Sistem Zonasi PPDB : Antara Pemerataan dan Motivasi Berprestasi

Peran Pemda sangat penting dalam menetukan zonasi dan mendorong pemerataan kualitas sekolah

Sistem Zonasi PPDB : Antara Pemerataan dan Motivasi Berprestasi
Mendikbud Muhadjir Effendy

MONDAYREVIEW- Sistem zonasi sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) telah diterapkan. Pemerintah dan masyarakat mengharapkan akses terhadap layanan pendidikan semakin luas dan menyentuh seluruh kalangan masyarakat. Kesenjangan dalam akses pendidikan akan menjadi ‘bom waktu’ dalam jangka panjang. Mengingat tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Dan pada akhirnya akan menentukan pencapaian tujuan nasional dalam berbangsa dan bernegara.    

Sistem Zonasi dalam PPDB menjadi perbincangan hangat dalam masyarakat. Mengingat citra sekolah favorit dan sekolah non-favorit masih kuat tertanam dalam benak publik. Yang dimaksud adalah sekolah negeri atau sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Sekolah negeri yang favorit tentu menjadi incaran banyak calon peserta didik, mengingat pembiayaan sekolah yang sepenuhnya ditanggung anggaran pemerintah.

Dengan masuk ke sekolah negeri, peserta didik atau orang tuanya dapat lebih mengalokasikan dana pendidikan yang dimilikinya untuk biaya transpor, uang saku, bahkan biaya les atau tambahan pelajaran di luar sekolah bila diperlukan. Kecenderungan yang selama ini terjadi, mayoritas peserta didik yang bersekolah di sekolah negeri favorit berasal dari kalangan yang mampu. Mereka yang mampu bisa menjangkau sekolah yang jaraknya jauh, bisa mendapat fasilitas les dari lembaga bimbingan belajar yang berbiaya relatif tinggi, dan memiliki akses informasi yang lebih banyak dibanding mereka yang tidak mampu.

Adilkah aturan ini? Pertanyaan itulah yang hendak diuji dan disoal dalam pelaksanaan PPDB ini oleh banyak fihak. Motivasi untuk berprestasi secara akademik telah mendorong para peserta didik untuk giat belajar. Logika sederhananya, dengan nilai UN yang tinggi peserta didik akan memiliki peluang untuk mendapatkan bangku sekolah negeri berkualitas alias sekolah favorit di jenjang berikutnya.

Bagi kebanyakan orang, sekolah negeri favorit adalah impian. Biaya pendidikan memang mahal sehingga untuk mendapatkan layanan sekolah swasta favorit membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pada kenyataannya, sekolah negeri favorit lebih banyak dihuni oleh peserta didik yang berasal dari keluarga yang mampu. Mereka yang tidak mampu, walaupun berprestasi atau potensial berprestasi, akan tersisih bahkan harus rela sekolah dengan jarak yang cukup jauh dari tempat tinggalnya.

Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 memberikan pesan yang jelas untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan perluasan akses layanan pendidikan. Peran pemerintah daerah sangat strategis dan menentukan mengingat penyelenggaraan sekolah-sekolah negeri berada dalam wewenangnya. Peran dalam menentukan zonasi dengan pertimbangan kapadatan jumlah penduduk dan daya tampung sekolah memerlukan data yang valid, kajian yang mendalam, dan keputusan penetuan zonasi yang seadil-adilnya.

Ketentuan kuota 90% bagi calon peserta didik  dengan jarak terdekat dengan sekolah, 5% jalur prestasi dan 5% alasan khusus memberi koridor bagi pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan penentuan zonasi. Formulasi penentuan jarak ini sangat menentukan. Hal inilah yang dirasakan banyak fihak belum sepenuhnya difahami baik oleh pihak pemerintah derah maupun manajemen sekolah.

Kebijakan kuota 20% untuk menerima calon peserta didik yang berasal dari kalangan tidak mampu tentu saja didasarkan pada kesadaran konstitusional untuk melindungi segenap bangsa. Mereka yang tidak mampu memerlukan kebijakan yang afirmatif. Dengan pendidikan yang memadai, mereka akan tertolong dan mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Saat ini, kalaupun ada diantara mereka yang dianggap kurang berprestasi sangat mungkin karena kondisi sosial ekonominya.

Kebijakan bagi mereka yang bersal dari keluarga tidak mampu secara ekonomi ini menunjukkan bahwa masalah pendidikan menjadi masalah lintas sektoral. Masalah yang melibatkan banyak instansi. Penerbitan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) mau tidak mau harus dievaluasi. Validasi data harus dilakukan bagi mereka yang tidak mampu. Dan peluang untuk menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan SKTM harus ditiadakan.  

Peran pemerintah daerah juga dituntut untuk mengimplementasikan anggaran pendidikan yang telah ditetapkan sebesar 20%. Politik anggaran yang berfihak pada peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan ini memerlukan dorongan kebijakan di tingkat operasional. Dan kebijakan zonasi dalam PPDB ini menjadi salah satu ketentuan yang seiring sejalan dengan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Walhasil, upaya yang diharapkan menjadi pendorong dalam pemerataan atau perluasan akses layanan pendidikan ini memiliki sejumlah tantangan dan hambatan. Namun dengan evaluasi dan perbaikan yang mendasar serta keterlibatan pemerintah daerah akan tercapailah misinya. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat konstitusi. Seluruh anak bangsa harus dilayani, tanpa kecuali.