Ekonomi Kita Bisa Pulih Jika Lakukan Reformasi Struktural

Ekonomi Kita Bisa Pulih Jika Lakukan Reformasi Struktural
MEnko Perekonomian Airlangga Hartarto/ laman resmi Kemenko Perekonomian

MONITORDAY.COM - Efisiensi menjadi kata kunci dalam kompetisi global. Dan salah satu lawannya adalah ekonomi biaya tinggi yang membuat produk-produk suatu negara kalah bersaing. Birokrasi yang rumit dan korup tak hanya membuat kerugian negara dalam jangka pendek namun akan menenggelamkan daya saingnya dalam skala regional bahkan global. 

Perkara memangkas belantara perizinan dan menghilangkan pungli bukanlah perkara mudah. Aturan main yang tegas dan adil harus diundangkan dan diterapkan dengan konsekuen. Hal itu didasarkan pada kesadaran bersama bahwa kita sebagai bangsa akan tetap tegak berdiri jika keadilan dan keterbukaan dijalankan dengan benar tanpa kompromi. Atau kita akan tenggelam bersama. 

Di tengah badai pandemi kesadaran itu harus ditularkan. Kesadaran kebangsaan bukan hanya berhenti sebatas slogan-slogan politik namun harus mewujud sebagai tindakan  rasional. Jika kita tak mengurai benang kusut dan inefisiensi birokrasi dan tak mampu berlaku efisien maka kita akan sulit bangkit dari keterpurukan.  

Soal birokrasi ini sangat mempengaruhi daya saing kita dalam dunia usaha dan investasi. Indonesia dan negara-negara lain menyadari bahwa pemulihan ekonomi sangat penting mengingat pandemi yang begitu besar dampaknya secara global. Para pengambil kebijakan harus mengurai hambatan-hambatan struktural yang selama ini menjadi salah satu faktor utama high-cost economy, serta berimplikasi pada rendahnya daya saing ekonomi dalam perdagangan dan investasi.

Negara-negara yang memiliki daya saing tinggi, ramah investasi, dan efisien akan memiliki kesempatan untuk pulih lebih cepat dari krisis ekonomi. Pemulihan ekonomi paska pandemi harus mampu  mendorong reformasi yang berfokus pada pertumbuhan inklusif, kuat, berkelanjutan, dan ramah inovasi.

Mau tak mau harus dilakukan langkah cepat dan strategis untuk mendorong efisiensi birokrasi, kemudahan berusaha, peningkatan kepastian hukum, peningkatan kualitas regulasi, dan hal-hal terkait lainnya yang diidentifikasi sebagai hambatan-hambatan struktural yang selama ini menjadi salah satu faktor utama high-cost economy, serta berimplikasi pada rendahnya daya saing satu ekonomi dalam perdagangan dan investasi.

Dikutip dari laman resmi Kementerian Koordinator Perekonomian, ada 4 (empat) pilar Reformasi Struktural 5 tahun ke depan (2021-2025) yang dijadikan panduan langkah oleh Pemerintah dalam mengawal pemulihan ekonomi. Pertama, menciptakan lingkungan bagi pasar yang terbuka, transparan dan kompetitif.

Kedua, mendorong pemulihan dunia usaha dan daya tahan menghadapi gejolak di masa yang akan datang. Ketiga, memastikan semua kelompok masyarakat memiliki akses yang sama atau inklusif, pertumbuhan ekonomi, dan kondisi yang lebih baik. Keempat, mengedepankan inovasi, teknologi baru, dan pengembangan kemampuan  untuk mendorong produktivitas dan digitalisasi. 

Krisis yang terjadi akibat pandemi Covid-19 sebagai momentum penting untuk melakukan reformasi struktural di Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan tekad Pemerintah dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip pembangunan inklusif berkelanjutan serta menggunakan krisis sebagai momentum untuk melakukan reformasi struktural secara komprehensif.  

Pernyataan ini disampaikan saat menghadiri APEC Structural Reform Ministerial Meeting (SRMM) / Pertemuan Tingkat Menteri Reformasi Struktural APEC ke-3 yang digelar secara virtual pada Rabu (16/06) di Jakarta. Pertemuan yang dipimpin oleh Hon. David Clark, Minister of Commerce and Consumer Affairs New Zealand ini dihadiri oleh perwakilan dari 21 negara anggota APEC.

Menko Airlangga menerangkan,”Forum bertujuan untuk melakukan review Agenda Reformasi Struktural APEC tahun 2015-2020 dan mendukung Agenda 5 tahun ke depan. Dalam pertemuan ini, saya beserta para Menteri APEC lainnya telah menyepakati untuk bekerja sama dalam Agenda Reformasi Struktural baru yang mendukung pemulihan ekonomi paska pandemi dan mendorong reformasi yang berfokus pada pertumbuhan inklusif, kuat, berkelanjutan, dan ramah inovasi.

” Agenda reformasi Struktural APEC meliputi upaya-upaya peningkatan efisiensi birokrasi, kemudahan berusaha, peningkatan kepastian hukum, peningkatan kualitas regulasi, dan hal-hal terkait lainnya yang diidentifikasi sebagai hambatan-hambatan struktural yang selama ini menjadi salah satu faktor utama high-cost economy, serta berimplikasi pada rendahnya daya saing satu ekonomi dalam perdagangan dan investasi. 

“Pandemi Covid-19 merupakan momentum untuk melakukan reformasi struktural yang menyeluruh bagi perekonomian Indonesia yang diwujudkan melalui roadmap pembangunan ekonomi yang lebih hijau, lebih cerdas, lebih produktif, dan berkeadilan. Pertumbuhan berkelanjutan merupakan kunci dalam pemulihan ekonomi paska pandemi Covid-19 dan pertumbuhan inklusif berkelanjutan dapat dicapai melalui program-program green economy,” ujar Menko Perekonomian. Indonesia memprioritaskan pembangunan ekonomi ramah lingkungan seperti hydro power, panel surya, geothermal dan biodiesel 30 persen (B30). 

Lebih lanjut disampaikan bahwa program vaksinasi yang sudah dilaksanakan sampai saat ini mencapai 32.8 juta dosis, hal ini merupakan game changer dalam penurunan kasus Covid-19 di Indonesia.

Pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas sebesar 30% pada tahun 2030 dengan memprioritaskan pembangunan rendah karbon sebagai intisari rencana pembangunan nasional.

Pemerintah juga mendorong peningkatan keterampilan pekerja melalui program Kartu Prakerja berupa skilling, up-skilling dan re-skilling yang menjadi bagian utama untuk meningkatkan kesejahteraan bagi para angkatan kerja yang perlu mencari kerja.

“Pemerintah menerapkan prinsip ekonomi sirkular sebagai bagian dari ekonomi berkelanjutan dengan berkomitmen mengurangi sampah rumah tangga sebesar 30% dan sampah plastik di laut sebesar 70% di tahun 2025,” ujar Menko Airlangga.

Sektor industri telah menerapkan konsep ekonomi sirkular dengan mengesahkan Green Industry Standardization yang berstandar internasional. Dunia usaha merespon baik kebijakan ini dengan membentuk Packaging Recovery Organization (PRO) yang bertujuan mempercepat implementasi ekonomi sirkular, dengan beberapa kegiatan seperti pengumpulan sampah dan daur ulang.