Rumitnya Konflik di Afghanistan dan Suriah

MONITORDAY.COM - Perang selalu membawa kompleksitasnya sendiri. Meski sama-sama dicap berideologi radikal, Taliban dan ISIS ternyata saling berperang satu sama lain. Pemimpin tertinggi Taliban menilai Khalifah Al Baghdadi yang telah tewas dalam sebuah serangan oleh pasukan Amerika Serikat pada 2019 adalah Khalifah Palsu. Sementara ISIS menilai Taliban telah memilih sikap politik yang sempit dan kompromistik.
Ringkasnya, salah satu perbedaan mendasarnya adalah Taliban ingin memperjuangkan Amirah Islam di bumi Afghanistan dan tidak akan membentuk pemerintahan transnasional yang disebut sebagai kekhalifahan atau proto-state. Bentuk negara terakhir ini yang diperjuangkan ISIS. Meski kekuatan de facto ISIS di Irak dan Suriah telah tereliminasi, tidak demikian dengan sel-selnya di berbagai belahan dunia.
Dua bom dekat Bandara Kabul mengkonfirmasi bahwa cabang ISIS Khorasan masih ada dan memiliki kekuatan untuk mengacaukan Afghanistan. Kelompok ini masih mengontrol sebagian wilayah Afghanistan yang berbatasan beberapa negara di sekitarnya. Banyak dari anggotanya adalah mantan anggota Taliban. Di peta kuno, wilayah Khorasan adalah wilayah yang berada di Jalur Sutra yang kini menjadi wilayah Iran, Afghanistan dan Asia Tengah. Di masa lalu wilayah ini menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi dan menghubungkan Barat dengan Timur.
Negeri tanpa laut berpopulasi antara 30 hingga 40 juta jiwa ini memerlukan perhatian komunitas internasional. Meski Taliban bersikukuh bahwa mereka tak ingin kekuatan asing menjajah dan menjadikan Afghanistan sebagai ajang perebutan pengaruh, ada banyak informasi yang menunjukkan bahwa mereka pun tak terlepas dari dukungan asing. Terutama dukungan intelijen Pakistan yang memiliki kepentingan untuk memperkuat posisinya di Asia Selatan. Demikian halnya dengan dugaan keterlibatan Pakistan dalam mendukung ISIS-Khorasan dengan alasan yang kurang lebih sama.
Hal inilah yang akan menjadi tantangan baru bagi Pemerintahan Afghanistan yang akan dibentuk di bawah pengaruh kuat Taliban. Sejauh ini ada kesepakatan bahwa pemerintahan baru adalah pemerintahan yang inklusif sehingga mengakomodasi banyak kelompok dengan berbagai latar belakang.
Perang di Afghanistan telah berlangsung kurang lebih 40 tahun, dimana 20 tahun Afghanistan menghadapi pemerintahan yang didukung Uni Sovyet dan 20 tahun menghadapi pemerintahan yang didukung AS. Pun sejarah perebutan kekuasaan di Afghanistan yang pernah menjadi kekuatan menentukan di Asia Selatan pada masa lalu sarat dengan perang.
Pada tahun 1973, Raja Zahir Syah terusir setelah kudeta tak berdarah dilancarkan sepupunya. Berubahlah Afghanistan menjadi Republik.
Dan pada 1978 kelompok komunis mengambil alih kekuasaan dan bertahan hingga jatuhnya pemerintahan pada 1992 mengiringi kejatuhan Uni Sovyet. Namun konflik antar faksi yang berlangsung antara 1992 hingga 1996 menyebabkan perang saudara. Kabul jatuh bangun dari satu faksi ke faksi lain. Ketokohan Presiden Burhanuddin Rabbani dan Menteri Pertahanan Ahmad Shah Masoud tak mampu meredam konflik. Dan akhirnya jatuhlah kekuasaan ke tangan Taliban pada 1996 hingga 2001.
Belajar dari konflik Suriah
Perang saudara di Suriah telah berlangsung lebih dari 10 tahun. Perang ini merupakan bagian dari revolusi Arab Spring yang menjatuhkan sejumlah pemerintahan. Perang yang semula bertujuan menjatuhkan Presiden Bashar Assad oleh oposisi berubah arah menjadi ajang proxy kekuatan dunia.
Kini Pemerintahan Bashar Assad yang didukung Rusia dan Iran menghadapi berbagai macam kekuatan di luar mereka. Amerika Serikat mendukung oposisi Kurdi yang memperjuangkan kemerdekaannya atas kekuasaan Irak, Suriah, dan Turki.
Di tengah konflik yang rumit menguatlah pengaruh Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir serta Sunni Salafi. Al Qaeda juga masuk. Muncullah kelompok kuat Jabhat Al Nusra yang digolongkan AS sebagai jihadis salafis yang memerangi semua kelompok non-Sunni termasuk Syiah Alawiyin yang dianut Assad. Setelah berganti nama beberapa kali, transformasi kelompok ini mengklaim bahwa mereka bukan bagian dari Al Qaeda.
Pada kurun 2014 dideklarasikan ISIL atau ISIS. Salah satu ibukota terlamanya adalah Raqqa di Suriah Utara. Hingga 2017 Raqqa menjadi pusat kontrol dan komando ISIS. SDF menjadi kekuatan penentu dalam menaklukkan ISIS di Raqqa. Dan pada 2019 kekuatan ISIS makin tak terdengar setelah tewasnya Sang Khalifah Abu Bakar Al Baghdadi dalam sebuah serangan udara.
Posisi rumit ada pada bangsa Kurdi. Yekîneyên Parastina Gel (YPG) yang merupakan gerakan politik orang Kurdi menjadi elemen utama tentara Syirian Democratic Forces. Sebagian dari milisi ini berdarah Arab dan asing. AS mendukung kelompok ini. Sementara SDF berhadapan dengan Turki. Di sisi lain secara bersama-sama Turki, AS dan SDF berhadapan dengan ISIS. Dan mereka semua berhadapan dengan Pemerintahan Assad.
Kini peta kekuatan di Syiria didominasi oleh Pemerintahan Assad dan Kurdi. Sebagian wilayah lainnya dikontrol oleh kekuatan oposisi non-Kurdi. Damaskus sebagai kota peradaban tertua kini menjadi kota yang paling tak layak huni. Apalagi Mosul dan Raqqa yang lebih hancur. Meski demikian denyut nadi kehidupan masih saja terasa.
Tak kurang dari 500 ribu orang tewas dan 6 juta orang mengungsi dari Suriah. Sebagian mengungsi ke Eropa. Populasi negeri ini kini sulit dipastikan. Salah satu sumber menyebutkan jumlah penduduk sekira 17 juta.
Dari perang di Afghanistan dan Suriah kita dapat mengambil pelajaran betapa konflik yang terjadi dapat tumbuh menjadi sedemikian kompleks. Negosiasi dan jalan damai untuk mengakhiri perang akan sangat berarti dalam upaya membangun peradaban.