Al-Qur’an, Sejarah, dan Peta Awal Kerasulan Muhammad SAW

Interpretasi sejarah bukan interpretasi yang bersifat justifikasi, melainkan memperlihatkan karakteristik iman.

Al-Qur’an, Sejarah, dan Peta Awal Kerasulan Muhammad SAW
Ilustrasi: net

SEJARAH sering dipahami sebagai tumpukan peristiwa, kalaedoskop semata. Bahkan, ada pula yang menganggap sejarah sebagai dongeng (asathirul awwalin) dan inilah yang sering dikatakan orang jahiliyah bahwa al-Qur'an adalah dongeng masa lalu (asathirul awwalin).

Padahal sejarah dalam al-Qur'an bukanlah dongeng, melainkan kisah-kisah. Itulah kenapa dalam al-Qur’an ada surah al-Qasas (kisah-kisah). Selain itu, hampir sepertiga al-Qur’an merupakan kisah-kisah, yang tentu saja tidak diada-adakan. Kisah menjelaskan detail segala sesuatu sesuai dengan penjelasan surat Yusuf [12] ayat 111, yaitu sebagai ‘huda wa rohmah li kaumi yu’minun’.

Pemahaman ini menjadi penting, karena selain adanya konsep-konsep sejarah dalam al-Qur’an, pandangan Islam juga dapat dibangun melalui prinsip sejarah, terutama sejarah hidup Nabi Muhammad saw., atau Sirah Nabawiyah.

Pandangan sejarah Islam yang selama berabad-abad sempat dicemari para orientalis, sesungguhnya dapat diobati dengan mengembalikan konteks sejarah kepada konstruksi sejarah Islam terbaik yang pernah ada, yaitu Sirah Nabawiyah. Dalam Sirah Nabawiyah inilah kita menemukan bahwa pandangan sejarah yang paling Islami pernah terbentuk, menjadikan sejarah itu ‘hidup’ dan diteladani.

Sejarah memang seringkali berulang dan kembali menampakan wajahnya dalam bentuk yang berbeda, dalam kisah, sosok dan cerita dan setting yang berbeda, namun masih dengan esensi dan pembelajaran yang sama. Karena itulah salah satu mengapa sejarah itu ada, sebagai wahana pembelajaran.

Jika dulu, dalam sejarah kita kenal sosok Fir’aun yang begitu zhalimnya, yang semena-mena pada rakyatnya yang bahkan mengakui diriNya adalah Tuhan, maka sejarah itu kembali berulang, bahkan lebih banyak sosok Fir’aun modern yang hadir ke muka bumi pada saat ini.

Begitu pula ketika 'Futuh Mekah' Nabi mengumpulkan orang Qurais, maka Nabi bertanya kepada mereka apa yang akan dilakukan kepada kalian, Nabi menyatakan saya bebaskan kalian seperti Yusuf mengampuni saudaranya (baca surat Yusuf ayat 92 dia Yusuf berkata “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudah Allah mengampuni (kamu), Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.”

Dasar pembelajaran sirah nabawiyah, dimulai dengan membaca Surah Yusuf [12] ayat 111, yang artinya: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman.”

Dimana Dimulainya Siroh Nabawiyah

Sejarah Sirah Nabawiyah dimulai tidak hanya dari peta Arab dalam konteks politik sebagai sebuah bangsa atau suku tapi masalah kategorisasi/peta usia Nabi menjadi penting. Peta atau rentang usia Nabi selama 63 tahun merupakan potret perjalanan Islam dimulai secara kategorisasi. Peta usia Nabi dimulai dari usia 0-40 masa persiapan, proses untuk ‘menjadi’ perlu persiapan yang matang.

Dari usia 40-63 tahun, usia tugas.  Peta usia rentang 23 tahun dibagi 2 fase Mekah dan fase Madinah, makanya al-Qur'an dibedakan menjadi makiyyah dan madaniyah. Makiyyah, islah alfardi (perbaikan individu), islah almujtama (perbaikan masyarakat) dan islah addaulah (perbaikan negara).

Di Mekkah Nabi 13 tahun dan 10 tahun di Madinah.  Rentang usia yang panjang di Mekah kalau  dicek dalam sejarah ternyata yang menonjol adalah sejarah Madinah, karena rentang usia selama di Mekah lebih kepada konsolidasi, sehingga sifatnya internal.

Usia 0-40 Nabi sedang dipersiapkan, pada usia 0-5 tahun, Nabi dipindahkan ke Bani Saad, usia emas penetapan fondasi. Allah mengkarantina Nabi dijauhkan dari hiruk pikuk kejahiliahan. Bani Saad secara tempat memadai dari sisi kesehatan, udara sejuk, sisi kekuatan fisik karena kecukupan gizi da lain-lain.

Dalam sejarah pentingnya nasab dan kasab. Nasab Nabi dari Bani Hasyim sebaik-baik nasab di suku Quraisy, sedangkan kasab itu terkait dengan karya besar di keluarga.

Usia 5-6 tahun, ada peristiwa saku sodr atau pembelahan dada. Usia beliau dengan ibunya Aminah singkat, Nabi diajak ke Madinah-dulu bernama Yasrib untuk mengenal ayahnya dengan menziarahi makamnya.

Sementara Madinah punya ikatan batin dengan Nabi karena secara nasab ibunya Abdul Mutholib dari Madinah. Usia 6-8 tahun, fase Nabi dengan kakeknya, mendapatkan fase kecintaan dari Sang Kakek, Nabi mendapatkan pelajaran yang berharga dari Abdul Mutholib sebagai kepala Suku Kabilah, Nabi mendapatkan pengajaran kepemimpinan (baca surat Dhuha [93] ayat 1-11).

Pada rentang usia 8 – 25 tahun, Nabi hidup bersama dengan pamannya, Abu Tholib. Nabi mendapat gemblengan istri Abu Thalib, Fatimah al Asadi, belajar mengembala kambing, belajar berdagang, mengalami masa peperangan dan perdamaian.

Lalu pada fase usia 25-40 tahun, masa menikah dan berinteraksi dengan kesabaran dan kasih sayang seorang istri. Pada usia ke-35 mendapatkan gelar al-Amin dan menjadi tokoh pemersatu. Wanita yang berpengaruh dalam hidup Nabi yang Nabi sebut umi bada umi, yaitu Umu Aiman dikenal barokah, Halimah Asadiyah dan Fatimah Al asad.

Begitulah fase-fase hidup Rasulullah, sejarah paling Islami yang pernah terbentuk, ‘hidup’ dan diteladani ummat Islam. Lebih lanjut pemahaman kita akan sejarah hidup rasulullah ini merpakan wujud keimanan kepada Allah SWT. Para sejarawan Muslim sejak dahulu telah menganggap bila kitab suci al-Qur’an merupaka sumber sejarah paling utama.

Ahli sejarah Ali Muhammad Ash-Shalabi mengatakan, bila metodologi Islam dalam penulisan sejarah diambil dari prinsip-prinsip Islam dan sumber-sumbernya. Inilah rahasia perbedaan antara metodologi Islam dengan metodologi lainnya.

Tokoh pergerakan dan ulama Islam kelahiran Bengazi, Lybia ini juga mengatakan, bila interpretasi peristiwa-peristiwa sejarah bukan interpretasi yang bersifat justifikasi. Melainkan interpretasi itu memperlihatkan karakteristik iman yang melebihi perkara lainnya.