Urgensi BUMN Pangan

MONITORDAY.COM - Jika tidak ada aral melintang, pemerintah dalam waktu dekat akan segera membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) khusus di bidang pangan. BUMN ini merupakan penggabungan dari sejumlah perusahaan pelat merah yang telah masuk dalam klaster pangan. Di antaranya PT Sang Hyang Seri (Persero), PT Pertani (Persero), PT Perikanan Nusantara (Persero), Perum Perikanan Indonesia, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia/PPI, PT Berdikari (Persero), PT Bhanda Ghara Reksa/BGR (Persero), PT Garam (Persero), dan PT RNI (Persero).
Proses pembentukan ini akan didahului dengan perubahan status Perum menjadi Persero serta merger perusahaan sejenis (cont: PT Sang Hyang Seri dengan PT Pertani, PT Perinus dengan PT Perindo). Hasil dari proses ini nantinya akan terdapat lima anggota Holding BUMN Pangan dengan RNI sebagai induk Holding dan 11 anak perusahaan yang telah ada sebelumnya.
Secara yuridis, proses pembentukan holding ini akan dilaksanakan melalui mekanisme pergeseran/inbreng investasi saham pemerintah dari satu BUMN ke BUMN lain. BUMN yang sahamnya diinbrengkan menjadi anak perusahaan. Sementara BUMN penerima inbreng memberikan tambahan modal saham kepada negara sebesar nilai BUMN inbreng. Dengan demikian, saham-saham BUMN yang tergabung dalam holding pangan akan berada di bawah satu kepemilikan holding.
Pembentukan perusahaan holding merupakan strategi perusahaan negara untuk memiliki kebebasan operasional yang lebih besar. Meningkatkan daya saing, meningkatkan potensi pendapatan negara atas kepemilikan saham ada perusahaan milik negara, dan mendorong lingkungan bisnis perusahaan negara yang lebih kompetitif. Tidak semua berjalan mulus, dalam pengertian terjadi peningkatan kinerja perusahaan. Bahkan ada di antaranya yang justeru mengalami penurunan kinerja setelah menjadi induk perusahaan holding. Tetapi point pentingnya adalah terjadi konsolidasi dan sinergi antar BUMN agar memiliki peran yang lebih besar dalam perekonomian nasional.
Nilai Strategis BUMN Pangan
Pembentukan BUMN pangan juga memiliki nilai strategis yang besar. Tidak hanya urusan perut, tetapi bernilai sosial-budaya, ekonomi dan politik yang sangat penting. Apalagi saat ini dunia sedang memasuki era baru akibat ancaman kerawanan pangan dan perang pangan (food war). Rawan pangan terjadi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dunia, laju pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan, dan lompatan kelas menengah di berbagai kawasan yang menyebabkan permintaan akan pasokan pangan semakin meningkat. Di sisi lain, hal ini menjadi beban berat sektor pertanian dan perikanan yang masih dihadapkan pada sejumlah masalah. Di antaranya konversi dan degradasi lahan, degradasi lingkungan, urbanisasi, krisis air, kelaparan, banjir dan kekeringan, erosi genetik, pencemaran laut, over fishing/illegal fishing, serta menuanya umur petani dan nelayan.
Sedangkan perang pangan terjadi dari sisi input dan produksi. Dari sisi input sudah lama terjadi dalam bentuk pengendalian benih, pestisida, dan alat mesin pertanian oleh korporasi (MNCs/TNCs). Industri input pertanian dunia saat ini dipasok hanya oleh sepuluh perusahaan multinasional dengan nilai penjualan mencapai 40 miliar dollar AS. Lima perusahaan raksasa di antaranya adalah Syngenta, Monsanto, Bayer Crop, BASF AG, dan Dow Agro. Perang pangan dari sisi produksi juga sedang dimulai. Perusahaan multinasional gencar berinvestasi dan menguasai pangsa perdagangan pangan dan pangan olahan di seluruh negara, termasuk Indonesia. Jika tidak waspada, perang pangan akan menciptakan krisis dan pengendalian atas pangan. Pangan akan diproduksi secara industri melalui eksploitasi sumber daya tanaman, lahan, air, dan manusia, tetapi hasilnya dikuasai dan dikontrol pihak asing.
Kita juga telah menyaksikan dampak besarnya. Gangguan pada sektor pangan dalam rupa kenaikan harga, telah memicu sejumlah kerusuhan sosial dan menimbulkan prahara politik di sejumlah negara. Peningkatan harga pangan menimbulkan kerusuhan besar di 15 negara di dunia dan menyulut pergantian rezim di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikenal dengan Arab Spring. Di Indonesia, gejolak harga pangan seringkali menimbulkan efek politik yang juga tidak ringan. Dari mulai mogok para pedagang, protes konsumen, hingga memicu demonstrasi dan krisis politik.
Karena itu, kita menyambut baik gagasan pembentukan BUMN Pangan oleh pemerintah. Hal ini juga sejalan fungsi pengelolaan negara (beheersdaad) terhadap cabang-cabang produksi yang strategis dan penting bagi orang banyak. Di mana Negara memiliki tanggung jawab atas pemenuhan hak atas pangan bagi warga negara serta menjamin perlindungan bagi keberlangsungan produksi pangan oleh petani dan nelayan. Tidak hanya itu, mengingat peran strategisnya secara geo-politik dan geo-ekonomi, pendiriannya harus terintegrasi dalam strategi besar Indonesia untuk membangun kemandirian (baca: kedaulatan) ekonomi nasional secara lebih kokoh. Saking pentingnya masalah ini, nyaris tidak ada satupun negara besar di dunia yang tidak menempatkan masalah pangan sebagai startegi utama dalam mempertahankan eksistensi negara dan melindungi warganya.
Akhirul kalam, keberadaan BUMN pangan yang terintegrasi dari hulu ke hilir (input, production, off take, primary proccesing, storage, trading, distribution, retail sales) sepatutnya menempatkan pelaku utama (baca: petani dan nelayan) sebagai perhatian utama untuk diberdayakan dan disejahterakan. Orientasi BUMN untuk memupuk keuntungan tidak hanya dimaknai dari segi bisnis korporasi, tetapi juga keuntungan yang diperoleh warga negara yang terlibat dalam keseluruhan rantai usaha perusahaan negara. Pemberdayaan petani dan nelayan juga bukan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Tetapi merupakan misi utama BUMN Pangan untuk menjalankan amanat konstitusi dalam menciptakan sebesar-besar kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. []