Jokowi The Genius Man

Jokowi The Genius Man
Joko Widodo bersama para relawan Balad Jokowi di Parongpong, Bandung Barat.

TINGKAT kecerdasan seringkali dikaitkan dengan kesuksesan seseorang. Entah itu dalam bisnis, politik, maupun kepemimpinan.

Itu sebabnya, ketika Kishore Mahbubani, seorang Profesor asal Singapura menyebut Presiden Jokowi sebagai pemimpin jenius dan efektif, sontak banyak orang mengaitkan sebutan itu dengan apa yang telah ditorehkan pria berwajah tirus kelahiran Surakarta, 60 tahunan silam itu.

Bagi para pendukung setianya, sebutan baru bagi Jokowi tersebut jelas satu nafas dengan sederet catatan keberhasilan Jokowi dalam menjalankan kepemimpinan. Baik soal kemampuannya melakukan rekonsiliasi politik, mengatasi pandemi dan mempertahankan performa ekonomi.

Sementara bagi para pengkritiknya, predikat tersebut tidak layak disematkan, karena ada seabreg alasan untuk membantahnya. Sorotan utamanya soal kualitas demokrasi yang curat marut, ekonomi yang morat-marit atau kekebasan berpendapat yang terjun bebas.

Untuk diketahui jika Presiden Jokowi mendapatkan pujian dari profesor dan peneliti Institute di National University of Singapore, Kishore Mahbubani. Jokowi disebut sebagai pemimpin yang jenius. Tak hanya itu, Jokowi juga dinilai sebagai pemimpin paling efektif di dunia.

Pujian untuk Jokowi tersebut ia sampaikan dalam tulisan berjudul 'The Genius of Jokowi' yang tayang pada 6 Oktober 2021 di laman Project Syndicate. Organisasi media internasional yang menerbitkan dan mensindikasikan komentar dan analisis tentang beragam topik global.

Kishore Mahbubani mengatakan, Jokowi layak mendapat pengakuan atas keberhasilannya dalam memimpin. Keberhasilan Jokowi layak diberi pengakuan dan penghargaan lebih luas.

Tak cuma itu, Kishore Mahbubani memuji Jokowi jenius gegara memberikan model pemerintahan yang baik. Model pemerintahan Jokowi itu menurutnya dapat dipelajari negara lain.

Bahkan, Jokowi juga dibandingkan dengan Presiden Brasil Jair Bolsonaro yang mampu meredam perpecahan di negaranya. Menurutnya, Jokowi mampu menyatukan kembali negara yang ia pimpin secara politik.

Berkat kemampuannya membangun koalisi politik yang kuat, Jokowi pun sukses mendorong disahkannya sebuah rancangan undang-undang yang bertujuan meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja baru, omnibus law.

Kishore Mahbubani menegaskan, Jokowi telah menetapkan standar baru dalam pemerintahan Indonesia. Dia menyebut negara-negara demokrasi lain di dunia mestinya iri kepada Indonesia.

Terlepas dari apa pun yang melatari pemberian predikat baru itu,  Sang Profesor sepertinya hendak mengingatkan kita soal adanya fakta bahwa banyak orang yang dinilai cerdas tak berhasil dalam hidupnya. Sementara orang yang dinilai kurang cerdas ternyata bisa sangat berhasil.

Alasannya, karena cerdas tak semata soal IQ saja, tapi juga ada EQ, SQ, TQ dan Q lainnya. Pendiri dan mantan COE Apple Inc. mendiang Steve Jobs punya definisi unik soal kejeniusan. Menurutnya, orang jenius itu bukan cuma karena dia punya nilai test IQ tinggi semata. Tapi lebih karena kemampuan zoom out-nya terhadap sebuah persoalan.

Kata Jobs, bayangkan kita berada di sebuah kota dan berdiri di lantai 80 sebuah gedung, namun bisa melihat setiap bagian kecil kota secara spesifik.

Menurut Jobs, kemampuan tersebut tak bisa diraih jika kita tak punya pengalaman unik di luar pengalaman-pengalaman yang dimiliki orang lain. Karena menurutnya, jika pengalaman kita sama dengan pengalaman orang lain, maka kemampuan kita menyelesaikan masalah juga tak akan jauh berbeda dari yang dilakukan orang lain.

Steve Jobs lantas memberi saran, agar sedari muda mencari pengalaman berbeda baik dengan membaca buku, atau pergi ke suatu tempat dan merasakan kehidupan yang berbeda. Bisa jadi menjadi petani di Jepang. Atau menjadi pengamen di Italia.  

Divyank Turakhia, adalah seorang miliarder teknologi asal India berusia 35 tahun. Kata Jobs, ia pernah membaca 800 jam setahun di usia mudanya. Begitu juga Tobias Lutke, pendiri Shopity, merupakan sosok yang gila baca.

Nah, meski bukan termasuk orang yang gila baca, Presiden Jokowi sejatinya punya faktor pengalaman yang disebut Jobs. Jokowi melalui akun instagramnya pernah menceritakan, jauh hari sebelum terjun dalam politik, dirinya pernah bekerja sebagai karyawan di Aceh selama 3 tahun sejak 1986.

Ceritanya setelah menyelesaikan studi S1-nya di UGM, Jokowi muda melamar kerja ke PT Kertas Kraft Aceh (KKA) dan diterima. Jokowi muda, lantas ditugaskan di bagian divisi perhutanan, sesuai disiplin ilmu yang didapat semasa kuliah. Area kerjanya di dataran tinggi Gayo tepatnya di Benar Meriah (dulu Kabupaten Aceh Tengah). Sekira 5 jam dari tempat tinggal Ariel Noah semasa kecil, Langsa.

Setelah tiga tahun merantau ke Aceh, Jokowi pulang ke Solo dan mendirikan usaha mebel dan perkayuan. Ternyata, usaha Jokowi berkembang, produk olahan tangannya diekspor ke berbagai negara.

Usai sukses di dunia usaha, Jokowi lantas pindah ke jalur politik, dan memulai karirnya sebagai seorang walikota di Solo, lalu Gubernur di DKI, dan akhirnya menjadi orang nomor satu di negeri ini. Sebuah pencapaian yang tentu saja bukan sekadar kebetulan, namun berkat kejeniusan dan kepemimpinan efektifnya.

Berkat kecerdasan dan kepemimpinan efektifnya, Jokowi selalu bisa membaca first principle thinking dari persoalan (bisnis-politik) yang dihadapinya. Jadi, bukan tanpa alasan jika Jokowi disebut The genius man. [ ]