Wasekjen Demokrat Ungkap Kejanggalan Pembentukan Tim Gabungan Untuk Kasus Novel
Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik menilai pembantukan Tim Gabungan untuk kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan perlu diapresiasi. Namun menurutnya terdapat beberapa catatan yang harus diperhatikan.

MONITORDAY.COM – Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik menilai pembantukan Tim Gabungan untuk kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan perlu diapresiasi. Namun menurutnya terdapat beberapa catatan yang harus diperhatikan.
“Pembentukan Tim Gabungan untuk kasus Novel tentu perlu disambut secara pantas. Namun demi kejujuran perlu disampaikan beberapa catatan,” kata Rachland, dalam keterangan tertulis yang diterima Rabu, (16/1).
Pertama, Rachlan mengaku bingung terhadap Komnas HAM yang memeberikan rekomendasi kepada Polri untuk membentuk Tim Gabungan untuk kasus Novel. Padahal, kata Dia, hal tersebut bukanlah tugas dari Koamnas HAM.
“Tugas Komnas HAM adalah memastikan kinerja polisi selalu berada dalam konformitasnya pada norma norma HAM. Kalau mengevaluasi kinerja Polda dalam kasus Novel, dan karena menilai tak cukup lalu komnas mendesak Kapolri ambil alih dengan membentuk Tim Gabungan: tidakkah itu sebenarnya pekerjaan Kompolnas? Tugas Komnas HAM itu menggebrak meja Presiden, bukan meja Kapolri.” Ungkapya.
Kedua, Rachlan menilai, adanya kekacauan konseptual dengan dibentuknya Tim Gabungan tersebut. menurutnya, Suatu pelanggaran HAM dalam kasus Novel bisa terjadi karena Polisi membiarkan kasus ini hingga hak Novel atas perlakuan sama di muka hukum tidak dipenuhi. Bila itu terjadi, Komnas HAM wajib turun tangan.
“Misalnya dengan mendesak atau menyampaikan rekomendasi kepada Presiden agar dibentuk Tim Pencari fakta untuk membantu polisi. Di sini lucunya: alih alih menggebrak meja Presiden, Komnas HAM malah mengevaluasi kinerja Polda. Lalu mendesak kasus Novel diambil alih oleh Kapolri dengan membentuk Tim Gabungan,” ujarnya.
“Ini sama saja dengan mengakui Polisi bekerja, kendati diperlukan tambahan keseriusan. Soalnya, bila polisi bekerja, lalu dimana letak pelanggaran HAM dalam kasus Novel? Kalau begitu, apa dasar bagi Komnas HAM turun tangan dalam kasus Novel?,” tambah Rachlan.
Kemudian yang ketiga, kata Dia, Siapapun arsitek di belakang Tim Gabungan Kasus Novel,berarti tidak mempelajari evolusi Tim Pencari Fakta dalam sejarah politik Indonesia paska reformasi. Bandingkan dengan TGPF Kerusuhan Mei 1998 dan dengan TPF Munir sebagai benchmark.
“Dengan kata lain, Tim Gabungan Kasus Novel berada di luar atau melawan evolusi Tim Pencari Fakta di Indonesia. Sebagai Tim Pencari Fakta, dia "cuma" didasari Keputusan Kapolri. Artinya, ini sejatinya adalah tim polisi biasa yang keanggotaannya ditambahi dari unsur non-polisi,” ungkap Rachlan.
Karena hal itu, Rachlan menyimpulkan bahwa dibentuknya Tim Gabungan ini hanyalah untuk kepentingan Jokowi di Pilpres.
“Tim ini bukan hanya akan mengeluarkan kasus Novel dari daftar kesalahan Jokowi dalam urusan perlindungan HAM. Ia juga memberi kesan seolah Jokowi bertekad menuntaskan kasus Novel. Namun, bila tim ini gagal atau tak selesai, Jokowi tinggal menyalahkan polisi,” tegasnya.