Meraba Arah dan Capaian Pendidikan Indonesia
Pendidikan tentu tak cuma tentang prestasi akademik. Pengembangan karakter yang berintergritas menjadi salah satu misi yang tak bisa diabaikan. Namun penilaian untuk mengukur keberhasilan pendidikan dengan ukuran kemampuan akademik terhadap sebuah negara tentu diperlukan sebagai bagian dari upaya membangun SDM unggul dan berdaya saing tinggi. Salah satu penilaian itu adalah Program Penilaian Pelajar Internasional atau Program for International Student Assessment (PISA) yang merupakan penilaian tingkat dunia untuk menguji performa akademis anak-anak sekolah yang berusia 15 tahun, dan penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD).

MONDAYREVIEW.COM – Pendidikan tentu tak cuma tentang prestasi akademik. Pengembangan karakter yang berintergritas menjadi salah satu misi yang tak bisa diabaikan. Namun penilaian untuk mengukur keberhasilan pendidikan dengan ukuran kemampuan akademik terhadap sebuah negara tentu diperlukan sebagai bagian dari upaya membangun SDM unggul dan berdaya saing tinggi.
Salah satu penilaian itu adalah Program Penilaian Pelajar Internasional atau Program for International Student Assessment (PISA) yang merupakan penilaian tingkat dunia untuk menguji performa akademis anak-anak sekolah yang berusia 15 tahun, dan penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD).
Penilaian ini dilakukan setiap tiga tahun sekali dan dibagi menjadi tiga poin utama, yaitu literasi, matematika, dan sains. Hasil pada tahun 2018 mengukur kemampuan 600 ribu anak berusia 15 tahun dari 79 negara. Rata-rata skor dunia untuk literasi adalah 487, matematika 489, dan sains 498.
Tahun 2015, jumlah negara yang mengikuti PISA naik menjadi 72, tapi kemampuan literasi Indonesia ada di urutan 66, matematika 65, dan sains 64. Artinya selama delapan belas tahun, kemampuan siswa di Indonesia dalam memahami bacaan, menghitung, atau berpikir secara ilmiah tak banyak berubah.
Tahun 2018 Soal ujian nasional (UN) di Indonesia mulai memakai Higher Order Thinking Skills (HOTS), sebuah turunan metode belajar yang dicetuskan oleh Benjamin Bloom lewat teori “Taksonomi Bloom”.
Data PISA yang juga memperlihatkan nilai kualitas pendidikan di bidang membaca, matematika dan sains itu, Indonesia rata-rata hanya mendapat nilai di kisaran 371 sampai 396. Dengan rincian untuk nilai membaca (371), matematika (379) dan sains (396). Bila dibandingkan dengan Malaysia yang berada kedua ASEAN, akan terlihat selisih angka yang terbilang jauh. Yakni untuk nilai membaca (415), matematika (440) dan sains (438). Sudah 20 tahun reformasi masih kalah dari Malaysia.
Posisi Indonesia masih terbilang jauh bila dibandingkan dengan Singapura yang berada di urutan pertama. Disusul Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand di posisi keempat. Menurut Situs DW beginilah gambaran 6 negara ASEAN dan peringkat akademiknya.
#1. Singapura
Dengan skor 0,768, Singapura tidak hanya memiliki salah satu sistem pendidikan berkualitas terbaik di ASEAN, tapi juga dunia. Saat ini negeri kepulauan tersebut menempati posisi sembilan dalam Indeks Pendidikan UNESCO. Tahun 2013 silam tercatat hanya 1,3% murid sekolah yang gagal menuntaskan pendidikan.
#2. Brunei Darussalam
Dengan nilai Indeks Pendidikan alias EDI sebesar 0,692, Brunei Darussalam menempati posisi 30 di dunia dan nomer dua di Asia Tenggara. Tidak mengherankan, pasalnya pemerintah Brunei menanggung semua biaya pendidikan, termasuk ongkos penginapan, makanan, buku dan transportasi.
#3. Malaysia
Dengan tingkat literasi penduduk dewasa yang mencapai 94%, tidak heran jika Malaysia mampu membukukan skor 0,671 di Indeks Pendidikan UNDP. Negeri jiran itu menempati posisi 62 dalam daftar pendidikan terbaik di dunia dan ketiga di ASEAN.
#4. Thailand
Thailand adalah salah satu negara ASEAN yang memiliki anggaran pendidikan tertinggi, yakni 7,6% dari Produk Domestik Brutto. Saat ini negeri gajah putih itu menempati posisi 89 di dunia dengan skor EDI sebesar 0.608.
#5. Indonesia
Saat ini Indonesia berada di posisi 108 di dunia dengan skor 0,603. Secara umum kualitas pendidikan di tanah air berada di bawah Palestina, Samoa dan Mongolia. Hanya sebanyak 44% penduduk menuntaskan pendidikan menengah. Sementara 11% murid gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah.
#6. Filipina
Tingkat kegagalan murid menuntaskan sekolah di FIlipina termasuk yang tertinggi di dunia, yakni 24,2%. Tidak heran jika Filipina saat ini menempati posisi 117 di dunia dengan skor 0,610. Namun begitu sebanyak 64% penduduk setidaknya menuntaskan pendidikan menengah.
7. Vietnam
Vietnam yang berada di posisi 121 memiliki kualitas pendidikan yang lebih rendah ketimbang Irak dan Suriah. Saat ini Vietnam mencatat skor EDI 0,513 dan tingkat literasi penduduk dewasa sebesar 93,5%.
Tentu ada ukuran dan model penilaian lain dalam mengukur kualitas pendidikan suatu negara. Menurut CNBC negara paling terdidik (most educated country) adalah Israel. Disusul Korea, United Kingdom, United States, Australia, Finland, Norway, dan Luxembourg.
Sementara menurut worldpopulationreview tingkat pendidikan bervariasi antar negara di seluruh dunia. Secara umum, orang-orang di negara-negara terbelakang dan tidak berkembang sama sekali tidak memiliki akses ke pendidikan atau pendidikan berkualitas. Mereka yang berada di negara maju memiliki tingkat melek huruf yang lebih tinggi dan setidaknya pendidikan sekolah menengah atas.
Menurut Kemitraan Global untuk Pendidikan, pendidikan memainkan peran kunci dalam pembangunan manusia, sosial, dan ekonomi. Pendidikan dianggap sebagai hak asasi manusia dan memainkan peran kunci dalam pembangunan manusia, sosial, dan ekonomi. Pendidikan mempromosikan kesetaraan gender, mempromosikan perdamaian, dan meningkatkan peluang seseorang untuk memiliki lebih banyak kesempatan dalam hidup.
Negara-negara terbaik untuk pendidikan diberi peringkat berdasarkan survei global berbasis persepsi, yang menggunakan kompilasi skor dari tiga atribut dengan bobot yang sama: sistem pendidikan publik yang berkembang dengan baik, akan mempertimbangkan untuk kuliah di sana, dan menyediakan pendidikan berkualitas tinggi. Pada 2018, sepuluh negara teratas berdasarkan peringkat pendidikan adalah: Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Perancis, Australia, Swiss, Swedia, Jepang, dan Belanda.
Selama ini soal-soal ujian di Indonesia memiliki tingkat kesulitan di bawah PISA—yang sudah berbasis HOTS. Hal tersebut dikarenakan negara-negara pendiri OECD (organisasi yang mengadakan PISA) telah menerapkan sistem taksonomi Bloom dalam sistem pendidikan mereka. Sementara kurikulum di Indonesia sama sekali tidak menerapkan sistem tersebut, kecuali untuk ujian nasional.
Pantas saja saat ujian sistem HOTS diberlakukan (2018-2019), para siswa di Indonesia mengeluh tak bisa mengerjakan soal. Mereka menganggap materinya terlalu sulit dan belum pernah diajarkan di sekolah.
Kurikulum silih berganti. Ganti Menteri ganti kebijakan termasuk kurikulum. Kurikulum pertama pada tahun 1947 dinamakan Rencana Pelajaran, Tahun 1964 masuk kurikulum Rencana Pendidikan Sekolah Dasar, Kurikulum Sekolah Dasar di tahun 1968, lanjut Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan 1973.
Di tahun 1975 Indonesia memasuki Kurikulum Sekolah Dasar, kemudian berganti menjadi Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Revisi Kurikulum 1994 di tahun 1997, Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di tahum 2004. Lalu dua tahun kemudian (2006) beralih ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan terakhir Kurikulum 2013.
Nasib Kurtilas semakin tidak jelas. Penerapannya sempat berhenti sementara di era Mendikbud Anies Baswedan. Dengan alasan masih banyak seolah belum siap menghadapi K-13, maka KTSP 2006 kembali digunakan.
Dari sekian banyak metode belajar, tak satupun yang menganut sistem HOTS. Indonesia masih menggunakan metode tipe Lower-Medium Order Thinking. Fakta ini menjadi bukti bahwa sistem pendidikan perlu dibenahi secara menyeluruh. Maka posisi Indonesia dalam prestasi akademik siswanya menjadi sorotan. PISA adalah tolak ukur kegagalan uji coba pendidikan Indonesia yang selalu berganti setiap ada perubahan menteri.
Tahun 1956, Benjamin Bloom bersama beberapa kawannya merumuskan kerangka kemampuan berpikir bernama Taksonomi Bloom. Ide ini adalah buah respons kegelisahan Bloom terhadap sistem pendidikan saat itu yang masih berbasis hafalan. Menghafal adalah tingkatan terendah dari kemampuan berpikir.
Ia lalu membuat hierarki kemampuan berpikir yang disebut Taksonomi Bloom. Tiga struktur terbawah yakni menghafal, memahami, dan mengaplikasikan termasuk dalam kategori Lower-Order Thinking Skills. Berdasar survei PISA, kemampuan siswa di Indonesia masih berada di kategori ini. Tiga level selanjutnya adalah analisis, evaluasi, dan penciptaan.
Semakin tinggi strukturnya maka kemampuan siswa ditantang ke level yang lebih sulit. Setiap tahap dirancang Bloom untuk merangsang pola pikir tingkat tinggi. Tujuannya guna menghasilkan siswa berdaya analisis, kritis, cakap memecahkan masalah, dan melakukan evaluasi.
Singapura sebagai negara yang pernah berada di urutan pertama survei PISA—sekarang kedua—sudah mengaplikasikan sistem ini pada pendidikannya. Saat pelajaran berhitung dan sains, kurikulum pendidikan Singapura memberi pemahaman konsep. Anak-anak dibuat memahami hasil perhitungan dan reaksi kejadian dengan contoh kasus, bukan menghafal rumus seperti Indonesia.
Seperti dilansir dari Antara, pada tingkat sekolah dasar, Kementerian Pendidikan Singapura hanya memastikan siswa menguasai bahasa Inggris, bahasa ibu (Melayu, Mandarin, Tamil), dan matematika. Di level siswa kelas menengah baru kurikulumnya bertambah dengan sains, sastra, sejarah, geografi, seni, desain, teknologi, dan ekonomi. Sistem pendidikan mereka juga mengidentifikasi dan memberi kesempatan anak belajar sesuai dengan bakatnya.
Anak kelas satu hanya dikenalkan huruf dan angka, bukan memaksa mereka bisa menghitung dan membaca. Demikian menurut Poon Chew Leng dari Kementerian Pendidikan Singapura.
Sementara Cina sebagai negara teratas di perolehan skor PISA 2018 hanya fokus mengajarkan bahasa mandarin dan matematika di tingkat sekolah dasar. Para siswa menghabiskan 60 persen waktunya di sekolah untuk memahami mata pelajaran yang disebut "The Big Two" tersebut. Selebihnya mereka belajar musik, seni, moral, serta interaksi sosial antara manusia dan alam.