Mengurai Benang Merah Radikalisme
Kapolri menginstruksikan jajarannya untuk menjaga tempat ibadah dan para ulama. Tokoh agama harus dilibatkan untuk mengantisipasi berbagai kerawanan sosial

MONDAYREVIEW- Kekerasan yang terjadi terhadap pemuka agama Islam dan Kristen telah mencoret wajah keindonesiaan yang dikenal toleran. Namun, banyak yang meragukan ketegangan atas nama agama terjadi di negeri ini. Diduga, ada skenario sistematis untuk membenturkan antar umat beragama dan menyebarkan kecemasan di masyarakat. Ada juga yang mengkaitkan berbagai peristiwa itu, dengan panasnya suhu politik menjelang Pilkada dan Pilpres.
Polisi tak kesulitan untuk menangkap pelaku penyerangan terhadap jemaah misa di Gereja Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta yang terjadi pada hari Ahad (11/2). Menurut polisi, pelaku terindikasi terpengaruh faham radikal. Kekerasan juga dialami ulama NU Kyai Umar Bisri di Cicalengka, Jawa Barat pada akhir Januari lalu, bahkan penyerangan menimpa Komandan Brigade Persis Bandung, Ustadz Prawoto hingga tewas. Dua kasus yeng menimpa tokoh Islam ini, polisi menyimpulkan pelaku mengalami gangguan jiwa.
Banyak tokoh yang mengingatkan kepolisian untuk tidak cepat mengambil kesimpulan. Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir, misalnya menuntut aparat keamaaan harus tegas mengusut tuntas kasus ini sesuai dengan koridor hukum, tanpa pandang bulu. Haedar juga mengingatkan semua pihak tidak tergesa-gesa mengembangkan opini dangkal dan bias atas peristiwa-peristiwa yang menimpa tokoh agama ini.
Kekerasan terhadap tokoh agama bisa bergulir liar di media sosial, opini digiring untuk mempertanyakan hasil kerja kepolisian. Publik banyak bertanya-tanya, kenapa kekerasan yang menimpa tokoh ulama dikaitkan pelakunya dengan gangguan kejiwaan. Sementara, penyerang yang merusak gereja dikaitkan dengan radikalisme dan intoleransi.
Karena itulah, Haedar Nashir mengingatkan umat tidak tersulut emosi, sementara kepolisian dan para pejabat agar tetap bijak dan bersikap proposional, sehingga tidak terjadi kecemasan. Selain semua pihak waspada dan menaruh keprihatinan atas kejadian ini, neraca keadilan pun harus ditegakan.
Haedar juga mengajak seluruh umat beragama dan warga bangsa agar makin memperkokoh persaudaraan, saling menghormati dan mencintai, serta membangun jalinan sosial yang tulus dan rukun. Hal itu demi tegaknya kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara yang damai, maju, dan berperadaban mulia di Indonesia.
Belum lama ini, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengaku sudah melakukan upaya pencegahan pasca terjadinya penyerangan terhadap pemuka agama, dengan menginstruksikan jajaran kepolisian daerah (Polda) di berbagai wilayah untuk meningkatkan pengamanan di tempat-tempat ibadah. "Saya sudah mengingatkan polda-polda untuk lebih mendekat pada tempat ibadah dan ulama," ujar Tito.
Pernyataan Kapolri ini setidaknya meredam anggapan masyarakat yang menilai polisi kurang adil. Densus 88 diterjunkan untuk membongkar dugaan jaringan teroris di balik penyerangan gereja, sementara kasus yang menewaskan ustadz dianggap kurang mendapat perhatian serius. Hingga saat ini, benang merah antar peristiwa kekerasan itu belum terurai, apakah ada kaitannya atau peristiwa itu berdiri sendiri.
Merespon kekhawatiran penyerangan terhadap tokoh Islam, sekitar 300 ulama perwakilan Pondok Pesantren se-Priangan Timur yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Peduli Situasi (FMPS) membentuk Satuan Tugas 99 Asmaul Husna di Ponpes An Nur Jarnauziyyah, Rabu lalu (14/2). Mereka menyebutnya Densus 99 yang bertugas menjaga para ulama dari aksi kekerasan. Mirip namanya dengan Densus 88 milik Kepolisian RI
Semoga inisiatif ini bukan ketidakpercayaan terhadap kepolisian, tapi sebagai wujud partisipasi masyarakat untuk menjaga keamanan di lingkungannya. Umat Islam bukanlah warga yang berhitung jasa untuk bangsanya. Apa pun bisa dilakukan, harta bahkan nyawa untuk mendirikan negeri ini.
Teloransi sudah lama terjalin indah di negeri ini. Umat Islam meskipun sebagai mayoritas tak pernah memaksakan ruang sosial hanya untuk dirinya, dan meminggirkan umat beragama yang lain.. Karena, umat Islam yang meyakini kebenaran agamanya, dilarang untuk memaksakan agama untuk orang lain. Bahkan, sekedar untuk mengolok-ngolok sesembahan agama lain, sungguh dilarang dalam Alquran.
Lalu, kenapa radikalisme dan intoleransi tiba-tiba muncul ke permukaan?
Untuk mengurai faham radikalisme tidak sesederhana, dengan mengatakan setiap aksi terorisme atas nama agama karena doktrin jihad yang keliru. Semua nilai yang dianut seseorang merupakan produk interaksi politik dan sosial, bukan produk independen suatu ideologi apalagi agama. Ia lahir dari hasil interaksi strategis antara dua kekuatan yang bertikai dalam skema pertarungan yang tidak seimbang (asymmetric conflict).
Terorisme adalah sebuah aksi yang sudah dirancang dengan sangat rasional, bukan tindakan irasional, apalagi ekspresi dari kepribadian yang menyimpang. Bisa jadi pelaku yang melakukan penyerangan terhadap gereja, orang yang terinpirasi dengan aksi terorisme. Konon, setelah browsing di internet.
Masyarakat indonesia, seharusnya masyarakat yang sudah dewasa bersikap. Namun, faktor fundemental lain, seperti ketimpangan ekonomi, kemiskinan, pendidikan yang rendah, dan diskriminasi kelompok serta arogansi kekuasaan bisa menjadi pemicu aksi radikal. Ini jangan dianggap remeh
Pemerintah seharusnya mampu mengurai semuanya, sehingga tidak salah dalam bersikap dan mengambil kebijakan. Seseorang dianiaya hingga tewas oleh orang yang tidak waras, kebetulan korban adalah seorang ustadz. Bisa jadi inilah fakta yang sesungguhnya.
Namun, masyarakat bisa berimajinasi liar jika sikap dan komunikasi yang disampaikan kurang tepat. Jangan sampai karena Hoaks, merusak persaudaraan dan menyulut permusuhan di antara kita. Wallohu ‘alam