Setuju Penggantian UN, PGRI Minta Pemerintah Waspada
Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Masa Bakti XXI, Didi Suprijadi mengatakan mendukung kebijakan mengganti Ujian Nasional (UN) dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter tersebut, namun mengingatkan pemerintah untuk hati-hati.

MONITORDAY.COM - Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Masa Bakti XXI, Didi Suprijadi mengatakan mendukung kebijakan mengganti Ujian Nasional (UN) dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter tersebut, namun mengingatkan pemerintah untuk hati-hati.
"Kami dari guru sebagai yang akan melakukan ini jangan coba-coba kan perlu kajian yang betul. Kami dari PGRI setuju-setuju saja, senang senang saja tapi emang tadi harus hati-hati," kata Didi di Hotel Ibis, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (14/12/2019).
Ia mengakui pihaknya telah melakukan survei pada 2012, dari hasil survei guru di Indonesia tersebut banyak guru yang setuju agar UN diganti.
"Kalau urusan setuju tidak setuju kami dari PGRI itu sudah mengadakan kecil-kecilan lah survei, ya riset, itu tahun 2012. Itu guru setelah ditanya dari seluruh Indonesia karena kami kan punya anggota seluruh Indonesia. 70 Persen lebih itu mengatakan minta diubah UN itu dari guru," jelasnya.
Menurut Didi, polemik soal UN ini sudah lama berlangsung, bahkan di periode sebelumnya. Bahkan, ada kesan kajian UN dan kurikulum pendidikan selalu berganti setiap kali ganti menteri pendidikan. Karena itu, Didi mengingatkan pemerintah untuk hati-hati dalam melakukan kajian.
"Pengalaman ini membuktikan pada periode yang lalu, geger juga ini masalah UN ini kan. Ujung-ujungnya menteri diganti, menteri baru, ribut lagi dengan UN lagi. Malah waktu itu ada kurikulum yang sudah diganti, balik lagi. Terus ada sekolah yang menggunakan kurikulum sampai macem-macem. Oleh sebab itu, memang kita harus hati-hati," ungkapnya.
Selain itu, Didi menyatakan soal regulasi saat ini yang masih memberatkan para guru. Salah satunya soal Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan sertifikat kepala sekolah yang berdampak pada penyaluran Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
"Kalau kepala sekolah tidak punya sertifikat maka dana BOS tidak akan dikeluarkan. Bayangkan dana BOS itu kan untuk anak-anak, untuk masyarakat kenapa kepala sekolah yang salah dana bosnya yang diancam. Jadi semua itu harus dideregulasi di Kemendikbud," tambahnya.