Belajar dari Flu Spanyol dan Hikmah Sesudahnya
Pandemi covid-19, mengingatkan kita terhadap keberadaan Flu Spanyol di tahun 1918. Sama-sama mewabah dan menginfeksi banyak orang. Pelajaran berharga mestinya dapat ditarik.

ADANYA pandemi covid-19, sedikit banyak telah mengingatkan kita terhadap keberadaan Flu Spanyol di tahun 1918. Wabah flu Spanyol menewaskan 40 sampai 50 juta orang dalam dua tahun. Para peneliti dan sejarawan meyakini sepertiga penduduk dunia, yang saat itu berjumlah sekitar 1,8 miliar orang, terkena penyakit tersebut. Angka tersebut jauh melebihi jumlah korban PD I yang berkisar 9,2 juta-15,9 juta jiwa.
Bahkan Flu tersebut juga masuk ke Indonesia dan menyebar ke Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah (Purworejo dan Kudus), dan Jawa Timur (Kertosono, Surabaya, dan Jatiroto). Lalu, menyebar ke pulau-pulau lain dengan prediksi jumlah korban di Indonesia mencapai 1,5 juta jiwa menurut Collin Brown dalam buku The Influenza Pandemic 1918 in Indonesia.
Beberapa surat kabar juga menganggap Flu Spanyol belum berbahaya ketika awal kemunculannya. Aneta, misalnya, dari korespondensinya dengan Asosiasi Dokter Batavia menyimpulkan bahwa Flu Spanyol tidaklah berbahaya bila dibandingkan dengan flu pada umumnya. Sementara, Sin Po menulis, “Ini penjakit lagi sedang hebatnja mengamoek di seantero negeri, sekalipoen tiada begitoe berbahaja seperti kolera atau pes."
Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (BGD/Dinas Kesehatan Sipil) Hindia Belanda bahkan sempat salah kaprah dengan menganggap serangan Flu Spanyol sebagai kolera. Akibatnya, setelah muncul beragam gejala, pemerintah menginstruksikan BGD untuk mengadakan vaksinasi kolera di tiap daerah. Kesalahan penanganan itu menyebabkan jumlah korban semakin banyak, mayoritas berasal dari golongan Tionghoa dan Bumiputera.
Menurut BGD, gejala Flu Spanyol layaknya flu biasa. Penderita merasakan pilek berat, batuk kering, bersin-bersin, dan sakit kepala akut di awal. Dalam beberapa hari, otot terasa sakit dan disusul demam tinggi. Gejala umum lainnya, mimisan, muntah-muntah, menggigil, diare, dan herpes. Pada hari keempat atau kelima, virus telah menyebar hingga ke paru-paru. Dalam banyak kasus, gejala itu berkembang menjadi pneumonia. Bila penderita sudah sampai pada tahapan ini, kecil kemungkinan bisa bertahan.
Dalam hitungan minggu, virus menyebar secara massif ke Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah (Purworejo dan Kudus), dan Jawa Timur (Kertosono, Surabaya, dan Jatiroto). Dari Jawa, virus menjangkiti Kalimantan (Banjarmasin dan Pulau Laut), sebelum mencapai Bali, Sulawesi, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Memasuki Oktober 1918, virus telah mencapai pulau-pulau kecil di sekitar Kepulauan Sunda. Sebulan berselang, virus telah mencapai Papua dan Maluku, 10 dari 1000 orang meninggal akibat flu ini.
Menurut Oetoesan Hindia, lebih dari 10 persen populasi di Pulau Seram meninggal akibat keganasan virus ini. Sementara, 60 persen penduduk Makassar yang berjumlah sekitar 26.000 jiwa dilaporkan terjangkit virus ini dan 6 persen dari mereka tewas.
Sejarawan Amerika Serikat Alfred W. Crosby menyebut Flu Spanyol tak banyak diingat, karena hiruk pikuk Perang Dunia I yang baru saja berakhir, bertepatan dengan wabah flu tersebut menyebar. Sama seperti Covid-19, penyakit ini mengenai sejumlah orang terkenal: Presiden AS Woodrow Wilson dan PM Inggris Lloyd George jatuh sakit, sementara Presiden Brasil Rodrigues Alves meninggal.
Namun wabah ini tidak mendapatkan perhatian masyarakat sebesar perhatian pada Perang Dunia I. Ini karena sejumlah pemerintahan memang menyensor media yang melaporkan pengaruh pandemi saat perang.Banyaknya informasi seputar rampungnya perang panjang yang menyengsarakan itu lebih mendominasi ingatan masyarakat daripada Pandemi Flu Spanyol yang ketika itu terbilang sangat ganas. Tidak banyak juga sastrawan atau sejarawan yang memasukkan Flu Spanyol dalam karyanya.
Walaupun bernama Flu Spanyol, asal-muasal virus ini masih jadi perdebatan. Penamaan pandemi dengan Flu Spanyol, menurut Gina Kolata dalam bukunya, Flu: The Story of the Great Influenza Pandemic of 1918 and the Search for the Virus that Caused It, berasal dari pemberitaan media-media Spanyol yang saat itu sirkulasinya cukup terbuka akibat netralitas negeri itu dalam PD I. Pemberitaan tersebut segera menyebar ke luar Spanyol sehingga membuat wabah tersebut dikenal dengan nama “Flu Spanyol” meski orang-orang Spanyol menyebut pandemi itu dengan “Flu Perancis”.
Ada sebuah cerita yang sangat terkenal mengenai dua kota, pada bulan September 1918, kota-kota di AS mengorganisir pawai untuk mempromosikan obligasi perang. Dana hasil penjualannya akan dipakai untuk membantu perang yang sedang berlangsung.Ketika flu Spanyol terjadi, Philadelphia tetap mengadakan pawai sementara St Louis memutuskan untuk membatalkannya. Sebulan kemudian, lebih dari 10.000 orang meninggal dunia di Philadelphia. Di St Louis warga yang meninggal di bawah angka 700 orang.
Perbedaan ini menjadi bahan studi kasus yang menyatakan langkah menjaga jarak sosial adalah sebuah strategi dalam mengatasi wabah. Analisa pada beberapa kota AS di tahun 1918 memperlihatkan tingkat kematian yang lebih rendah pada tempat-tempat yang sejak dini melarang pertemuan umum, teater tertutup, sekolah dan gereja.
Tim ahli ekonomi Amerika yang menganalisa lockdown 1918 menemukan kota-kota yang menerapkan langkah lebih ketat mengalami perbaikan ekonomi yang lebih cepat setelah wabah.
Namun, pandemi ini diperkirakan telah menewaskan hampir 700.000 orang Amerika. Dan salah satu alasannya, menurut ekonom Universitas Harvard Robert Barro, karena lockdown dibuka terlalu cepat.
Namun yang menarik untuk disimak adalah bagaimana, saat itu manusia atau masyarakat mengambil hikmah dari kejadian tersebut. Dalam beberapa litelatur kehadiran Flu Spanyol dipercaya mempercepat berakhirnya Perang Dunia ke-1, karena banyak tentara yang menjadi korban Spanish Flu. Tak hanya itu paska penyebaran flu spanyol tersebut terjadi Reformasi sektor kesehatan.
Jika sebelumnya sektor kesehatan terbatas untuk kalangan bangsawan atau kaya raya, maka konsep kesehatan mulai bergeser menjadi Health Care for all. Rusia adalah negara pertama yang menerapkan sistem perawatan kesehatan publik yang tersentralisasi, yang didanai melalui skema asuransi yang dikelola pemerintah, kemudian pada akhirnya Jerman, Prancis, dan Inggris mengikutinya, begitu juga dengan AS yang mengedepankan asuransi namun berbasis privat.
Banyak negara juga menciptakan atau memperbaiki kementerian kesehatan pada 1920-an. Negara-negara juga mulai berkordinasi mengoordinasikan kesehatan masyarakat di tingkat internasional, karena jelas, penyakit menular tidak menghormati perbatasan.
Lalu bagaimana dengan Covid-19? sama dengan pandemi sebelumnya, keadaan ini pasti membawa hikmah tersendiri. COVID-19 Memaksa dunia untuk bertransformasi. Dunia kesehatan sejak adanya virus corona, mulai menaruh perhatian yang besar terhadap kemunculan Telehealth and Robotics.
Meskipun telah ada sejak beberapa tahun, penggunaan Telehealth dan Robotics kina semakin menunjukan peran dan kontribusinya jauh lebih dalam dari pada sebelumnya. Rumah sakit di beberapa belahan dunia seperti Cina dan AS menggunakan robot dilengkapi dengan ipad di kamar pasien yang dioperasikan dokter secara remote untuk memeriksa dan berinteraksi dengan pasien.
Di Indonesia masyarakat juga mulai banyak menggunakan aplikasi dokter online seperti halodoc untuk memeriksakan kesehatan. Halodoc sendiri telah mengklaim mendulang peningkatan instalasi (download) pada platformnya selama masa pandemi COVID-19 sebanyak 10 kali lipat dalam dua bulan terakhir.
Harus diakui, bahwa Covid-19 menghadirkan 'New Wave' dari Technology Booming. Adanya Covid-19 membuat mau tidak mau orang dipaksa berpikir digital. Ekosistem Digital dengan Interkoneksi antar Sektor akan Menjadi Tren Baru. Peranan Industry 4.0 akan Semakin Penting Paska COVID-19.
Selama ini seperti kita tahu, masih ada beberapa aturan yang mencegah beberapa prosedur dan mekanisme dalam bidang kehidupan masyarakat, supaya tidak dilakukan online. Misalnya saja beberapa jenis tagihan bulanan, aturan birokrasi dan lain-lain yang masih mewajibkan prosedur offline.
Wabah corona ini, mau tidak mau atau memaksa orang keluar dari zona nyaman dan beralih kebiasaan baru yaitu online. Aturan-aturan birokrasi yang selama ini meminta tatap muka antara masyarakat dan pemerintah atau pihak tertentu, tidak bisa dipertahankan lagi. Salah satunya adalah sekolah. Homeschooling dan e-learning selama ini terbentur masalah birokrasi. Dengan wabah virus corona, tidak ada alasan lagi untuk menahan pendidikan jarak jauh. Sejumlah layanan publik dari pemerintah juga akhirnya dibuat online sepenuhnya di beberapa negara.
Di satu sisi, wabah ini akan meninggalkan trauma bagi banyak orang. Namun di sisi, lain, akan 'lahir' manusia-manusia baru, yang diharapkan akan menjadikan dunia menjadi lebih baik, Hal ini lah yang telah dilakukan oleh Isaac Newton dan Ledonardo Da Vinci. Tatkala Inggris terjangkit wabah pada 1665, Isaac Newton menghabiskan waktunya mengutak-atik rumus dan berhasil menelurkan kalkulus. Dua abad sebelumnya, terinspirasi pengalaman buruk Milan diserang pagebluk, Leonardo da Vinci merumuskan konsep kota masa depan yang lebih aman. Terobosan-terobosan baru pasti akan hadir paska wabah corona ini
Pada akhirnya, kita berharap agar adanya Flu Spanyol dan Covid-19 ini bisa menjadi pembelajaran ke depannya, agar situasi sama tidak berulang. Jika pun nantinya berulang, dampaknya seharusnya bisa lebih minimal atau ditekan lantaran di tengah pandemi Covid-19 banyak literasi dan informasi bergelimang di jagat maya maupun pemberitaan konvensional berbeda misalnya dengan dulu kasus Flu Spanyol dimana akses terhadap informasi masih terbatas.
Pasca wabah corona ini juga yang harus diperhatikan ialah adaptasi terhadap kondisi new normal. Di mana mungkin pola-pola terdahulu akan berubah seiring dengan kebiasaaan, peluang serta tantangan baru. Sebagai sebuah organisasi atau individu kita dintut untuk bisa Agile terhadap perubahan dan dinamika terbaru, termasuk juga memperbarui atau upgrade kompetensi agar bisa terus berinovasi dan melakukan transformasi.
Pergeseran perilaku konsumsi misalnya saat ini menjadi contoh nyata gambaran pola new normal ke depannya. Setidaknya terdapat 4 Megashift Perilaku Konsumen Paska pandemi corona yaitu empaty society, stay at home lifestyle, go virtual dan bottom of pyramid.
Perubahan-perubahan ini kita harus pahami dan respon secara Proaktif dan Responsif bisa terus relevan dengan perubahan zaman dan menghasilkan dampak nyata. Mengambil sedikit ungkapan Presiden Jokowi, Kita harus Mulai Berdamai dengan Covid-19, yang diartikan sebagai senantiasa produktif dan melakukan penyesuaian terhadap tatanan kehidupan baru.