Tinjauan Kritis Link and Match Perguruan Tinggi dan Industri

Dua pemikiran yang bertentangan antara link and match perguruan tinggi dan industri serta yang menolak perguruan tinggi mencetak buruh hendaknya bisa dicari jalan tengahnya.

Tinjauan Kritis Link and Match Perguruan Tinggi dan Industri

MONDAYREVIEW.COM – Dalam kegiatan webinar Konferensi Forum Rektor Indonesia, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan bahwa sebaran program studi di perguruan tinggi belum sesuai dengan kebutuhan industri. Hal ini karena jurusan dalam bidang ilmu sosial lebih banyak dibandingkan jurusan ilmu eksak. Sementara industri lebih membutuhkan jurusan ilmu sains dibanding sosial.

Menurut Muhadjir, di jenjang SMA sudah dipetakan bahwa kuantitas jurusan IPA dibanding dengan jurusan IPS adalah 3 berbanding 1. Namun karena siswa jurusan IPA boleh untuk masuk IPS, maka saat menempuh perguruan tinggi, pemetaan tersebut tidak relevan lagi. Menurut Muhadjir karakter pendidikan tinggi harus diperjelas dan mahasiswa dibebaskan untuk memilih jurusan. Hal tersebut guna mewujudkan link and match antara perguruan tinggi dan industri.

Pernyataan Muhadjir mengundang reaksi dari Toto Raharjo pakar sekaligus pengamat pendidikan. Menurut Toto, dunia pendidikan hari ini memang sudah disetting untuk memenuhi kebutuhan pasar dan industri. Dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, arah pendidikan kita memang sudah memenuhi kebutuhan industri. Hal ini menurut Toto disebabkan pengaruh globalisasi yang tidak bisa dihindari. Walaupun begitu, hal ini tak bisa dibenarkan dan perlu dikritisi.

Menurut Toto, pendidikan bertujuan mencetak manusia seutuhnya, bukan mencetak tenaga kerja. Tenaga kerja bisa dicetak melalui balai latihan kerja, tidak perlu perguruan tinggi. Kata “mencetak” saja sudah perlu dikritik, karena pada dasarnya pendidikan adalah menumbuhkan potensi peserta didik, bukan mencetak peserta didik sesuai dengan kemauan pendidik. Lagi pula pada kenyataannya industri tidak mampu menyerap seluruh angkatan kerja yang dihasilkan perguruan tinggi.

Industri mempunyai kapasitas yang terbatas untuk menyerap tenaga kerja. Sementara lulusan perguruan tinggi lebih banyak daripada kapasitas yang ada. Ketidakmampuan industri dalam negeri menyerap tenaga kerja juga membuat banyak yang memilih menjadi tenaga kerja di luar negeri. Maka mahasiswa justru harus disiapkan mempunyai skill dan bekal yang cukup untuk tetap survive jika tidak terserap pasar kerja. Yang tidak boleh dilupakan adalah link and match perguruan tinggi dengan lingkungan dan masyarakat.

Beberapa bulan sebelumnya Kemdikbud RI sudah mencanangkan program Kampus Merdeka. Dalam program ini direncanakan mahasiswa akan lebih diintegrasikan dengan industri melalui program magang yang lebih lama dari biasanya. Kampus juga dituntut untuk lebih berkolaborasi dengan pihak industri. Spiritnya adalah terwujudnya link and match antara perguruan tinggi dan industri. Menurut Nadiem Makarim, selama ini pembelajaran di kampus terlalu teoritik dan kurang dalam praktik. Maka dari itu mahasiswa harusnya terjun langsung ke dalam industri agar mempunyai pengalaman.

Dua pemikiran yang bertentangan antara link and match perguruan tinggi dan industri serta yang menolak perguruan tinggi mencetak buruh hendaknya bisa dicari jalan tengahnya. Pada dasarnya dua pemikiran ini mempunyai spirit yang sama-sama baik, walaupun berbeda sudut pandang. Kita mesti menyiapkan anak-anak didik kita untuk masuk dunia industri dan bisa berkiprah dengan baik di dalamnya. Di sisi lain kita tidak boleh lupa bahwa pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam UU Sisdiknas adalah mengembangkan potensi peserta didik.