Pemuda, Gelembung Demografi, dan Pengempisan Intelektual

Pemuda, Gelembung Demografi, dan Pengempisan Intelektual
Ilustrasi (SHUTTERSTOCK/ARTHIMEDES)

POPULASI anak muda Indonesia mengalami lonjakan yang luar biasa. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1,25 persen dalam satu dekade terakir, utamanya terjadi penggelembungan pada usia muda. Ini menggambarkan Indonesia masih berada pada jalur bonus demografi dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang besar mencapai 70,72 persen.

Sensus Penduduk yang dilakukan BPS pada 2020 memperlihatkan struktur demografi Indonesia didominasi oleh penduduk berusia muda. Dari 270,20 juta jumlah penduduk Indonesia, mayoritasnya didominasi oleh generasi Z (27,94 persen). Usia penduduk yang lahir pada tahun 1997-2012, atau perkiraan usia saat ini antara 8-23 tahun. Berikutnya adalah generasi milenial (25,87 persen), atau lahir pada tahun 1981-1996. Perkiraan usia saat ini antara 24-39 tahun. Sementara generasi post Gen Z atau penduduk kelahiran tahun 2013 dan seterusnya mencapai 10,88 persen dari total populasi.

Bonus demografi sering diasosiasikan sebagai keuntungan ekonomis yang dialami sebuah negara dalam keadaan jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk usia nonproduktif, atau rasio ketergantungan di bawah 50 persen. Jika momentumnya berhasil dimanfaatkan, hasilnya adalah kemajuan dan kemakmuran bagi sebuah bangsa.

Hal ini tidak terjadi secara otomatis, namun perlu kebijakan yang tepat dan terarah dari pemerintah. Diantaranya adalah menjaga kualitas sumber daya manusia yang sehat dan terdidik, tenaga kerja produktif, serta stabilitas ekonomi yang memungkinkan lapangan pekerjaan dapat tercipta. Jika tidak, yang terjadi justeru bencana demografi akibat tingginya angka pengangguran, konflik sosial dan tekanan pada ketersediaan pangan, air, dan memburuknya kualitas lingkungan.

Mengingat hal itu, kita patut cemas dengan kondisi yang terjadi saat ini. Jalur bonus demografi Indonesia belum didukung oleh peningkatan SDM yang diserap pada lapangan kerja yang berkualitas. Persentase angkatan kerja menurut tingkat pendidikan tahun 2021 sungguh memilukan. Sekitar 54,66 persen angkatan kerja di Indonesia masih berpendidikan SMP ke bawah. Kemudian 13,01 persen yang memiliki pendidikan Diploma dan Universitas, serta 32,33 persen berpendidikan SMA atau SMK.

Kondisi ini menggambarkan jenis pekerjaan yang banyak tersedia masih membutuhkan tenaga kerja dengan skill rendah (unskill labour). Padahal, perkembangan teknologi dan informasi saat ini meniscayakan adaptasi pendidikan dan skill yang lebih tinggi. Di sinilah letak persoalannya. Modal intelektual yang seharusnya menentukan peran dan posisi yang akan dimainkan Indonesia dalam pembangunan nasional dan global, terkunci pada basis pendukung utamanya, rendahnya kualitas sumber daya manusia.

Apa sebab hal ini bisa terjadi? Menurut saya kondisi ini merupakan buah dari paradigma pembangunan nasional yang melulu berorientasi pada pemupukan modal (capital base development) bukan pengetahuan (knowledge base development). Padahal tidak kurang para pendiri bangsa sudah mengingatkan bahwa hakikat pembangunan nasional adalah memerdekakan manusia Indonesia, menciptakan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kunci dari itu semua adalah akumulasi pengetahuan yang ada pada setiap penduduk. Sehingga memungkinkan setiap orang memiliki akses dan kemampuan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Akumulasi terhadap pengetahuan, menciptakan peluang bagi setiap orang mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang lebih baik, kemampuan untuk mengelola kegiatan ekonomi yang produktif serta meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya. Ujung dari semuanya yaitu meningkatnya nilai tambah dan martabat bangsa.

Sebaliknya, terbatasnya pengetahuan membawa kepada suatu proses marjinalisasi secara sosial. Membatasi kemampuan seseorang untuk mengakses dan mengelola sumber daya ekonomi dan melahirkan potret horor kesenjangan yang menyakitkan.

Seperti yang kita saksikan pada ketimpangan yang tinggi antara orang kaya dan miskin di Indonesia. Akumulasi kekayaan segelintir warga yang menguasai kekayaan nasional dan simpanan di perbankan. Credit Suisse menempatkan Indonesia di urutan keempat dengan disparitas kekayaan tertinggi. Bahkan survey Oxfam menyatakan bahwa harta empat orang terkaya di negara ini sama dengan harta yang dimiliki oleh sekitar 100 juta orang miskin. Kondisi ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi selama hampir 20 tahun terakhir terkonsentrasi pada penduduk berpenghasilan tinggi.

Ini harga yang harus dibayar ketika membiarkan modal bebas bergerak dan mendominasi kehidupan negara. Hasrat akumulasi dan ingin menguasai menjalar di setiap jengkal tanah dan air lalu dengan mudah merobohkan sekat-sekat pembatas yang dibangun dalam norma-norma Pancasila dan Konstitusi. Dampaknya bagi kehidupan sosial-politik mudah dipahami. Gejalanya bisa dilihat dari meningkatkan polarosasi dan fragmentasi sosial baik berbasis identitas keagamaan, kesukuan, golongan, dan kelas-kelas sosial di masyarakat. Maraknya sikap dan perilaku destruktif di ruang publik, dan minimnya keteladanan dari para pemimpin.

Kita harus menjaga momentum bonus demografi sekaligus merawat api semangat sumpah pemuda 1928. Pemuda bukan hanya soal kategori umur, tetapi sebuah sikap mental kejiwaan dan komitmen untuk terus memperjuangkan gagasan kemajuan dan meningkatkan pengetahuan bagi kebaikan bangsa. Menghidupkan daya-daya produktif anak muda di dalam negeri sebagai pusat teladan dan pelopor untuk menghadirkan cita-cita mulia keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. [ ]