Melecut Daya Kreatif dan Imajinasi Politik Para Pemimpin Bangsa
Jokowi ingin membangkitkan kesadaran berbangsa kita. Bahwa sebuah bangsa lahir karena ada sekelompok manusia yang meskipun tak pernah ketemu satau sama lain, namun mereka membayangkan sama-sama menjadi bagian dari sebuah bangsa. Itulah kenapa, Jokowi berkali-kali meminta siapa saja terutama pejabat negara, untuk bijak dalam bernegara.

USAI membuka Munas XVI HIPMI di Hotel Sultan, Jakarta, Presiden Jokowi didampingi Sekretaris Kabinet dan sejumlah pejabat, menjawab wartawan soal penyerahan mandat yang dilakukan oleh Pimpinan KPK, menyusul pembahasan revisi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang KPK di DPR RI.
“Jadi saya sampaikan KPK itu lembaga negara, institusi negara. Jadi bijaklah dalam kita bernegara,” kata Jokowi.
Setelah sempat membuka Munas HIPMI dan memberi keterangan soal KPK di Jakarta, beberapa jam kemudian Jokowi sudah terbang ke Riau. Lalu mendarat di Lanud Roesmin Nurhadin, Pekanbaru. Jokowi pun langsung menuju lokasi karhutla di desa Merbau, Kabupaten Pelalawan.
Sekilas pintas apa yang dilakukan Presiden Jokowi di atas mungkin dianggap biasa saja, atau bahkan mungkin sudah basi. Karena dianggap sebagai lips service semata. Anggapan itu terlihat dari viralnya meme-meme yang menyindir Jokowi untuk berburu likes dan berlomba mendapat top comment di berbagai platform media sosial.
Hanya sayangnya, top comment atau likes yang diburu para netizen lebih bayak yang bernada satire bukan malah kreasi positif atau inpirasi. Dan celakanya lagi, kecenderungan ini pun seperti dimanfaatkan oleh orang-orang yang hingga kini belum juga bisa move on pasca Pilpres 2019. Efek negative dari perubahan KPK maupun karhutla seolah hanya dialamatkan kepada presiden.
Padahal, dari dua cara penanganan kasus tersebut, presiden sebetulnya ingin menyampaikan pesan penting dalam berbangsa dan bernegara. Pertama, pentingnya upaya preventif dalam menyelesaikan persoalan bangsa, termasuk soal perubahan di tubuh KPK dan penanganan karhutla.
“Sudah sering saya sampaikan, pencegahan itu akan lebih efektif. Pencegahan itu tidak memerlukan biaya banyak. Jika sudah kejadian, maka biaya untuk mengatasi dampaknya itu menjadi luar biasa mahal,” kata Jokowi.
Dalam konteks pencegahan kasus korupsi, jelas Jokowi ingin ada pengguatan, bukan sebaliknya. Jokowi mencium ada gelagat obsesi kompulsif pemberantasan korupsi. Bahwa baik obsesi untuk membuka dan mengungkap kasus-kasus korupsi, maupun obsesi untuk melakukan korupsi menjadi simetris, setara. Semakin banyak kasus korupsi diungkap, maka semakin banyak pula benih korupsi baru bermunculan.
Di negara manapun, upaya pemberantasan korupsi memang terasa sangat berat dan melelahkan. Sebut saja Amerika, negara yang disebut-sebut embahnya demokrasi ini saja tidak pernah luput dari kasus korupsi. Bahkan menurut berbagai penelitian yang dirilis, korupsi yang terjadi telah melibatkan institusi yang seharusnya lebih banyak mengungkap korupsi ketimbang melakukan praktek korupsi.
Di Amerika, bahkan muncul apa yang paling ditakuti oleh negara manapun dalam sebuah upaya pemberantasan korupsi, yaitu munculnya sinisme terhadap setiap posisi jabatan publik. Bahkan ada adagium yang mengatakan, “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan jaksa korup secara tersembunyi.”
Sinisme terhadap perilaku korupsi dalam penyelengaraan negara terkadang membuat orang yang paling beranipun, seperti Professor Frank Anechiarico dan James Jacob yang—menulis buku The Persuit of Absolute Integrity—mengungkap anatomi korupsi di Amerika, pada akhirnya harus ikut bergabung dengan sederet peneliti dan praktisi yang sudah sejak awal menyatakan diri sebagai kaum agnostic, yang frustasi dalam menghadapi masalah efektivitas tindakan-tindakan pemberantasan korupsi.
Pun demikian dalam kasus karhutla, semangat pencegahan ingin sekali Jokowi tekankan. Bahkan dalam beberapa kesempatan, Jokowi sering sekali tegaskan, jangan ada lagi karhutla, lakukan pencegahan.
Pencegahan kata Jokowi lebih efektif, dan berbiaya rendah. Namun bila sudah kejadian karhutla, bisa dibayangkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Baik TNI, Polri, maupun BNPB sudah hampir satu bulan berada di daerah karhutla pada akhirnya.
Itulah kenapa Jokowi meminta betul, para gubernur, bupati, camat, babinsa, dan muspida di daerah terdampak karhutla bisa lebih sensitif dan kreatif untuk melakukan pencegahan. Kenapa begitu, karana kesadaran ekologis sebetulnya telah disokong dari berbagai sisi, baik secara tradisional maupun modern, bahkan agama sekalipun.
Baik ilmu modern, tradisi, maupun agama memiliki kerangka tentang pentingnya kesadaran intuitif tentang kesatuan semua kehidupan (kosmik). Sehingga kesadaran ekologis bisa ditemukan dalam sisi mana pun. Persoalannya, bisakah keduanya didisain secara politik maupun sosial.
Dalam konteks ini, Jokowi sesungguhnya tengah berusaha membangun kembali daya kreatif dan imajinasi politik para pemimpin bangsa. Jokowi ingin bangsa ini keluar dari jebakan-jebakan masalah sosial yang membuat kita seperti berada dalam sebuah sangkar besi.
Jokowi, meminjam ungkapan Ben Anderson (1983), ingin membangkitkan kesadaran berbangsa kita. bahwa sebuah bangsa lahir karena ada sekelompok manusia yang meskipun tak pernah ketemu satau sama lain, namun mereka membayangkan sama-sama menjadi bagian dari sebuah bangsa. Itulah kenapa, Jokowi berkali-kali meminta siapa saja terutama pejabat negara, untuk bijak dalam bernegara.
Agar masyarakat kian bijak dalam berbangsa dan bernegara, maka kesadaran-kesadaran yang telah lama tertanam dan diri kita mesti dikontruksi secara sosial dan didisain secara politik. Di bawah alam sadar masyarakat Indonesia, pembakaran hutan dan perilaku korupsi adalah tindakan keliru, salah, terlarang dan merusak. Tapi apakah itu sudah terkonstruksi secara sosial maupun politik?