Sabar: Kunci Sukses Perjalanan Hidup Manusia

MONITORDAY.COM - Hidup adalah perjalanan, berawal dari Allah dan kembali kepada Allah subhanahu wata’ala (Swt). Indikator perjalanan ini bagi kalangan muslim tercermin dalam pernyataan: ”Innalillahi wa inna ilaihi ro’jiun” terucap secara spontan pada saat menerima kabar kematian seseorang terutama kerabatnya.
Ketika hadir dimuka bumi, manusia dalam keadaan suci dan memiliki potensi untuk tetap mempertahankan kesuciannya atau mengubahnya menjadi kotor. Hal ini terungkap dalam sabda Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasalam (Saw):” Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi”(HR. Abu Hurairah).
Adapun terkait dengan potensi manusia untuk tetap berada dalam kesucian atau mengubahnya menjadi kotor tercermin dalam firman Alloh Swt: “maka Aku mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”(QS.Asy-Syams [91]:7-9).
Tahapan perjalanan hidup manusia antara lain dilukiskan melalui firman Alloh: “Bukankah pernah datang kepada manusia waktu (yang singkat) dari masa (yang panjang), yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur” (QS. Al-Insan [76]:1-3).
Menurut sebagian mufasir, tahapan kehidupan manusia berdasarkan ayat ini diawali pada masa alam rahim (pertemuan sperma dan sel telur, kemudian menjadi alaqah, mudghah, dan idhomah), lalu masa alam dunia dimulai dari masa bayi yang suci, dilanjutkan masa anak-anak, masa remaja, kemudian masa tua sesuai dengan waktu yang sudah di tentukan (ajal). Akhirnya kembali kepada Alloh untuk menjalani kehidupan yang kekal di alam akhirat melalui kematian,proses kebangkitan kembali, pengumpulan, penghisaban, dan pembalasan atas keberhasilannya menjaga kesuciannya.
Keadaan suci ini merupakan hal yang sangat penting, mengingat ketika hadir di alam dunia manusia berada dalam keadaan suci, konsekwensi logisnya saat kembali kepada Alloh Swt mestinya manusia dalam keadaan suci juga.
Menjaga kesucian selama menjalani kehidupan merupakan ujian yang cukup berat bagi manusia. Mengingat selama menjalani kehidupannya manusia diganggu oleh dua kekuatan besar, yaitu: dorongan nafsu dan gangguan syaithon. Keduanya, sangat dominan mengganggu manusia terutama dalam proses memenuhi kebutuhan jasmaniah dan ruhaniah yang harus diwujudkan secara adil dalam rangka mempertahankan kesuciannya.
Alloh mendiskripsikan karakteristik hawa nafsu dalam firman-Nya: “Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS.Yusuf [12]:53). Adapun mengenai karakteristik syaithon, Alloh berfirman: “Sesungguhnya (setan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah” (QS.Al-Baqarah [2]:169)
Bagaimana cara efektif meraih sukses dalam perjalanan hidup mempertahankan kesucian?.
Allah Swt berfirman:“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk”(QS.Al-Baqarah [2]:45). Pada ayat lainnya, “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar”(QS.Al-Baqarah [2]:153).
Sabar menurut Imam Al Ghazali ialah memilih untuk melakukan perintah agama ketika datang desakan nafsu. Hal ini dapat dimaknai, kalau nafsu menuntut kita untuk berbuat sesuatu, tetapi kita memilih kepada yang dikehendaki Allah Swt, maka disitu ada kesabaran. Sebaliknya, bila kita didesak oleh nafsu dan memenuhi tuntutan nafsu tersebut, maka disitu tidak ada kesabaran. Dengan demikian, kesabaran terjadi ketika ada desakan nafsu atau ketika ada konflik dalam jiwa.
Menurut para ulama paling tidak ada tiga jenis kesabaran: Pertama, sabar dalam menghadapi musibah. Kedua, sabar dalam melakukan ibadat. Ketiga, sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat.
Musibah yang menimpa manusia pada hakekatnya merupakan cara Alloh membersihkan jiwa manusia dari kesalahan atau dosa yang telah dilakukan (kecuali syirik) agar jiwa manusia tetap dalam keadaan suci. Ibadat dan menahan diri untuk tidak melakukan maksiat merupakan ikhtiar manusia untuk menjaga kesucian jiwanya. Dengan demikian, masing-masing kesabaran mempunyai pahala yang berbeda-beda disisi Allah Swt sesuai dengan tingkat kesulitannya dalam mewujudkan kesabaran.
Bagi setiap orang yang bersabar baik dalam menerima musibah, melaksanakan ibadat, maupun menahan diri untuk tidak melakukan maksiat, al-qur’an menjelaskan bahwa mereka akan diberi pahala yang berlipat ganda di dunia maupun di akhirat:”mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”(QS.Al-Baqarah [2]:157).
Ayat ini mengungkapkan ada tiga pahala yang akan diraih oleh orang yang bersabar, yaitu: shalawat (keselamatan yang sempurna), rahmat (kasih sayang Allah yang paripurna), dan hidayat (petunjuk Allah untuk menempuh jalan lurus ketika menghadapi kesulitan). “Dan ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu beriringan dengan kesabaran. Jalan keluar beriringan dengan kesukaran. Dan sesudah kesulitan itu akan ada kemudahan” (HR. Ahmad). Wallohu’alam bi showab.