Sunanto, Angin Segar untuk Kembali ke Kittah
Beberapa bulan terakhir ini, warga Muhammadiyah disuguhi drama politik yang amat mengkhawatirkan, terutama jelang perhelatan Muktamar Muhammadiyah ke-XVII di Yogyakarta.

BEBERAPA bulan terakhir ini, warga Muhammadiyah disuguhi drama politik yang amat mengkhawatirkan, terutama jelang perhelatan Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke-XVII di Yogyakarta. Mulai dari keputusan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar yang menerima pinangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk menjadi juru bicara tim pemenangan Prabowo-Sandiaga, hingga upaya sejumlah pihak, terutama Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Amien Rais yang berupaya menarik-narik Muhammadiyah dalam pergulatan politik praktis secara struktural.
Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) ini bahkan mengutarakan ketidaksetujuan pada Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir karena memberi kebebasan bagi warga Muhammadiyah untuk menentukan pilihan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Amien Rais bahkan mengaku bakal menegur Haedar Nashir jika tetap mengimbau warga Muhammadiyah untuk bebas memilih di Pilpres 2019. “Akan saya jewer keras nanti,” kata Amien, saat menghadiri Peringatan Milad ke-106 Muhammadiyah di Islamic Center Surabaya, Jawa Timur, Selasa (20/11).
Tanpa menafikan peran keduanya dalam memajukan Muhammadiyah, tentu saja ada alasan kuat masing-masing atas sikap tersebut. Dan tanpa bermaksud memberi pembelaan kepada salah satu diantara tokoh besar tersebut, wajar lah bila banyak kalangan mulai khawatir, bahwa upaya untuk menarik Muhammadiyah dalam politik praktis secara struktural dapat mengoyak keteguhan Muhammadiyah yang selama ini untuk selalu berada di khittahnya sebagai organisasi yang fokus pada upaya dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan memberi jarak kepada kekuatan politik manapun.
Kekhawatiran itu pun terbukti, dan menjadi antiklimaks dalam forum Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), pada 25-28 November 2018. Prosesi Muktamar yang awalnya biasa-biasa saja, seperti Muktamar di Padang maupun Jakarta, menjadi amat seksi dan menjadi perhatian publik. Hampir semua media, baik cetak, televisi, maupun online, ramai-ramai memberitakan prosesi Muktamar Pemuda Muhammadiyah.
Bahkan, insiden kecil yang terjadi antara muktamirin dengan petugas paspampres pun lalu menjadi heboh lantaran beredar kabar bila Sang Ketua Umum dihalang-halangi dan dizhalimi sehingga tidak dapat masuk ke arena Muktamarnya sendiri. Atas insiden ini, dan beberapa indikasi adanya intervensi baik dari penguasa maupun oposisi, membuat sejumlah pihak mesti turun tangan dan memastikan peralihan kepemimpinan Pemuda Muhammadiyah berjalan demokratis dan menghindarkan tarikan-tarikan politik praksis.
Beberapa figur yang muncul untuk menggantikan sosok Dahnil Anzar pun tak lepas dari isu tarik-menarik kepentingan politik terutama Pilpres 2019. Baik Ahmad Fanani, Ahmad Labib, dan Sunanto sebagai 3 kandidat kuat pun disebut terafiliasi partai politik. Pun demikian sosok Faisal dan Andi Asti yang disebut merepresentasikan kalangan intelektual, kemudian tak lepas dari isu tarikan politik tersebut, lantaran pilihan mereka untuk mendukung calon lainnya.
Beruntung, sosok Sunanto hadir dan membawa angin segar kepemimpinan masa depan Pemuda Muhammadiyah. Aktivis Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) ini mampu menepis anggapan tersebut. Ia dianggap mampu menjaga indevendensi dan keteguhan Pemuda Muhammadiyah yang memberi jarak dengan kekuatan politik manapun.
Terbukti, Forum Muktamar Pemuda Muhammadiyah ke-XVII di Yogyakarta memutuskan Sunanto sebagai Ketua PP Pemuda Muhammadiyah periode 2018-2022. Sunanto terpilih sebagai Ketua menggantikan Dahnil Anzar dengan memperoleh 590 suara.
Sunanto atau akrab disapa Cak Nanto ini bukanlah aktivis baru di kalangan Pemuda Muhammadiyah. Sejak kecil, pria kelahiran Sumenep ini memang tumbuh dan dibesarkan di Panti Asuhan Muhammadiyah (PAM) Sumenep.
Sunanto kemudian menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Sobron, Jawa Tengah. Ia juga tumbuh dan berkembang dari proses pengkaderan Muhamadiyah. Ia juga berjuang dan memupuk kapasitas dirinya dengan aktif bergiat di organisasi otonom Muhammadiyah, IPM, IMM, dan Pemuda Muhammadiyah.
Sebelum terpilih menjadi Ketua Umum, Cak Nanto merupakan Ketua Hikmah dan Hubungan Antar Lembaga Pemuda Muhammadiyah. Dia juga aktif di Jaringan Pendidikan Pemilih untuk (JPPR), bahkan menjadi Koordinator nasional JPPR.
Berkaitan dengan pemilu ini, Cak Nanto tidak ingin mengorbankan proses yang panjang tersebut dengan suatu gerakan dukung mendukung. Ia ingin tetap menjaga khittah dan marwah Peryarikatan Muhammadiyah.
Meski begitu, ia tak mengesampingkan politik. Ia justru akan menjadikan politik sebagai ruang kebajikan. “Kita perlu mengisi ruang politik dengan keadaban dan kebajikan, jangan pernah berpangku tangan dan menunggu untuk berkemajuan,” kata Cak Nanto dalam siaran pers pada Kamis (29/11).
Pernyataannya ini juga senada dengan amanah Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir. Haedar mengatakan, agar di tahun politik seperti ini seluruh kader Muhammadiyah dapat terus menjaga Khittah Persyarikatan Muhammadiyah.
“Harus menjaga kedekatan yang sama dengan semua partai politik dan calon presiden. Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah, dan kultural. Tidak boleh menyeretnya kepada kepentingan politik pragmatis. Individu-individu silahkan, itu pilihan, tetapi jangan bawa-bawa nama besar Muhammadiyah,” ujar Cak Nanto.
Yang menarik, setelah menjadi ketua PP Pemuda Muhammadiyah kelak, ia berkomitmen untuk semakin memperkokoh pemuda Muhamadiyah di bawah tenda besar tauhid, ilmu, dana mal. Karena, bagi Cak Nanto, Pemuda Muhammadiyah mesti terus bergerak memajukan bangsa.
Sunanto, yang lama aktif di JPPR, tentu paham betul, bila political society dalam sejarah perjalanan Indonesia lebih sering mengalami kegagalan dalam memfasilitasi masyarakat ke arah yang lebih demokratis. Karena sesungguhnya, entitas tersebut tidak lahir dari bawah, tapi dari kelas menengah yang terlalu elitis untuk membangun visi dan karakter bangsa ini.
Oleh karena itulah gerakan civil society seperti Pemuda Muhammadiyah, merupakan pilar alternatif yang diharapkan mampu membawa bangsa ini untuk melewati transisi demokrasi yang telah terlalu lama, mahal dan banyak melahirkan korban. Kisruh Pilkada di beberapa daerah, terutama DKI Jakarta 2017 silam, menuntut civil society untuk memainkan peranannya. Meskipun tentu saja dengan tidak menyeret-nyeretnya secara struktural.
Posisi dan peta politik saat ini, merupakan momentum untuk memperkuat gerakan-gerakan civil society khususnya Pemuda Muhammadiyah, untuk tetap konsisten dalam peran dan posisinya, sebagai condition sine qua non menuju kebebasan (condition of liberty) dan demokrasi seutuhnya. Sepertinya, itulah yang tengah diupayakan Sunanto.