Hormati Ulama, Tapi Jangan Mengkultuskannya

Hormati Ulama, Tapi Jangan Mengkultuskannya
Ilustrasi santri di pondok pesantren

MONITORDAY.COM - Masyarakat Indonesia dikagetkan dengan kasus perbuatan asusila yang dilakukan oleh ustadz pengurus Ma'had Tahfizh dan Pondok Pesantren. Kejadian ini terjadi di Kota Bandung dan viral di media sosial. Pasalnya jumlah korban mencapai belasan orang, jumlah yang tak masuk akal.

Kejadian semacam ini tidak hanya terjadi di agama Islam. Menurut Tom Saptaatmaja, Alumnus Seminari St Vincent de Paul menulis di Majalah Tempo bahwa skandal seks di lingkup gereja mencuat pertama-tama berkat laporan majalah Newsweek pada Februari 2002. Menurut Newsweek, dalam kurun waktu 75 tahun terakhir, sekitar 2.000 pastor di AS telah menjadi pelaku kejahatan seks terhadap sekitar 46 ribu anak.

Salah satu yang terheboh adalah kasus pastor John Geoghan dari Keuskupan Boston, yang dalam kurun waktu 30 tahun telah menyodomi sekitar 130 anak. Syukur, pada 1998 pastor itu sudah divonis penjara 10 tahun. Masih banyak kasus lain terjadi di Amerika Serikat yang berpenduduk 61 juta Katolik (23 persen dari seluruh warga Amerika) dengan jumlah pastor sekitar 47 ribu orang. 

Timbul pertanyaan, mengapa agamawan bisa melakukan hal serendah itu? Hal ini tentu paradoks dengan ajaran agama yang mengajarkan pensucian hati dan pembinaan akhlak. Apakah para pemuka agama itu berani melakukan hal-hal yang bersifat amoral semata-mata karena nafsu birahi?

Saya punya dua hipotesis mengapa pemuka agama berani berbuat asusila. Pertama, pemuka agama merasa mempunyai posisi yang lebih tinggi, lebih benar dan lebih berkuasa dari santrinya. Dalam tingkat yang paling ekstrem, hal ini bisa membuat pemuka agama merasa boleh melakukan apa saja terhadap santrinya. Misalnya berupa pelecehan seksual.

Kedua, santri menganggap bahwa apa yang dilakukan gurunya itu selalu benar, tak pernah salah. Hal ini dalam bentuk ekstrem bisa membuat santriwati pasrah saja mau diapakan oleh gurunya. Dua asumsi ini saya rangkum dalam satu kata kunci, yaitu kultus.

Menurut kamus webster, kultus berarti "a situation in which people admire and care about something or someone very much or too much". Bagi kita yang hidup dalam masyarakat dan tumbuh dalam pendidikan modern, perilaku kultus menjadi asing bagi kita. Hal ini karena modernitas yang didasarkan pada sikap kritis dan skeptis tidak memberikan tempat bagi kultus yang memberikan wewenang mutlak bagi seseorang. Namun dalam masyarakat tradisional, kultus masih merupakan hal yang dapat dijumpai. 

Lord Acton pernah mengatakan, "Power tends to corrupt, absolute power absolutely corrupt", Saat seseorang diberi kekuasaan, dia akan cenderung menyalahgunakannya, apalagi kalau kekuasaannya mutlak, pasti disalahgunakan. Kultus berarti kita memberi kekuasaan mutlak kepada seseorang.

KH. Ahmad Dahlan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah pernah mengatakan, "Jadilah guru sekaligus murid". Hal ini berarti menurut kyai Dahlan bahwa murid dan guru itu sejajar posisinya. Artinya seorang guru tidak boleh membuat muridnya mengkultuskannya, walaupun tentu saja seorang murid harus tetap menghormati dan menghargai gurunya.

Tentu saja tidak mengkultuskan guru bukan berarti boleh tidak sopan atau tidak beradab kepada guru. Yang paling baik adalah pertengahan, yakni menghormati namun tetap rasional. Saat menerima perintah dari guru yang tidak masuk akal, seorang murid tidak boleh menurutinya. Namun jika guru memerintahkan untuk melakukan hal yang benar, murid wajib melaksanakannya.

Kita perlu menanamkan bahwa yang boleh kita kultuskan hanya Allah swt. Inilah tauhid, laa ilaaha illallah, bahwa tiada Ilah selain Allah. Hal ini berimplikasi bahwa selain Allah tidak ada yang mutlak, semuanya bisa salah, oleh karena itu kita harus tawashaw bil haq dan tawashaw bish shabr.