Manusia, Perubahan, dan Pengetahuan

MONITORDAY.COM - Di awal millennium ini, manusia terbata-bata membaca perubahan sosial, perubahan iklim, bahkan perubahan ‘kecil’ dalam tingkat struktur genetik virus. Jika perubahan itu ke arah yang lebih baik tentu tak akan jadi soal. Nyatanya perubahan-perubahan itu eksesif dan destruktif.
Perubahan sosial di era digital tak terelakkan dan berdampak luas dalam hubungan sosial. Nilai-nilai baru berkembang termasuk bagaimana individu memandang sesamanya. Manusia lebih banyak berhubungan dengan mesin daripada dengan sesamanya. Kita hidup diantara individu yang kecanduan teknologi dan dikendalikan oleh algoritma.
Sementara itu isu perubahan iklim mengubah kebijakan bahkan ideologi ekonomi negara-negara di dunia. Muncullah banyak istilah seperti green economy, protokol perubahan iklim, dan pasar karbon. Isu-isu ekologi semakin terakomodasi seiring dampak perubahan iklim yang semakin dirasakan umat manusia. Yang pasti suhu bumi makin panas dan permukaan laut makin tinggi.
Lalu pandemi pun datang. Lebih dari setahun dunia meradang. Mutasi-mutasi yang menghasilkan varian baru masih menghantui. Protokol kesehatan menjadi kata kunci di setiap kampanye menghadang laju sebaran virus. Negara-negara dengan sistem politik yang sentralistik dan pro-sains sejauh ini terlihat lebih kuat dan cepat bangkit dalam menghadapi pandemi. Lihatlah Tiongkok, Vietnam dan Negara Bagian Kerala di India.
Jika ditarik ke lingkup global, persoalan amnesia memang kompleks. Populasi berkembang pesat, pun pengetahuan dan teknologi sebagai jalan keluar untuk memenuhi hasrat dan kebutuhannya. Di satu sisi, kita cemas dengan keterbatasan sumber daya bumi yang tak akan mampu lagi menopang kebutuhan manusia. Di sisi lain kita juga cemas dengan pandemi yang tak hanya mengancam nyawa manusia. Ekonomi dunia juga bisa ambruk. Sebagian negara cemas dengan struktur demografinya dimana usia rerata penduduknya semakin menua.
Dalam dinamika dan ketakstabilan manusia membutuhkan kepastian. Dalam segala hal tak hanya dalam hubungan asmara. Berkembanglah ilmu pasti untuk menghindar dari ketidakpastian yang kerap mencemaskan dan membingungkan. Untuk menjelaskan banyak hal yang sistematis dalam tatanan semesta yang sarat dengan keteraturan. Termasuk keteraturan pada sesuatu yang berubah dan tak teratur.
Alam semesta dan perubahan bagai pasangan tak terpisahkan oleh ruang dan waktu. Secara evolutif manusia mengembangkan pengetahuan untuk memastikan banyak variabel dalam kehidupan. Sebagaimana kalkulus dirumuskan untuk menjelaskan apa yang tak dapat diterangkan oleh Aljabar dan Geometri. Dengan limit, turunan, integral, dan deret takterhingga matematika terus berkembang untuk menjelaskan keteraturan dari hal-hal yang nampak tak teratur.
Para saintis tengah ditantang untuk memecahkan masalah pandemi. Berbagai model matematika gagal memprediksi laju pandemi. Kemampuan mengembangkan tes, vaksin dan obat tak secepat laju penularan virus. Para praktisi kesehatan, ekonom, dan politisi pun harus mengambil keputusan dan langkah darurat. Khalayak sebagai penumpang ‘bus perubahan’ harus rela terguncang-guncang karena gas dan rem yang diinjak seketika.
Sampai di titik ini kita mungkin semakin menyadari betapa manusia penuh dengan kelemahan yang tersembunyi di balik segala pencapaian. Di balik mimpi tinggal di bulan dan Mars, di balik obsesi membuat matahari baru, dan segala mimpi yang menantang langit. Dalam perang mikrokosmik kita tengah kalah. Tak hanya oleh virus, juga oleh kelengahan dan keangkuhan kita sendiri. Dan hanya kesadaran sebagai makhluk Tuhan yang akan mengamankan kita dari hinlangnya nilai-nilai kemanusiaan.