Monopoli Akses Vaksin Covid-19

Presiden Jokowi menjawab polemik publik tentang vaksinasi COVID-19. Pada Rabu, 13 Januari 2021 di Istana Negara, dirinya menjadi orang Indonesia pertama penerima vaksin yang telah melewati uji klinis. Disaksikan jutaan mata melalui tayangan langsung televisi, Jokowi bersama sejumlah tokoh agama, Panglima TNI, Kapolri, ketua Ikatan Dokter Indonesia, dan artis ingin menyampaikan pesan bahwa dirinya bertanggung jawab, memberi contoh dan sekaligus membuktikan keamanan vaksin Sinovac yang akan digunakan dalam program vaksinasi Covid-19 untuk seluruh warga negara Indonesia.
Salah satu isu besar vaksinasi COVID-19 di Indonesia yaitu mengenai aspek kehalalan. Fatwa MUI mengenai kehalalan vaksin COVID-19 buatan Sinovac telah menjawab persoalan ini. Belakangan, dipersoalkan jenis vaksin yang digunakan dianggap tingkat keampuhan atau efikasinya rendah. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kemudian menunjukan tingkat efikasi vaksin Sinovac sebesar 65,3 persen, di atas ambang batas yang ditetapkan WHO yakni minimal 50 persen.
Dalam perbincangan global mengenai vaksin saat ini, isu yang sejak awal menjadi perhatian adalah mengenai akses yang setara terhadap vaksin. Ada tendensi akses vaksin hanya akan dimonopoli oleh negara-negara kaya. Meraka punya segalanya, kapasitas sains yang besar untuk memonopoli hasil-hasil ilmiah dan pasokan vaksin melalui perusahaan-perusahaan farmasi mereka yang besar. Tindakan ini merugikan dan membatasi hak setiap negara untuk melindungi warganya dengan vaksin hanya karena isi dompetnya yang tipis.
Saat ini, negara-negara kaya telah membeli cukup dosis untuk memvaksinasi seluruh penduduk mereka hampir tiga kali lipat pada akhir tahun 2021. Data Oxfam menunjukan, negara kaya yang mewakili hanya 14 persen dari populasi dunia, telah membeli 53 persen dari semua vaksin yang paling menjanjikan. Hal ini belum mencakup opsi untuk dosis tambahan yang telah diatur di dalam kontrak yang ketat. Sementara di 70 negara miskin, mereka hanya mampu memberi vaksin kepada 1 dari 10 orang penduduknya pada 2021.
Merespon situasi ini, telah lahir inisiatif global bertujuan untuk bekerja dengan produsen vaksin guna memberikan akses vaksin yang adil kepada negara-negara di seluruh dunia, yang diberi nama COVID-19 vaccine Global Access Facility (COVAX). Meskipun efektifitasnya masih diragukan oleh sejumlah kalangan. Selain kendala komitmen pendanaan dari negara maju dan bentuk kompensasi bagi perusahaan yang melakukan alih teknologi, semua negara itu saat ini berada di bawah tekanan besar untuk menjaga warga negaranya terlebih dahulu. Sebuah sikap “nasionalisme vaksin” yang menjangkiti negara-negara kaya di masa pandemi Covid saat ini.
Negara-negara di seluruh dunia saat ini tengah berkejaran dengan waktu. Menggunakan semua sumber daya untuk mengamankan kepentingan nasionalnya, yaitu memulihkan kesehatan dan ekonomi. Permintaan vaksin yang besar akibat sikap panik negara tentu menjadi santapan empuk perusahaan farmasi, kondisi yang tidak bisa dihindari. Terkadang, upaya provokasi terhadap efektifitas jenis vaksin tertentu bisa menimbulkan lonjakan permintaan pada jenis yang lain sebagai langkah mengamankan stok. Akibatnya, pasokan menjadi semakin terbatas dan hanya negara yang punya kapasitas finansial yang kuat saja yang bisa memerolehnya.
Indonesia berada pada rantai yang lemah dalam mengakses vaksin. Meskipun dalam kasus ini, Sinovac telah membuka/membagi kerja sama teknologi dengan BUMN Farmasi Indonesia dalam pengembangan vaksin. Tetap saja dibutuhkan anggaran yang besar untuk melakukan pengembangan dan membeli vaksin untuk langkah darurat. Itu artinya defisit APBN semakin lebar dan membutuhkan pinjaman yang lebih besar lagi. Jika tidak hati-hati, hal ini akan berakibat negatif bagi perekonomian.
Tetapi satu hal, kemampuan diplomasi vaksin pemerintah Indonesia harus diapresiasi. Mendapatkan komitmen dari produsen vaksin Covid-19 saat ini bukan perkara gampang. Dibutuhkan strategi, perencanaan, kemampuan komunikasi yang baik, dan tentu saja yang paling utama adalah ‘cuan’ alias duit. Sebagaimana ungkapan yang sering kita dengar, “ada uang, ada barang”. []