Waspada Tantangan Ekonomi 2020
Ekonomi sedang lesu dan krisis di depan mata. Perlambatan ekonomi dunia terutama di Tiongkok sudah terjadi beberapa waktu. Setiap perlambatan ekonomi punya konsekuensi. Banyak yang gagal bayar, banyak yang macet, banyak yang gulung tikar dan pada akhirnya banyak pengangguran.

MONDAYREVIEW.COM - Ekonomi sedang lesu dan krisis di depan mata. Perlambatan ekonomi dunia terutama di Tiongkok sudah terjadi beberapa waktu. Setiap perlambatan ekonomi punya konsekuensi. Banyak yang gagal bayar, banyak yang macet, banyak yang gulung tikar dan pada akhirnya banyak pengangguran.
Ada saling ketergantungan antara negara satu dengan negara lain. Meskipun persaingan dalam penguasaan pasar terjadi namun jangan sampai pula lawan pingsan bahkan mati. Dalam perang dagang negosiasi terbukti sangat alot. Amerika Serikat dan Tiongkok harus saling menjaga. Jangan sampai lawan mengakali dalam bisnis namun jangan pula lawan terpuruk dalam krisis. Karena ada ketergantungan pasar yang besar antara kedua negara. Inilah faktor eksternal yang harus diwaspadai.
Yang terjadi di luar akan berpengaruh pada situasi dalam negeri Indonesia. Kalau tak pandai-pandai menyiasati jangankan perusahaan swasta BUMN pun bisa bangkrut. Pun negara sebagai pemilik modalnya. Bisa menjadi negara yang terbelit utang. Perekonomian dan mata uangnya terpuruk dan kehilangan kepercayaan dari pasar. Investor pergi dan tersisalah para debt collector yang mulai menyita aset satu demi satu. Lalu kita menjadi pengungsi di negeri sendiri.
Keberhasilan Trump dalam merealisasikan janji kampanyenya yang berslogan “Make America Great Again!” ternyata tak berlangsung lama. Kontraksi ekonomi dalam negerinya terjadi dan menohok jantung pertahanan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya berlangsung sesaat. Maka beralihlah Trump pada isu Perang Dagang. Sebagai kapitalis papan atas yang akhirnya memimpin negara adidaya Trump harus jungkir balik.
Tiongkok pun sedang mengalami masa-masa sulit. Di satu sisi mereka menikmati kemajuan di sisi lain perlambatan ekonomi mulai terjadi. Mesin ekonominya terlalu panas. Akhirnya melorotlah pertumbuhannya dari dua digit menjadi setengahnya pada kisaran 6% saja. Modal mereka telah berkembang dan mengejar negara-negara maju lainnya. Namun pengangguran pun membayang di depan mata.
Negeri Tirai Bambu yang notabene sosialis komunis menjadi super kapitalis. Surat Utang Negeri Paman Sam pun sebagian besar di tangan negera berpenduduk terbesar di dunia itu. Ekspansi modal mereka merambah hingga ke pelosok Benua Hitam. Mereka harus menyiapkan diri untuk menghidupi milyaran warga negaranya. Dan modal finansial mereka diarahkan ke sana.
Salah satu strategi besar Tiongkok dituangkan dalam skema Belt and Road Initiative. Jalur kereta api dan pelayaran dunia dipetakan. Kerjasama dengan negera-negara di Asia, Afrika, Eropa bahkan Amerika digalang. Uang, teknologi, dan SDM mereka memerlukan ruang untuk tumbuh dan keuntungan dari seluruh aktivitas ekonomi itu tiada lain untuk mencukupi hajat hidup warganya.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai salah satu negara berkembang Indonesia memiliki potensi luar biasa secara ekonomi. Pada saat yang sama tantangannya juga sangat besar. Menolak investasi asing jelas tak mungkin bahkan kita harus merayu agar para investor masuk menanamkan modalnya hingga ekonomi kita tumbuh dan lapangan kerja tercipta.
Benturan kepentingan negara-negara besar terjadi. Bukan tak mungkin Indonesia menjadi salah satu arena utama pertarungan ekonomi dunia. Pertarungan yang bisa saja merembet ke arah politik dan militer. Kedaulatan negara menjadi taruhannya. Sumber-sumber ekonomi di laut, misalnya, masih banyak yang tidak bisa dijaga sepenuhnya.
Di balik semua ini kesadaran untuk merekatkan persatuan menjadi salah satu agenda utama. Dalam keadaan politik yang terbelah Indonesia sangat lemah dalam negosiasi di segala lini ketika berhadapan dengan negara lain baik di meja perundingan maupun di lapangan.
Ekonomi harus tumbuh. Investasi harus banyak yang masuk untuk menggerakkan ekonomi dan membangun sektor-sektor yang strategis tidak hanya dilihat dari kepentingan sesaat. Sektor-sektor produktif yang memperkuat kemandirian rakyat harus mendapat sentuhan modal. Pada saat yang sama pengawasan dan penegakan hukum harus dijalankan dengan keras.
Kepercayaan diri untuk menjadi kekuatan yang semakin diperhitungkan oleh dunia harus dijaga nyala apinya. Indonesia tak boleh menjadi pelanduk dalam pertarungan antara kekuatan-kekuatan besar dunia. Musuh bersama yang harus dihadapi adalah kepentingan sesaat dan ketidakpedulian pada nasib anak cucu dan kejayaan bangsa.
Tahun 2020 tak hanya penuh dengan tantangan eksternal di bidang ekonomi yang harus diantisipasi. Tahun ini juga tahun pilkada serentak di lebih dari 200 provinsi dan kabupaten kota. Akankah kita siap untuk membangun demokrasi yang sehat? Setidaknya jangan sampai di tengah keriuhan pilkada kita kecolongan lagi seperti ‘kesasarnya’ uang nasabah BUMN asuransi ke saham arwana.