Selamat Tinggal Materai 3.000 dan 6.000!
Kementerian Keuangan mengusulkan kepada DPR perubahan bea materai menjadi Rp10.000 per lembar.

MONDAYREVIEW.COM - Meterai atau lebih sering disebut materai, merupakan salah satu produk hukum perpajakan yang sangat familiar di kehidupan kita. Materai ini seringkali digunakan dalam penandatanganan surat perjanjian dan surat-surat berharga lainnya. Tujuan penempelan materai yakni memberikan nilai hukum pada sebuah dokumen yang telah dibuat. Untuk surat yang ditandatangi, materai yang digunakan biasanya adalah materai 6000. Lalu apa sebenarnya fungsi materai 6000 ( apa itu materai 6000)?
Dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan,bea meterai adalah pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan, atau diserahkan kepada pihak lain jika dokumen itu hanya dibuat oleh satu pihak. Dalam arti lain, bea materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Penggunaan dan fungsi materai diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai, bea materai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen tertentu.
Sebenarnya, tak semua dokumen berharga harus dibubuhi materai. Dengan kata lain, dokumen tanpa materai bukan berarti dokumen tersebut dianggap tidak sah. Namun, dokumen tanpa materai tersebut tak bisa dijadikan alat bukti di pengadilan.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menghapus bea materai Rp 3.000 dan Rp 6.000, dan akan menggantinya dengan bea materai Rp 10.000. Tujuannya, untuk menyesuaikan situasi ekonomi, hukum, sosial, dan mengikuti perkembangan teknologi informasi. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tarif bea materai perlu diperbarui karena sudah terlalu lama mengacu Undang-undang (UU) sebelumnya yaitu UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
Kebijakan tersebut berlaku sejak 1 Januari 1986, berarti sudah 34 tahun belum pernah mengalami perubahan. Sementara itu kondisi dan situasi dalam masyarakat dan perekonomian mengalami perubahan sangat besar dalam tiga tahun terakhir. Menurutnya, pembaruan tarif bea materai tersebut mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah. Selain itu, juga diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara.Pada tahun 2019 penerimaan bea materai dari RUU Bea Meterai berada pada kisaran Rp 11,3 triliun atau meningkat Rp 5,7 triliun.
Sri Mulyani memaparkan, terdapat enam klaster dalam RUU Bea Meterai. Di antaranya, klaster obyek dan non-obyek, klaster tarif, klaster saat berutang, klaster subyek dan pemungut bea cukai, klaster pembayaran, dan terakhir klaster fasilitas. Dari enam klaster terebut, baru empat klaster yang dibahas. Sri Mulyani menambahkan, mengingat pembahasan RUU Bea Meterai pada periode 2015-2019 lalu belum selesai, maka RUU ini menjadi prolegnas prioritas 2020. Kementerian Keuangan mengusulkan kepada DPR perubahan bea materai menjadi Rp10.000 per lembar. Sedangkan materai Rp3.000 dan Rp6.000 akan dihapuskan.
Perkembangan dari usulan ini, DPR dan pemerintah akhirnya sepakat membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk pembahasan RUU Bea Materai. Kesepakatan tersebut diambil dalam keputusan rapat antara Menteri Keuangan bersama dengan Komisi XI DPR RI. Ketua Komisi XI Dito Ganinduto menyampaikan, berkaitan dengan selesainya masa sidang maka pembahasan RUU Bea Materai akan ditindaklanjuti ke dalam Panitia Kerja (Panja).