Nagorno - Karabakh, Konflik yang Bisa Libatkan Rusia-Turki

Wabah global dan merosotnya ekonomi dunia tak menyurutkan perseteruan lama. Bukan tidak mungkin justru menjadi pemicu kala berkeling-kelindan dengan berbagai persoalan regional. Bara yang selama ini ada dalam sekam berubah menjadi api konflik yang memakan korban jiwa dan harta. Setelah memanasnya sengketa wilayah India dengan Tiongkok kini ekskalasi konflik juga terjadi antara Azerbaijan dengan Armenia. Warga Azeri mayoritas penganut Syiah sementara warga Armenia lebih banyak yang menganut Kristen Apostolik.

 Nagorno - Karabakh, Konflik yang Bisa Libatkan Rusia-Turki
perang di nagorno-karabakh/ dw.com

MONDAYREVIEW. COM – Wabah global dan merosotnya ekonomi dunia tak menyurutkan perseteruan lama. Bukan tidak mungkin justru menjadi pemicu kala berkeling-kelindan dengan berbagai persoalan regional. Bara yang selama ini ada dalam sekam berubah menjadi api konflik yang memakan korban jiwa dan harta.

Setelah memanasnya sengketa wilayah India dengan Tiongkok kini ekskalasi konflik juga terjadi antara Azerbaijan dengan Armenia. Warga Azeri mayoritas penganut Syiah sementara warga Armenia lebih banyak yang menganut Kristen Apostolik.  

Rusia lebih condong mendukung Armenia. Dulu Armenia dan Azerbaijan merupakan negara kaukasus yang menjadi bagian dari Uni Soviet atau USSR. Di sisi lain Turki dan Iran ada di belakang Azerbaijan. Etnis azeri memang kental dengan darah Turk. Sementara dari sisi keyakinan mereka dekat dengan warga Parsi.

Konflik Nagorno-Karabakh adalah suatu persengketaan wilayah dan konflik etnis antara Armenia dan Azerbaijan atas wilayah Nagorno-Karabakh, yang secara de facto dikuasai oleh Republik Nagorno-Karabakh yang diproklamasikan sendiri, tapi secara internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan. Demikian menurut Wikipedia.

Konflik ini dimulai dari awal abad ke-20, meskipun konflik yang sekarang dimulai pada tahun 1988 dan meningkat menjadi perang berskala penuh pada awal 1990-an. Ketegangan sporadis dan pertempuran di perbatasan terus berlanjut di wilayah itu meskipun suatu perjanjian gencatan senjata telah ditandatangani pada tahun 1994.

Latar belakang konflik ini adalah Perestroika dan disusul dengan pembubaran Uni Soviet, ketegangan etnis meningkat antara orang Armenia dengan orang Azerbaijan di wilayah Nagorno-Karabakh.

Perang Nagorno-Karabakh, dikenal juga sebagai Perang Pembebasan Artsakh di Armenia dan Nagorno-Karabakh, adalah suatu konflik bersenjata yang terjadi pada akhir 1980-an hingga Mei 1994, di daerah kantong Nagorno-Karabakh barat daya Azerbaijan, antara etnis mayoritas Armenia dari Nagorno-Karabakh didukung oleh Republik Armenia dengan Republik Azerbaijan. Armenia dan Azerbaijan, keduanya bekas Republik Soviet, mendeklarasikan perang di pegunungan Karabakh karena Azerbaijan berusaha untuk mengekang gerakan separatis di Nagorno-Karabakh.

Parlemen daerah kantong telah memberikan suara mendukung penyatuan wilayahnya dengan Armenia dan dilakukan referendum yang diboikot oleh penduduk Azerbaijan di Nagorno-Karabakh, yang hasil referendum itu suara terbesar mendukung kemerdekaan.

Permintaan untuk menyatukan dengan Armenia, yang dimulai lagi pada tahun 1988, mulai dilakukan dengan cara-cara relatif damai. Tetapi, pada bulan-bulan berikutnya, saat pembubaran Uni Soviet semakin dekat, secara bertahap tumbuh menjadi konflik kekerasan yang semakin meningkat antara etnis Armenia dan etnis Azerbaijan, yang memunculkan klaim pembersihan etnis dari kedua belah pihak.

Deklarasi pemisahan diri dari Azerbaijan adalah hasil akhir dari konflik teritorial mengenai wilayah. Saat Azerbaijan menyatakan kemerdekaannya dari Uni Soviet dan menghapus kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah daerah kantong, mayoritas etnis Armenia memilih untuk memisahkan diri dari Azerbaijan dan dalam prosesnya memproklamasikan Republik Nagorno-Karabakh yang masih diakui secara terbatas.

Pada akhir perang tahun 1994, etnis Armenia menguasai sepenuhnya sebagian besar daerah kantong dan juga menahan dan saat ini mengendalikan sekitar 9% dari wilayah Azerbaijan di luar daerah kantong.

Sebanyak 230.000 orang Armenia dari Azerbaijan dan 800.000 orang Azeri dari Armenia dan Karabakh telah mengungsi akibat konflik. Sebuah perjanjian gencatan senjata yang ditengahi oleh Rusia ditandatangani pada Mei 1994 dan sejak itu pembicaraan damai, yang dimediasi oleh Kelompok Minsk OSCE, telah dilakukan oleh Armenia dan Azerbaijan.

Sejauh ini sudah lebih dari 100 orang dinyatakan tewas dalam peristiwa terakhir itu. Korban jiwa bukan cuma petempur Armenia, tapi juga warga sipil setempat. Otoritas Azerbaijan tidak merilis kerugian yang diderita militer mereka. Namun muncul perkiraan bahwa kerugian mereka tidak sebesar pihak Armenia.

Pertempuran itu tampaknya dipicu upaya pasukan Azerbaijan merebut kembali sebagian besar wilayah yang diduduki Armenia dalam perang Karabakh. Perang itu pecah setelah Uni Soviet runtuh.

Ratusan ribu etnis Azeri mengungsi dari daerah ini selama tahun 1992 hingga 1994. Eskalasi yang terjadi ini muncul dalam perselisihan yang menghebat sepanjang tahun, dari kebuntuan proses diplomatik, retorika perang, serta bentrokan selama Juli di sisi utara perbatasan Armenia dan Azerbaijan.

Eskalasi militer sebelum ini, antara Armenia dan Azerbaijan, mampu diatasi dalam beberapa hari. Namun intensitas pertempuran yang terjadi saat ini mungkin tidak dapat diredakan secara biasa. Daerah sipil di wilayah Nagorno-Karabakh yang diperebutkan dilanda serangan rudal dan pemboman untuk pertama kalinya sejak dekade 1990-an. Sasaran sipil di Armenia dan Azerbaijan juga telah diserang.

Armenia dan Azerbaijan tampak tengah menggali konflik yang bakal berlangsung lebih lama. Azerbaijan menolak negosiasi baru dengan Armenia. Tidak seperti pada peristiwa sebelumnya, Azerbaijan kini dapat mengandalkan dukungan besar dari pemerintah Turki.

Potensi yang bisa terjadi ke depan adalah konflik yang lebih lama dan berlarut-larut. Situasi itu akan membuka peluang keterlibatan negara lain. Artinya, perang kawasan yang lebih luas bisa terjadi.

Turki secara tradisional memberikan dukungan moral dan diplomatik kepada Azerbaijan. Selain sebagai sesama bangsa Turk, Azerbaijan juga mitra geo-strategis utama mereka. Kontak antara pejabat pertahanan kedua negara semakin intensif setelah bentrokan Juli lalu. Mereka menggelar latihan militer bersama setelahnya.

Mereka bakal memberikan berbagai bantuan militer kepada Azerbaijan. Ada pertanyaan besar, apakah teknologi pesawat militer nirawak Turki yang ditakuti juga sedang dikerahkan untuk Azerbaijan.

Armenia menuduh Ankara menembak jatuh pesawat SU-25 milik mereka 29 September lalu. Tapi tuduhan itu dibantah oleh Turki. Meskipun klaim semacam itu telah dibuat sebelumnya dan ternyata tidak benar, ada juga klaim yang belum dikonfirmasi dan terus berkembang, bahwa Turki memobilisasi tentara bayaran dari Suriah untuk berperang bersama pasukan Azerbaijan.

Rusia memainkan peran yang beragam, seringkali secara kontradiktif, dalam konflik. Melalui hubungan bilateral dan Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO), Rusia memberi Armenia jaminan keamanan. Namun dukungan ini tidak meluas ke zona pertempuran di Nagorno-Karabakh, yang diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan.

Rusia juga memasok senjata ke kedua belah pihak dan merupakan salah satu pimpinan Grup Minsk yang sedang menengahi konflik Armenia-Azerbaijan. Rusia menyerukan gencatan senjata, tapi tidak seperti eskalasi skala besar sebelumnya, mereka belum mengadakan pertemuan dengan petinggi politik atau militer Armenia serta Azerbaijan. Rusia memiliki hubungan yang tidak menyenangkan dengan pemimpin baru Armenia, Nikol Pashinyan.

Sementara itu, Armenia tidak diragukan lagi akan lebih memilih menangani eskalasi itu sendiri. Pada tahun 1990-an Rusia tidak mampu mengerahkan pasukan penjaga perdamaian di wilayah Nagorno-Karabakh. Keresahan Armenia bahwa bantuan Rusia akan datang dengan pamrih mendorong mereka lebih berhati-hati dalam meminta dukungan Rusia.

Selama pertempuran berada di wilayah yang diperebutkan di atau sekitar Nagorno-Karabakh, upaya menjaga kenetralan Rusia membuat keterlibatan mereka menjadi tidak mungkin. Namun konflik yang terjadi dalam waktu lebih lama dan dengan partisipasi Turki jelas akan mengancam dominasi Rusia. Apalagi ini terjadi di wilayah yang Rusia anggap sebagai bagian dari kepentingan penting mereka. Situasi ini memancing Rusia untuk memberikan respons.