Jerat Pinjaman Online

MONITORDAY.COM - Penggunaan dari jasa pinjaman online saat ini semakin massif. Kemudahan di dalam melakukan peminjaman uang juga menjadi salah satu kelebihan dari layanan ini dibandingkan layanan dari perbankan. Dalam hitungan beberapa hari, pinjaman online juga bisa langsung dicairkan tanpa harus repot mendatangi sebuah bank. Namun, masih banyak yang belum paham terkait dengan seperti apa hukum pinjaman online.
Hukum dari Pinjaman Online
Dengan banyaknya kemudahan dari pinjaman online, sanksi yang telah diberikan oleh perusahaan menjadi sering disalahgunakan. Misalnya saja sering sekali kita lihat kasus pinjaman online yang tidak membayar pinjaman akhirnya diancam hingga adanya tekanan dari pelecehan seksual yang menimpa peminjam. Berikut ini seperti apa seharusnya cara penagihan dari pinjaman online.
Tidak Berupa Pidana
Ketidakmampuan seseorang dalam membayar tagihan pinjaman tidak dapat membuat seseorang terkena hukum pidana. Hal itu telah dilindungi dan dijamin oleh sebuah undang-undang yang berlaku. Undang-undang tersebut adalah Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 pasal 19 ayat 2 terkait dengan HAM yang telah menjamin bahwa hukum pinjaman online bagi peminjam tidak boleh dikenakan pidana penjara apabila tidak mampu memenuhi pembayaran yang telah terjalin di dalam perjanjian utang piutang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila terdapat seseorang yang nantinya akan diancam dimasukkan penjara atau dilaporkan ke polisi akibat tidak mampu membayar tagihan utang, maka ancaman pidana tersebut bukan menjadi jalan keluar.
Banyak orang berpikir bahwa Pinjaman Online ini adalah solusi yang mudah dan cepat untuk mendapatkan uang. Namun ternyata dibalik kenyamanan ini, tentu ada konsekuensi dan risiko yang akan diterima oleh pelanggan jika mereka melanggar kewajiban mereka.
Perkembangan industri fintech ini juga lekat dengan stigma negatif dari masyakarat khususnya dalam cara penagihan. Permasalahan Pinjaman Online atau Financial Technology Peer To Peer Lending (Fintech P2P) kian hari terus menjadi sorotan publik. Berbagai kasus pelanggaran Perusahaan Fintech mulai bermunculan di media massa.
Bentuk pelanggaran oleh Perusahaan Fintech ini juga beragam jenisnya. Mulai dari penagihan intimidatif (Pasal 368 KUHP dan Pasal 29 jo 45 UU ITE), penyebaran data pribadi (Pasal 32 jo Pasal 48 UU ITE), penipuan (Pasal 378 KUHP) hingga pelecehan seksual melalui media elektronik (Pasal 27 Ayat 1 jo 45 Ayat 1 UU ITE) yang diduga terjadi dalam persoalan ini. Ragam dugaan pelanggaran tersebut salah satunya bersumber dari hasil laporan pengaduan masyarakat yang diterima oleh berbagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) .
Terakhir, permasalahan fintech ini bahkan merenggut nyawa nasabah yang memilih bunuh diri akibat depresi karena penagihan pinjaman tersebut. Sayangnya, penyelesaian hukum permasalahan ini masih minim sehingga kasus-kasus serupa terus bermunculan.
Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ketujuh menetapkan ketentuan hukum pinjaman online. MUI menyatakan pinjaman online atau pinjol haram.
Selain itu, MUI mempertimbangkan berbagai tindakan pelaku pinjol, khususnya pinjol ilegal, yang acap mengintimidasi dan menyebarkan aib peminjam yang gagal bayar pada waktunya. Miftahul mengatakan perbuatan intimidatif tersebut tidak diperbolehkan.
Setelah terbitnya fatwa ini, ia berharap pemerintah mengawasi secara ketat praktik pinjaman online. Miftahul meminta penegak hukum ikut berperan dalam menindak tegas praktik pinjaman yang menyalahi aturan.
Risya Umami
Mahasiswa ITB-AD
Jakarta