UU ITE dan Ancaman Kebebasan Berpendapat
Tren pelaporan dugaan pelanggaran UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) meningkat signifikan tiap tahun.

MONDAYREVIEW.COM – Sebagaimana undang-undang pada umumnya, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disusun dengan spirit yang baik, yakni melindungi masyarakat dari kejahatan yang terjadi di dunia maya (cyber crime). Namun sayangnya, terdapat pasal karet dalam UU tersebut, yakni pasal 27 ayat 3. Bunyi pasal tersebut adalah:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal ini telah memakan banyak korban, yakni seorang yang seharusnya berada dalam pihak yang benar menjadi salah karena kasus ini. Kasus terbaru menimpa seorang pegiat literasi di Bandung yang bernama Didin Tulus. Dia dilaporkan oleh pemilik sebuah penerbitan buku-buku berbahasa Sunda di Bandung karena dianggap mengunggah status facebook yang mengandung fitnah. Didin tidak ditahan namun diperiksa oleh kepolisian. Jika hasil penyidikan menetapkan Didin sebagai tersangka, boleh jadi kasus ini akan berakhir ke meja hijau bahkan penjara.
Sebelum Didin, puluhan orang telah terjerat UU ITE, sebagian dari mereka adalah korban pasal karet. Ada yang diutangi oleh seorang istri kombes polisi, lalu dia menagih utang via media sosial. Yang ditersangkakan malah sang penagih utang, yakni Febi. Padahal posisinya adalah korban yang dirugikan. Kasus ini menarik banyak simpati dari warganet, namun tidak bisa mengubah keputusan hakim yang menyatakan Febi bersalah.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto mengatakan, tren pelaporan dugaan pelanggaran UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) meningkat signifikan tiap tahun. Sejak 2017, peningkatan itu terus terjadi. Pada 2017, sebanyak 1.007 orang diselidiki terkait dengan dugaan pelanggaran UU ITE. Selanjutnya pada 2019 naik menjadi sekitar 3.000 orang. Peningkatan jumlah kasus dipengaruhi pasal-pasal karet yang memungkinkan setiap individu atau kelompok melaporkan pihak tertentu. Pasal karet itu terutama Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE.
Salah satu pasal yang sering digunakan adalah Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sementara itu, mengutip Harian Kompas, Selasa (7/1/2020), Dari berbagai kritik terhadap UU ITE tampak bahwa UU ini dalam beberapa hal masih dianggap kurang menjamin kepastian hukum.
Beberapa perumusan bersifat multitafsir (karet) sehingga mengganggu kebebasan berekspresi (opini, kritik) di era demokrasi melalui Facebook, Twitter, Youtube, messenger (SMS, Whatsapp, dan BBM). Di samping itu, UU ITE cenderung memicu perselisihan warga masyarakat yang dengan mudah melaporkan kepada penegak hukum dan menambah sumber konflik antara penguasa dan anggota masyarakat. Beberapa pasal dianggap merupakan duplikasi dengan aturan KUHP. Selanjutnya, ada kesan UU ITE di satu pihak mengandung unsur perlindungan, tetapi juga mengandung ancaman dan mengakibatkan keresahan.
Pasal karet dalam UU ITE hendaknya ditinjau kembali bahkan dihapus. Masyarakat pun harus paham dan sadar bahwa persoalan pribadi seperti ketersinggungan, penghinaan tidak perlu diselesaikan secara pidana, melainkan bisa dengan jalan kekeluargaan terlebih dahulu. Jika hal-hal sepele mesti diselesaikan oleh aparat, akan sangat sibuk sekali polisi mengurusi laporan itu. Sementara masih banyak hal yang perlu diurusi dan lebih urgen diurus oleh kepolisian.