Visi Pemimpin di Tahun Politik

Seruan NU dan Muhammadiyah untuk menjaga persatuan dan keutuhan bangsa. Jangan terjebak dalam pragmatisme politik

Visi Pemimpin di Tahun Politik
Haedar Nashir dan Said Aqil Siraj

MONDAYREVIEW- Kunjungan Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr. Haedar Nashir ke kantor PBNU di kawasan Kramat, Jakarta akhir pekan lalu sebenarnya bukan berita besar. Silaturahmi “saudara tua dengan adiknya”, begitu Haedar menyebutnya. Maklum Muhammadiyah yang lebih dulu berdiri tahun 1912, disusul kemudian NU didirikan pada tahun 1926.

Kedua tokoh ini sudah sering bertemu dalam berbagai acara penting nasional. Namun, pertemuan kali ini memberikan makna lain. Karena, saat ini, bangsa ini tengah diuji untuk menjalani tahun politik dengan penuh kedamaian. "Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman etnis suku, golongan, agama yang tetap harus dijaga dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa," tegas KH. Said Aqil Siraj, Ketua Umum PBNU.

Disebut tahun politik, karena tahun 2018, digelar Pilkada serentak, yang dilanjutkan dengan Pilpres tahun 2019. Suhu panas pun politik sudah mulai terasa, terutama di media sosial. Pertarungan belum bergeser dari Pilpres 2014, antara kubu Jokowi dan kubu Prabowo.

NU maupun Muhammadiyah secara kelembagaan tidak berpihak pada salah satu kubu, Namun, warga kedua ormas Islam ini tentu memiliki aspirasi politik yang bebas disuarakan. Dalam pernyataan bersama, NU dan Muhammadiyah mengingatkan warganya untuk berhati-hati dalam bermedia sosial dan tidak terjebak dalam berita hoaks yang bisa memicu permusuhan antara sesama warga negara dan berpotensi mengganggu keutuhan bangsa.  

NU dan Muhammadiyah berkomitmen untuk menghadirkan narasi yang mencerahkan melalui ikhtiar ikhtiar dalam bentuk penguatan dan peningkatan literasi digital sehingga terwujud masyarakat informatif yang berakhlakul karimah

Lalu, siapa yang pantas menjadi pemimpin nasional?

Tak ada satu pun pernyataan politik dari kedua tokoh ini. Baik Haedar maupun Said Aqil lebih menyampaikan seruan moral dan memilih untuk bermitra lebih kuat dalam satu kebersamaan bersama pemerintah yang punya kewajiban konstitusional untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial. Menurut Haedar, inilah visi utama seluruh kekuatan bangsa yang ingin maju dalam kompetensi politik baik di Pilkada maupun Pilpres.

Memasuki tahun politik, NU dan Muhammadiyah mengimbau masyarakat untuk bersama-sama menjadikan ajang demokrasi sebagai bagian dari cara kita sebagai bangsa untuk melakukan perubahan perubahan yang berarti bagi bangsa dan negara. Dalam demokrasi perbedaan jangan sampai menjadi sumber perpecahan.

Perbedaan harus dijadikan rahmat yang menopang harmoni kehidupan yang beranekaragam. Karena demokrasi, menurut Said Aqil, tidak sekedar membutuhkan kerelaan hati menerima adanya perbedaan pendapat dan perbedaan pikiran, namun demokrasi juga membutuhkan kesabaran, ketelitian, dan cinta kasih antar sesama.

NU tidak mau lagi terjebak dalam politik praktis, karena sudah kembali pada khittah perjuangannya. Sementara, Muhammadiyah sejak awal tak pernah berambisi masuk dalam gelanggang politik. Namun, tak berarti kedua ormas terbesar ini menutup mata terhadap politik nasional. Berpolitik tak berarti harus ikut dalam politik praktis

Dalam satu kesempatan Silaturrahim dan Konsolidasi Organisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM)  Jawa Timur. Haedar pernah menyatakan banyak hal yang mendorong Muhammadiyah untuk berperan dalam politik. "Berbagai tarikan, spektrum politik menyertai Muhammadiyah, tapi kita tidak mengambil spektrum dalam konteks politik praktis, kita ini bukan organisasi politik," tegasnya.

Haedar juga mengatakan ketidakterlibatan Muhammadiyah untuk terjun dalam politik praktis merupakan sikap yang tepat dan sudah sangat sesuai dengan khittah Muhammadiyah. "Perjuangan kita dalam politik kan berbeda konteksnya, tanpa harus Muhammadiyah masuk dalam politik praktis kita sudah mampu menegaskan peran kita bagi ummat, bangsa, dan negara ini," jelasnya.

Sikap organisasi harus dibedakan dengan aspirasi politik para kadernya. Banyak kader Muhammadiyah yang berdiaspora di dunia politik, ada yang bergabung dengan partai lama, ada juga yang mendirikan partai baru. Begitu juga dengan NU. Pengalaman kepemimpinan dan jaringan sosial menjadi modal politik bagi mereka untuk berkiprah sebagai elit partai.

Ideologi politik saat ini seolah-olah tak lagi relevan. Kita sulit membedakan ciri khas partai dalam hal ideologi, maupun visi dan misinya. Partai Islam tak jauh beda dengan partai nasionalis. Untuk beberapa isu tertentu, bisa jadi mereka berbeda bahkan bersebrangan dalam bersikap. Namun, dalam isu lain, mereka bisa saja seirama, bahkan menjalin koalisi.

Partai bersikap pragmatis dianggap sah-sah saja, sebagai sebuah strategi atau tindakan taktis. Namun, yang dikhawatirkan lahirnya pragmatisme politik yang sudah menjadi kultur politik. Isu ini sudah lama jadi perhatian serius Muhammadiyah.  Iklim persaingan yang semakin tinggi membuat para aktor politik mudah sekali terjebak dalam pragmatisme politik. Untuk memenang persaingan politik, mereka bisa bertindak apa saja. Tujuannya  untuk “berkuasa” daripada memikirkan apa saja yang akan dilakukan setelah “berkuasa”.

Sikap pragmatisme politik bertujuan jangka pendek, lebih mengutakan kepentingan partai dan golongannya, dibandingkan dengan kepentingan masyarakat.  Popularitas dijadikan tolak ukur utama suatu keberhasilan. Orang yang berkualitas tetapi tidak dalam lingkaran kekuasaan pun menjadi tersisih. Sebaliknya mereka yang berada dalam posisi pusat perhatian media massa seperti selebriti menjadi rebutan partai-partai politik. Akibatnya, sulit ditemukan kaderisasi yang terpadu dan terencana di dalam dunia politik di Indonesia masa kini.

 

Banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi berjamaah, sebagai salah satu bukti pragmatisme politik sudah menjalar. Karena itu, tugas partai politik tidak sekedar merekrut tokoh yang populer, juga menanamkan moralitas politik yang luhur seperti yang sudah dirintis oleh para pendiri bangsa ini.

 

Pragmatisme politik ibarat sebuah virus juga menjangkiti masyarakat. Wabahnya sudah bisa terlihat ramainya berita hoaks dan ujaran kebencian di media sosial. Karena tidak suka terhadap rezim, apa pun yang dilakukan pemerintah selalu salah. Sebaliknya, kubu yang bersebrangan dengan pemerintah menjadi sasaran bullying dari pendukung pemerintah. Karena berbeda pilihan politik, persaudaraan pun menjadi tercederai.

Munculnya para capres yang siap dipinang oleh Jokowi, maupun Prabowo semoga bukan bagian dari pragmatisme politik. Tak cukup kedua tokoh ini, menggandeng tokoh masyarakat, seperti Said Aqil (NU) atau Din Syamsuddin (Muhammadiyah) hanya untuk membeli suara warganya. Begitu juga tokoh-tokoh lain, seperti Gatot Nurmantyo, Mahfud MD, atau TGB Zainul Majdi yang hanya diposisikan sebagai vote getter. 

Karena itu, dibutuhkan komitmen yang utuh dan tulus, disertai janji-janji politiknya yang siap dipenuhi demi untuk kepentingan rakyat.