Solusi Kelola Lahan Gambut Tanpa Bakar

Berdasarkan proses terbentuknya, sisa-sisa tumbuhan atau material organik yang setengah membusuk karena tergenang air dalam kondisi anaerobik yang menyebabkan akibatnya mengalami pembusukan yang tidak sempurna, terakumulasi selama puluhan hingga ratusan tahun sehingga membentuk jenis tanah yang kemudian disebut gambut.

Solusi Kelola Lahan Gambut Tanpa Bakar
ilustrasi lahan gambut/ net

MONDAYREVIEW.COM- Berdasarkan proses terbentuknya, sisa-sisa tumbuhan atau material organik yang setengah membusuk karena tergenang air dalam kondisi anaerobik yang menyebabkan akibatnya mengalami pembusukan yang tidak sempurna, terakumulasi selama puluhan hingga ratusan tahun sehingga membentuk jenis tanah yang kemudian disebut gambut.

Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosol yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat volume (BV) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff, 1999). Demikian menurut UNESCO. 

Tanah gambut tropika terbentuk melalui proses paludifikasi yaitu penebalan gambut karena tumpukan bahan organik dalam keadaan tergenang air. Bahan utama gambut tropika adalah biomassa tumbuhan, terutama pohon-pohonan. Karena bahan dan proses pembentukan yang khas, maka sifat tanah gambut sangat berbeda dari sifat tanah mineral.

Gambut yang tebal (dalam) dominan dibentuk oleh bahan organik, sedangkan gambut dangkal (tipis) dibentuk oleh bahan organik bercampur tanah mineral, terutama tanah liat.

Badan Restorasi Gambut (BRG) bersama PT Chevron Pacific Indonesia menggelar Sekolah Lapang Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar untuk petani di desa di sekitar area gambut yang tersebar di Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Siak, Riau

Hal itu, menurut Kelompok Kerja Edukasi dan Sosialisasi BRG Suwignya Utama, dilatarbelakangi oleh maraknya kebakaran di lahan gambut. Kegiatan ini, kata dia, diharapkan dapat menjadi solusi bagi masyarakat dalam mengolah lahan mereka.

Petani masih sangat tergantung pada lahan sebagai sumber penghasilan. Adanya larangan membakar mempersulit mereka. Untuk itu, petani gambut dilatih mengelola lahan dengan pertanian alami yang ramah lingkungan dan menggunakan pupuk alami.

Basis pengembangan Sekolah Lapang Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar adalah kearifan lokal dari desa-desa di sekitar wilayah restorasi gambut karena kegiatan tersebut merupakan bagian dari Desa Peduli Gambut (DPG) yang saat ini ada 624 DPG yang dibangun oleh BRG dan mitra restorasi.

Pelatihan yang diadakan selama empat hari dan diikuti 20 orang dari 10 desa di sekitar area gambut yang tersebar di Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Siak itu akan membekali peserta tentang pentingnya menjaga gambut dan teknik pengelolaan yang ramah lingkungan.

Selain itu dalam pelatihan yang digelar di Desa Sintong Pusaka, Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Riau itu, peserta juga akan langsung praktik mengelola lahan dan menanam bibit di areal demonstrasi plot (demplot) menggunakan alat pertanian yang diberikan berupa mesin pencacah multifungsi, pompa air, dan alat tebas, serta cangkul.

Sementara itu GM Corporate Asset PT Chevron Pacific Indonesia Sukamto Thamrin mengharapkan kegiatan pelatihan tersebut bisa menjadi percontohan bagi masyarakat lain untuk mengelola lahan tanpa membakarnya.

Hal senada diungkapkan Manajer Senior Hubungan Kelembagaan Bisnis SKK Migas, Safei Syafri bahwa kegiatan pelatihan itu perlu dicontoh oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) lainnya, terutama dalam menyusun pola sinergi antara pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya.

Menurutnya ini bagian dari sejumlah besar inisiatif dalam membangun keberlanjutan sektor hulu migas, menyediakan transparansi dan akuntabilitas petani lahan gambut, dan meningkatkan ekonomi masyarakat, serta lingkungan hidup yang baik.