Facebook Diboikot, Medsos Hadapi Dilema

Hari demi hari semakin banyak perusahaan besar bergabung dengan boikot  terhadap Facebook. Mereka tak mau lagi pasang iklan sebagai protes atas maraknya ujaran kebencian di platform tersebut. Termasuk ujaran kebencian yang diposting seorang Presiden sekalipun. Sebuah paradoks karena selama ini kita menganggap bahwa Facebook menjadi salah satu media sosial yang memberi lebih banyak kebebasan berekspresi dibanding media massa yang dinilai mulai mudah terbeli.  

Facebook Diboikot, Medsos Hadapi Dilema
ilustrasi/ faza

MONDAYREVIEW.COM – Hari demi hari semakin banyak perusahaan besar bergabung dengan boikot  terhadap Facebook. Mereka tak mau lagi pasang iklan sebagai protes atas maraknya ujaran kebencian di platform tersebut. Termasuk ujaran kebencian yang diposting seorang Presiden sekalipun. Sebuah paradoks karena selama ini kita menganggap bahwa Facebook menjadi salah satu media sosial yang memberi lebih banyak kebebasan berekspresi dibanding media massa yang dinilai mulai mudah terbeli.  

Jika di Indonesia pemilik akun berhadapan dengan Undang-undang ITE maka di Amerika Serikat mereka berhadapan dengan kekuatan modal. Nafasnya bergantung pada keputusan para kapitalis yang menjadi pemasang iklan.

Boikot atas FB dan IG kali ini dipelopori oleh The North Face, REI dan Patagonia. Kemudian Verizon, Hershey, dan Honda America ikut serta dalam protes tersebut. Disusul Starbucks, Levi's dan Diageo dan sejumlah pengiklan besar lainnya.

Penggalangan aksi boikot ini diawali oleh sebuah tagar. Jamak terjadi di zaman ini sebuah tagar mampu mewakili suara khalayak ramai. Di  pertengahan Juni 2020 #StopHateforProfit mulai menggema. Penyokongnya kelompok penekan ad hoc yang dibentuk oleh Liga Anti-Pencemaran Nama Baik, NAACP, dan beberapa lembaga yang telah meminta perusahaan untuk menunda iklan mereka di Facebook Instagram. Pemasang iklan tentu memperhatikan seruan tagar itu setelah melihat respon publik yang kuat.

Arah dan maksud aksi ini jelas. Tujuan akhirnya memaksa CEO perusahaan Mark Zuckerberg untuk menyensor dan menekan rasisme, informasi yang salah tentang vaksin, anti-Semitisme, ancaman kekerasan, dan materi retrograde lainnya yang diposting di sana. Kita pun melihat jalan persimpangan yang harus dihadapi media sosial. Jika mulai banyak sensor bukan tidak mungkin kepentingan tertentu bermain karena ukuran ujaran kebencian tergantung pada penafsiran yang seringkali bias.

Kebebasan individual seringkali dianggap memberi kesempatan pada penebar kebencian untuk melukai perasaan kolektif. Pada bulan Juni, ketika Facebook mengabaikan standarnya sendiri dengan membiarkan Presiden Donald Trump memposting pesan yang mengancam. Trump menulis "... ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai". Saat itulah para pekerja Facebook melakukan pemogokan Facebook secara virtual.

Pihak Facebook berdalih tidak memperoleh keuntungan dari ujaran kebencian. Miliaran orang menggunakan Facebook dan Instagram karena mereka memiliki pengalaman yang baik. Pada saat yang sama mereka tidak ingin melihat konten yang penuh kebencian, pengiklan Facebook tidak ingin melihatnya, dan Facebook juga tidak ingin melihatnya.

Facebook pun tidak menjelaskan apa dampak boikot tersebut terhadap Indonesia, namun, menyatakan mereka berinvestasi miliaran dolar setiap tahun, baik pada orang dan teknologi, untuk menjaga keamanan platform tersebut. Mereka menambah tim di bagian keselamatan dan keamanan hingga kini berjumlah lebih dari 35.000 orang.

Sejumlah perusahaan besar menarik iklan mereka dari Facebook karena platform tersebut dianggap tidak bertindak cukup untuk mengatasi ujaran kebencian. Boikot ini bermula dari keputusan jejaring sosial yang didirikan oleh Mark Zuckerberg untuk tidak menghapus unggahan yang kontroversial dari Presiden AS Donald Trump tentang aksi protes anti-rasisme.

Clegg lembih lanjut menegaskan bahwa ketika Facebook menemukan unggahan yang penuh kebencian di Facebook dan Instagram, Facebook mengambil pendekatan tanpa toleransi dan menghapusnya. Ketika konten gagal diklasifikasikan sebagai ujaran kebencian atau kebijakan Facebook yang lain yang bertujuan mencegah kerusakan di dunia nyata atau penindasan pemilih,

Selama ini Facebook berada di sisi kebebasan berekspresi karena pada akhirnya, cara terbaik untuk melawan ujaran yang menyakitkan, memecah belah, dan menyerang adalah dengan lebih banyak bicara. Setiap orang seakan pemilik media dengan memiliki akun dan halaman sendiri. Tanggung jawabnya bersifat pribadi. Dan platform ini hanya menyediakan tempat atau lapak secara virtual.

Inilah dilema media sosial. Facebook bukannya diam. Dengan algoritma mereka bertindak menyesor postingan. Tentu saja kita patur bertanya apa bedanya platfrom ini dengan media mainstream jika akhirnya tetap harus menyensor. Facebook pada Juni lalu menghapus hampir 90 persen dari ujaran kebencian sebelum dilaporkan pengguna. Pada kuartal pertama 2020 mereka menghapus 9,6 juta konten.

Mark Zuckerberg telah menampik ancaman boikot yang menghukum dari pengiklan besar yang menekan Facebook untuk mengambil sikap yang lebih kuat dalam pidato kebencian dan mengatakan mereka akan kembali beriklan dengan segera.

Kita lihat saja lanjutan dari drama ini. Yang jelas media sosial dan apa yang disebut dengan personal media mendapat tantangan baru. Berhadapan dengan dengan suara khalayak dan kepentingannya yang beririsan dengan modal yang mengalir bersama produk-produk yang menghidupi platform-platform tersebut.