Yang Terlupakan Saat Berpolemik Soal Hukum Musik

Yang Terlupakan Saat Berpolemik Soal Hukum Musik
Sumber gambar: kumparan.com

MONITORDAY.COM - "Musik halal!", Musik haram!", "Musik halal asal..!". Ungkapan-ungkapan di atas sering saya baca dalam linimasa media sosial saya. Polemik soal hukum halal haram musik masih seru untuk diperdebatkan sampai sekarang. Dua kubu yang menghalalkan dan mengharamkan seolah berhadap-hadapan dalam dua kutub ekstrem, oposisi biner, hitam putih. Wajar saja, karena yang diperdebatkannya adalah suatu yang yang bertentangan juga, yakni halal dan haram. 

Sayangnya ada beberapa detail yang terlupakan dalam perdebatan soal musik ini. Yakni bahwa musik tidak sepenuhnya halal atau haram. Bagi yang mengharamkan musik pun, sebenarnya tidak semua musik dihukumi haram. Ada beberapa jenis musik yang dihukumi halal. Namun sebelum ke sana, kita perlu menyamakan persepsi dulu tentang apa itu musik. 

Secara sederhana, suara yang menimbulkan irama kita bisa sebut musik. Kita berbicara itu bukan musik. Namun jika kita menyanyi, maka itu bisa disebut musik. Kita mengetuk meja kayu sampai berbunyi, itu bukan musik. Namun jika meja kayu tersebut diketuk dengan irama (dalam bahasa sunda disebut tatalu), boleh kita sebut hal tersebut sebagai musik. Kita memetik 6 senar gitar sekali, itu bukan musik. Namun jika kita memetik senar gitar dengan kunci dan melodi yang menimbulkan irama, maka itu musik. 

Dengan definisi tersebut, ada beberapa musik yang dihalalkan. Menurut kelompok salafi, musik bisa dihalalkan dalam situasi tertentu, misalnya walimah pernikahan, hari raya dan untuk menyemangati perang. Itu pun alat musik perkusi seperti rebana. Namun di luar alat musik perkusi, dan di luar peristiwa tadi, kelompok salafi tetap mengharamkan musik. 

Dalam sebuah hadits, sahabat Rasulullah SAW bernama Amir bin Sa'ad berkata: Aku datang ke sebuah acara pernikahan bersama Qurazah bin Ka’ab dan Abu Mas’ud Al Anshari. Di sana para budak wanita bernyanyi. Aku pun berkata, ‘Kalian berdua adalah sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan juga ahlul badr, engkau membiarkan ini semua terjadi di hadapan kalian?’. Mereka berkata: ‘Duduklah jika engkau mau dan dengarlah nyanyian bersama kami, kalau engkau tidak mau maka pergilah, sesungguhnya kita diberi rukhshah untuk mendengarkan al lahwu dalam pesta pernikahan’” (HR. Ibnu Maajah 3383, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)

Dalam hadits shahihain (Bukhari-Muslim) pada kisah dua budak wanita yang memukul duff di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas ketika itu Abu Bakr datang dan bersikap keras, “Apakah alat musik setan di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Biar mereka berdua wahai Abu Bakr. Sesungguhnya setiap umat memiliki hari raya. Dan sekarang adalah hari raya kita umat Islam.”

Sementara itu menurut mazhab Syafi'i alat musik perkusi seperti duff hukumnya mubah (lihat dalam Faidh al-Qadir juz 1 halaman 11).. Tidak dibatasi oleh waktu-waktu tertentu di atas. Karena itu kita mengenal karya seni seperti Hadrah dan Marawis yang menggunakan alat musik perkusi mengiringi lantunan shalawat. Kelompok hadrah dan marawis tumbuh subur di kalangan santri tradisionalis yang menganut Mazhab Syafi'i. 

Di luar musik perkusi, seperti suling, gitar, biola, memang termasuk alat musik yang diharamkan oleh mayoritas umat Islam. Sehingga tradisi menggunakan alat musik tersebut tidak tumbuh subur di pondok pesantren tradisional. Bukan berarti tidak ada, kita mengenal gambus sebagai alat musik petik yang mengiringi lagu Arab. Namun musik dengan gambus tumbuh di luar pesantren. 

Lantas mengapa pada hari ini umat Islam seolah tidak ada masalah lagi dengan musik? Saya pikir ada kaitannya dengan upaya adaptasi umat Islam dengan modernisasi. Pada akhirnya modernisasi merupakan sesuatu yang tak bisa ditolak, namun tetap bisa difilter. Produk-produk modern yang bisa diIslamkan diterima dengan modifikasi. Misalnya soal musik ini. 

Muhammadiyah dan Gontor terlihat sebagai dua komponen umat Islam yang menerima musik modern dengan catatan. Setiap tahun di Pondok Gontor diadakan Panggung Gembira, yang berisi pertunjukan musik tentu dengan nuansa Islami. Muhammadiyah dalam lembaga pendidikannya banyak yang mempunyai paduan suara. Dalam catatan majalah Suara Muhammadiyah pun, tercatat bahwa sejak awal Muhammadiyah menolak pandangan bahwa musik dan sepak bola haram mutlak. Namun mubah dengan syarat dan ketentuan berlaku. 

Pandangan musik tidak haram mutlak pun diikuti oleh mayoritas umat Islam di Indonesia tanpa memandang dia tradisional dan modern. Pandangan pun punya legitimasi dari turats sebagaimana pandangan yang mengharamkan. Misalnya pandangan Imam Al Ghazali bahwa larangan terhadap musik tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.

Terlepas dari itu, Ustadz Ahmad Sarwat mengatakan bahwa polemik soal hukum musik tidak akan ada ujungnya. Karena masing-masing punya dalil dan fikih masing-masing yang tak akan bertemu.