Tilik: Kritik Sosial dalam Film Lokal

Film Tilik memberi harapan bagi film-film lokal untuk bisa viral dan diapresiasi secara nasional.

Tilik: Kritik Sosial dalam Film Lokal
Sumber gambar: antaranews.com

MONDAYREVIEW.COM – Film merupakan salah satu media yang efektif guna menyampaikan pesan sekaligus menghibur masyarakat. Ada beragam jenis film berdasarkan genrenya, roman, horror, thriller dll. Film juga dibagi atas produsernya, ada yang dibuat oleh label major ada juga yang diproduksi oleh label indie. Ada yang berskala internasional, nasional dan local.

Baru-baru ini public dihebohkan dengan viralnya sebuah film local asal Yogyakarta, judulnya Tilik. Tilik adalah bahasa Jawa dari menjenguk. Film ini mengisahkan tentang sekelompok ibu-ibu yang menjenguk Ibu Lurah yang sedang sakit. Bu Lurah dirawat di sebuah Rumah Sakit ditemani oleh suami dan anaknya. Film local ini diproduksi oleh Ravacana Film bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Budaya DI Yogyakarta. Sutradara film ini Wahyu Agung Prasetyo merupakan alumnus dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Sosok Bu Tejo yang diperankan oleh Siti Fauziah menarik perhatian publik. Sosok yang digambarkan sebagai seorang ibu-ibu cerewet dan senang membicarakan orang lain ini menjadi pemeran utama dalam Film ini. Selama menempuh perjalanan dengan truk, Bu Tejo mengajak ibu-ibu yang lain untuk membicarakan sosok Dian. Dian adalah seorang wanita muda yang lahir dari keluarga biasa. Ibu Tejo curiga bahwa Dian melakukan pekerjaan yang tidak halal sehingga mendapatkan harta yang cukup banyak.

Bu Tejo juga curiga bahwa Dian berpacaran dengan Fikri, anak dari Bu Lurah. Sepanjang jalan Bu Tejo bertingkah dan berucap menghibur penonton. Sempat juga ada adegan lucu saat Bu Tejo mendadak ingin ke kamar mandi dan truk harus berhenti di sebuah masjid. Awalnya truk tersebut berhenti di tengah-tengah jalan dimana kanan kirinya terdapat sawah. Menjelang sampai ke Rumah Sakit, Bu Tejo terlibat adu mulut dengan kawannya tentang Dian.

Akhirnya rombongan Tilik tersebut sampai di halaman Rumah Sakit. Namun Dian mengatakan bahwa mereka tidak bisa menjenguk Bu Lurah dan harus kembali pulang. Di sana selain Dian ada Fikri putra Bu Lurah, semakin kuatlah dugaan Bu Tejo bahwa Dian ada affair dengan Fikri. Bu Tejo menyemangati rekan-rekannya yang kecewa karena tidak bisa menjenguk Bu Lurah. Di akhir film, ada adegan plot twist yang tidak terduga.

Film ini mendapatkan banyak apresiasi sekaligus kritik dari masyarakat. Bagi yang mengapresiasi, film ini dianggap menggambarkan kondisi sebenarnya dari masyarakat kita. Banyak yang senyum-senyum sendiri saat melihat acting Bu Tejo. Walaupun hanya acting, namun Bu Tejo berhasil membuat penonton terbawa suasana. Beredar juga meme-meme Bu Tejo yang segera viral di dunia maya. Bagi yang mengapresiasi, film Tilik berhasil menyampaikan kritik sosial tentang kebiasaan ngerumpi di kalangan ibu-ibu.

Banyak pula yang melihat film ini secara kritis, salah satunya adalah Risa Karmida seorang praktisi komunikasi di Yogyakarta. Risa kecewa kepada ending filmnya yang seolah membenarkan perilaku Bu Tejo. Menurutnya, jika ingin menyampaikan kritik terhadap kebiasaan membicarakan orang lain, seharusnya ending dibuat mendukung Dian, bukan malah mendukung Bu Tejo. Ada juga kritik mengapa ibu-ibu yang ditampilkan berjilbab, seolah perilaku berjilbab banyak yang berperilaku seperti Bu Tejo. Kritik ini dijawab oleh Iqbal Aji Daryono penulis asal Bantul bahwa tidak ada korelasi antara jilbab dan perilaku di dunia nyata. Jilbab adalah identitas masyarakat bagi perempuan yang sudah menikah.

Terlepas dari apresiasi dan kritik, namun Film Tilik memberi harapan bagi film-film lokal untuk bisa viral dan diapresiasi secara nasional. Film ini juga memberikan harapan kepada sineas-sineas lokal untuk menghasilkan karya yang dapat diapersiasi secara luas.

MONDAYREVIEW.COM – Film merupakan salah satu media yang efektif guna menyampaikan pesan sekaligus menghibur masyarakat. Ada beragam jenis film berdasarkan genrenya, roman, horror, thriller dll. Film juga dibagi atas produsernya, ada yang dibuat oleh label major ada juga yang diproduksi oleh label indie. Ada yang berskala internasional, nasional dan local.

Baru-baru ini public dihebohkan dengan viralnya sebuah film local asal Yogyakarta, judulnya Tilik. Tilik adalah bahasa Jawa dari menjenguk. Film ini mengisahkan tentang sekelompok ibu-ibu yang menjenguk Ibu Lurah yang sedang sakit. Bu Lurah dirawat di sebuah Rumah Sakit ditemani oleh suami dan anaknya. Film local ini diproduksi oleh Ravacana Film bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Budaya DI Yogyakarta. Sutradara film ini Wahyu Agung Prasetyo merupakan alumnus dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Sosok Bu Tejo yang diperankan oleh Siti Fauziah menarik perhatian publik. Sosok yang digambarkan sebagai seorang ibu-ibu cerewet dan senang membicarakan orang lain ini menjadi pemeran utama dalam Film ini. Selama menempuh perjalanan dengan truk, Bu Tejo mengajak ibu-ibu yang lain untuk membicarakan sosok Dian. Dian adalah seorang wanita muda yang lahir dari keluarga biasa. Ibu Tejo curiga bahwa Dian melakukan pekerjaan yang tidak halal sehingga mendapatkan harta yang cukup banyak.

Bu Tejo juga curiga bahwa Dian berpacaran dengan Fikri, anak dari Bu Lurah. Sepanjang jalan Bu Tejo bertingkah dan berucap menghibur penonton. Sempat juga ada adegan lucu saat Bu Tejo mendadak ingin ke kamar mandi dan truk harus berhenti di sebuah masjid. Awalnya truk tersebut berhenti di tengah-tengah jalan dimana kanan kirinya terdapat sawah. Menjelang sampai ke Rumah Sakit, Bu Tejo terlibat adu mulut dengan kawannya tentang Dian.

Akhirnya rombongan Tilik tersebut sampai di halaman Rumah Sakit. Namun Dian mengatakan bahwa mereka tidak bisa menjenguk Bu Lurah dan harus kembali pulang. Di sana selain Dian ada Fikri putra Bu Lurah, semakin kuatlah dugaan Bu Tejo bahwa Dian ada affair dengan Fikri. Bu Tejo menyemangati rekan-rekannya yang kecewa karena tidak bisa menjenguk Bu Lurah. Di akhir film, ada adegan plot twist yang tidak terduga.

Film ini mendapatkan banyak apresiasi sekaligus kritik dari masyarakat. Bagi yang mengapresiasi, film ini dianggap menggambarkan kondisi sebenarnya dari masyarakat kita. Banyak yang senyum-senyum sendiri saat melihat acting Bu Tejo. Walaupun hanya acting, namun Bu Tejo berhasil membuat penonton terbawa suasana. Beredar juga meme-meme Bu Tejo yang segera viral di dunia maya. Bagi yang mengapresiasi, film Tilik berhasil menyampaikan kritik sosial tentang kebiasaan ngerumpi di kalangan ibu-ibu.

Banyak pula yang melihat film ini secara kritis, salah satunya adalah Risa Karmida seorang praktisi komunikasi di Yogyakarta. Risa kecewa kepada ending filmnya yang seolah membenarkan perilaku Bu Tejo. Menurutnya, jika ingin menyampaikan kritik terhadap kebiasaan membicarakan orang lain, seharusnya ending dibuat mendukung Dian, bukan malah mendukung Bu Tejo. Ada juga kritik mengapa ibu-ibu yang ditampilkan berjilbab, seolah perilaku berjilbab banyak yang berperilaku seperti Bu Tejo. Kritik ini dijawab oleh Iqbal Aji Daryono penulis asal Bantul bahwa tidak ada korelasi antara jilbab dan perilaku di dunia nyata. Jilbab adalah identitas masyarakat bagi perempuan yang sudah menikah.

Terlepas dari apresiasi dan kritik, namun Film Tilik memberi harapan bagi film-film lokal untuk bisa viral dan diapresiasi secara nasional. Film ini juga memberikan harapan kepada sineas-sineas lokal untuk menghasilkan karya yang dapat diapersiasi secara luas.

MONDAYREVIEW.COM – Film merupakan salah satu media yang efektif guna menyampaikan pesan sekaligus menghibur masyarakat. Ada beragam jenis film berdasarkan genrenya, roman, horror, thriller dll. Film juga dibagi atas produsernya, ada yang dibuat oleh label major ada juga yang diproduksi oleh label indie. Ada yang berskala internasional, nasional dan local.

Baru-baru ini public dihebohkan dengan viralnya sebuah film local asal Yogyakarta, judulnya Tilik. Tilik adalah bahasa Jawa dari menjenguk. Film ini mengisahkan tentang sekelompok ibu-ibu yang menjenguk Ibu Lurah yang sedang sakit. Bu Lurah dirawat di sebuah Rumah Sakit ditemani oleh suami dan anaknya. Film local ini diproduksi oleh Ravacana Film bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Budaya DI Yogyakarta. Sutradara film ini Wahyu Agung Prasetyo merupakan alumnus dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Sosok Bu Tejo yang diperankan oleh Siti Fauziah menarik perhatian publik. Sosok yang digambarkan sebagai seorang ibu-ibu cerewet dan senang membicarakan orang lain ini menjadi pemeran utama dalam Film ini. Selama menempuh perjalanan dengan truk, Bu Tejo mengajak ibu-ibu yang lain untuk membicarakan sosok Dian. Dian adalah seorang wanita muda yang lahir dari keluarga biasa. Ibu Tejo curiga bahwa Dian melakukan pekerjaan yang tidak halal sehingga mendapatkan harta yang cukup banyak.

Bu Tejo juga curiga bahwa Dian berpacaran dengan Fikri, anak dari Bu Lurah. Sepanjang jalan Bu Tejo bertingkah dan berucap menghibur penonton. Sempat juga ada adegan lucu saat Bu Tejo mendadak ingin ke kamar mandi dan truk harus berhenti di sebuah masjid. Awalnya truk tersebut berhenti di tengah-tengah jalan dimana kanan kirinya terdapat sawah. Menjelang sampai ke Rumah Sakit, Bu Tejo terlibat adu mulut dengan kawannya tentang Dian.

Akhirnya rombongan Tilik tersebut sampai di halaman Rumah Sakit. Namun Dian mengatakan bahwa mereka tidak bisa menjenguk Bu Lurah dan harus kembali pulang. Di sana selain Dian ada Fikri putra Bu Lurah, semakin kuatlah dugaan Bu Tejo bahwa Dian ada affair dengan Fikri. Bu Tejo menyemangati rekan-rekannya yang kecewa karena tidak bisa menjenguk Bu Lurah. Di akhir film, ada adegan plot twist yang tidak terduga.

Film ini mendapatkan banyak apresiasi sekaligus kritik dari masyarakat. Bagi yang mengapresiasi, film ini dianggap menggambarkan kondisi sebenarnya dari masyarakat kita. Banyak yang senyum-senyum sendiri saat melihat acting Bu Tejo. Walaupun hanya acting, namun Bu Tejo berhasil membuat penonton terbawa suasana. Beredar juga meme-meme Bu Tejo yang segera viral di dunia maya. Bagi yang mengapresiasi, film Tilik berhasil menyampaikan kritik sosial tentang kebiasaan ngerumpi di kalangan ibu-ibu.

Banyak pula yang melihat film ini secara kritis, salah satunya adalah Risa Karmida seorang praktisi komunikasi di Yogyakarta. Risa kecewa kepada ending filmnya yang seolah membenarkan perilaku Bu Tejo. Menurutnya, jika ingin menyampaikan kritik terhadap kebiasaan membicarakan orang lain, seharusnya ending dibuat mendukung Dian, bukan malah mendukung Bu Tejo. Ada juga kritik mengapa ibu-ibu yang ditampilkan berjilbab, seolah perilaku berjilbab banyak yang berperilaku seperti Bu Tejo. Kritik ini dijawab oleh Iqbal Aji Daryono penulis asal Bantul bahwa tidak ada korelasi antara jilbab dan perilaku di dunia nyata. Jilbab adalah identitas masyarakat bagi perempuan yang sudah menikah.

Terlepas dari apresiasi dan kritik, namun Film Tilik memberi harapan bagi film-film lokal untuk bisa viral dan diapresiasi secara nasional. Film ini juga memberikan harapan kepada sineas-sineas lokal untuk menghasilkan karya yang dapat diapersiasi secara luas.