manusia akan udara sangat tinggi. Manusia tidak dapat hidup dalam jangka waktu lama tanpa udara. Beberapa saat saja tidak memperoleh udara dengan sendirinya dia tidak akan dapat bertahan untuk melanjutkan kehidupannya. Oleh karena itu, Allah tidak membiarkan udara ada di bawah wewenang manusia dalam pendistribusiannya.
Semua manusia berhak untuk memanfaatkan udara, tak seorangpun dapat menghalangi orang lain untuk mendapatkannya. Distribusi udara ada di bawah kewenangan dan keadilan Allah SWT. Siapapun berhak memperolehnya tidak ditentukan oleh status sosial ataupun atribut-atribut lainnya.
Manusia dapat hidup tanpa air dengan waktu yang lebih lama daripada tanpa udara. Tetapi manusia tidak akan dapat hidup tanpa air dalam waktu beberapa hari. Berbeda dengan udara yang mutlak distribusinya dimonopoli oleh Allah. Untuk distribusi air, Allah memberikan sebagian kewenangannya kepada manusia.
Meskipun demikian, kemampuan seseorang untuk memonopoli air tetap dibatasi. Hal ini disebabkan pada diri seseorang akan munculnya kesempatan untuk mendzolimi sesamannya. Sementara manusia betapa pentingnya dengan keberadaan air ini.
Kebutuhan manusia akan makanan berbeda dibandingkan dengan kebutuhannya terhadap udara dan air. Kemampuan manusia untuk menahan asupan makanan (lapar) relatif bisa lebih lama. Bahkan ada orang yang mengurangi asupan makannya dan membatasi diri dari berbagai makanan malah berakibat baik bagi tubuhnya.
Mengingat kebutuhan manusia terhadap makanan relatif lebih sedikit dan kerakusan seseorang terhadap makanan dapat menimbulkan berbagai masalah pada tubuhnya. Dengan demikian, Allah SWT memberikan kesempatan yang lebih besar kepada manusia untuk memonopoli makanan dan distribusinya. Hal ini relatif sama dengan pemenuhan kebutuhan pasangan. Meskipun demikian, Allah tetap menetapkan rambu-rambu pendistribusiannya.
Kebutuhan pokok ruhaniah dan jasmaniah bagi manusia telah disediakan secara langsung oleh Allah SWT. Hanya saja kewenangan distribusinya tidak sepenuhnya diberikan kepada manusia. Kebutuhan yang sifatnya khusus dan manusia jika tidak memperolehnya dalam jangka waktu yang sangat singkat dapat membahayakan hidupnya. Maka, kewenangan distribusinya dimonopoli oleh Allah SWT.
Tetapi untuk kebutuhan yang sifatnya umum seperti air, makanan, dan pasangan, Allah memberikan kewenangan distribusinya kepada manusia meskipun tetapi dengan kewenangan yang terbatas.
Pemberian kewenangan yang terbatas ini dikarenakan kecenderungan manusia yang selalu berbuat zalim dan ingkar seperti diisyaratkan Allah pada akhir ayat 34 surat ke 14: “Sesungguhnya manusia itu benar-benar belaku zalim dan ingkar.” Wallohu a’lam bishowab.