Ethiopia: Negara Afrika yang Semakin Berkembang
Dalam beberapa dekade ini, Ethiopia sudah jauh berkembang berkat investasi luar negeri yang masuk ke dalam negara tersebut.

MONDAYREVIEW.COM – Apa yang terlintas dalam benak kita saat mendengar Negara Ethiopia? Sebagaimana negara-negara di Afrika pada umumnya, kita akan menduga bahwa Ethiopia adalah sebuah negara miskin dengan kesejahteraan yang rendah. Berita-berita mengenai kelaparan, perang saudara, gizi buruk, selalu menghiasi media kita saat memberitakan Afrika. Namun hal tersebut sudah berubah, negara-negara Afrika tengah berbenah, salah satunya Ethiopia. Dalam beberapa dekade ini, Ethiopia sudah jauh berkembang berkat investasi luar negeri yang masuk ke dalam negara tersebut.
Dilansir dari situs African-union.org, Sejak tahun 2000, Ethiopia menjadi salah satu negara di Afrika dengan tingkat kemiskinan tertinggi di dunia. Seiring dengan kemiskinan, negara itu juga harus menanggung kelaparan dan busung lapar. Namun secara mengejutkan, World Bank menyebutkan bahwa dalam satu dekade Ethiopia telah mengalami kemajuan luar biasa dalam kesejahteraan. Bahkan menduduki peringkat ke-12 sebagai Negara Adidaya Pertanian dan Ketahanan Pangan menurut Food Sustainability Index (FSI) tepat satu tangga di bawah USA (urutan ke-11). Kemajuan ini telah didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan rata-rata 10,9 persen per tahun.
Negara lain di Kawasan Afrika Sub-Sahara seperti Ghana yang diprediksi sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi tahun ini nyatanya hanya mencatat 6,4 persen, merosot dari semula 8,9 persen pada Oktober 2017. Sedangkan Nigeria, negara ekonomi terbesar di benua hitam, diperkirakan perekonomiannya hanya tumbuh 2,1 persen, meningkat dari perkiraan 1,9 persen pada Oktober 2017 lalu. Cepatnya pertumbuhan ekonomi di Ethiopia turut berdampak pada penurunan kemiskinan. Meski belum bisa menekan ke titik terendah, data dari Bank Dunia menunjukkan adanya penurunan pada 2011 dengan hanya 30 persen penduduk Ethiopia yang hidup di garis kemiskinan dari semula 44 persen pada 2000.
Ian Taylor, ahli ekonomi politik Afrika dari University of St. Andrew mengtakan, Pemerintah Ethiopia melihat China sebagai model pembangunan dan menghendaki pembangunan infrastruktur dengan negara tersebut. Dalam dua dekade, China melengkapi Addis dengan jalan lingkar seharga 86 juta dollar AS, persimpangan seharga 12,7 juta dollar, jalan raya 6 lajur pertama seharga 800 juta dollar AS, dan jalur kereta api Ethio-Djibouti senilai 4 miliar dollar AS.
China juga membangun sistem kereta bawah tanah pertama di kota ini. Jalur kereta ini melintasi pusat kota dan mampu membawa 30.000 penumpang per jam. Addis Abbaba telah berubah cepat. Percepatan pembangunan di kota ini, menurut Taylor, mirip seperti yang pernah terjadi di kota-kota China pada awal abad ke-21. Ethiopia tampaknya akan terus memfokuskan kebijakan ekonominya pada pengembangan infrastruktur baru dengan belanja infrastruktur senilai $89 juta, menurut African Development Bank (AfDB). Tidak semua pembangunan infrastruktur bergantung pada dana asing, khususnya Cina.
Dari Ethiopia kita bisa belajar bahwa pembangunan infrastruktur dan investasi luar negeri dapat mengakselerasi pembangunan yang berdampak pada kesejahteraan serta penurunan angka kemiskinan. Ethiopia berhasil memanfaatkan kerja sama bilateral dengan China untuk membangun negerinya. Selayaknya Indonesia yang sudah lebih jauh berkembang mengambil sisi positif dari pengalaman Ethiopia. Indonesia seharusnya bisa jauh lebih baik dari mantan negara termiskin di Afrika ini.