Rivalitas Hukum Pajak, Halal atau Haram?

Rivalitas Hukum Pajak, Halal atau Haram?
Foto: flazztax.com

MONITORDAY.COM - Topik penentuan hukum islam selalu menjadi bahan perbincangan asik yang memicu polemik. Rivalitas halal dan haram menyeret berbagai sudut pandang. Namun ini bukan masalah yang serius, pasalnya hal-hal furu’ seperti muamalah memang selalu diwarnai oleh perbedaan. Arti kata fiqih itu sendiri pemahaman, maka wajar saja jika pemahaman dan pendapat tiap orang berbeda.

Kali ini soal pajak. Seperti angka nol, persoalan apakah pajak halal atau haram tidak pernah ada ujungnya. Satu hal yang harus kita lakukan adalah mengambil sikap dan memutuskan pemahaman kita. Faktor yang membentuk framing halal dan haram ini dikarenakan tidak satupun ayat Al-Quran menyebut tentang pajak.

Adapun yang diterjemahkan pajak di dalam surah At-Taubah bukan spesifik merujuk ke pajak, tapi jizyah dan esensinya tetap sama. “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar Jizyah (Pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”

Pajak dalam bahasa arab disebut dhariibah artinya tanggungan atau beban. Yusuf Al-Qardhawi dalam Kitab Fiqh Zakat mengatakan bahwa pajak adalah kewajiban tambahan bagi kaum muslim setelah zakat, dimana dalam pelaksanaannya akan dirasakan sebagai sebuah beban atau tanggungan yang berat karena menanggung kewajiban selain kewajiban yang pokok.

Lalu bagaimana pajak ini dihukumi halal atau haram?

Perang dalil sudah biasa terjadi di kalangan para mujtahid (pembuat ijtihad). Kelompok mujtahid yang menghukumi pajak haram mendasarkan argumen mereka pada dalil-dalil berikut.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….” (Q.S An-Nisa: 29). Dalam sebuah hadis yang shahih Rasulullah Saw bersabda: “Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.”

Hadis lain mengungkapkan secara khusus keharaman pajak. Dari Abu Khair r.a beliau berkata; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit r.a, maka Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka.” (HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930)

Sedangkan mujtahid yang menghukumi halal mengacu pada dalil-dalil berikut.

Dalam Q.S Al-Baqarah ayat 177 muslim diperintah untuk mengeluarkan harta selain zakat yang berbunyi “...Dan berikanlah harta yang dicintai.” Rasulullah SAW juga bersabda dengan hal serupa: “Di dalam harta terdapat hak-hak yang lain di samping zakat.” (H.R. Tirmidzi)

Menanggapi perbedaan pemahaman hukum pajak, jumhur ulama madzhab menyatakan bahwa pajak diperbolehkan demi kepentingan negara. Ulama Madzhab Syafi’i, seperti Imam al-Ghazali, menyatakan bahwa memungut uang (pajak) selain zakat pada rakyat diperbolehkan  untuk kepentingan kas di Baitul Mal/kas negara ketika negara tidak bisa mencukupi kebutuhan negara, baik untuk perang atau keperluan negara lainnya. Namun jika masih tersedia kas di Baitul Mal, maka tidak boleh memungut pajak.

Sedangkan jumhur ulama Madzhab Hanafi, seperti Muhammad Umaim al-Barkati, menyebutkan bahwa pajak adalah naibah. Muhammad Umaim berpendapat naibah (pajak) itu boleh jika memang dibutuhkan untuk keperluan umum atau keperluan perang.

Lalu jumhur ulama Madzhab Maliki, seperti Imam Al-Qurtubi, mengemukakan hal serupa tentang dibolehkannya menarik pungutan (pajak) selain zakat apabila dibutuhkan.

Selanjutnya ulama kontemporer, Yusuf al-Qardhawi menjelaskan dalam kitabnya Fiqh Zakat, negara kadang-kadang tidak sanggup memenuhi kebutuhan pembangunan. Untuk itu, pajak harus dikumpulkan sebagai salah satu bentuk jihad harta.

Jauh sebelum itu, pelaksanaan pajak ternyata memang sudah dipraktekkan sejak Rasulullah Saw menjabat sebagai kepala negara. Hanya saja bentuknya yang berbeda. Pajak yang dimaksud disini adalah pendapatan kas negara. Sedangkan istilah pajak/dharibah baru muncul sebagai hasil ijtihad akibat tidak adanya sumber pendapatan kas negara di masa kosongnya peperangan.

Dulu, sumber pendapatan negara biasanya berasal dari ghanimah (harta rampasan perang), fai (harta rampasan tanpa peperangan), dan zakat. Ketiga sumber inilah yang digunakan untuk menggaji tentara, biaya hidup Rasulullah dan keluarga, pembangunan infrastruktur dan berbagai pengeluaran umum.

Tetapi, karena pesatnya jumlah orang yang masuk islam, peperangan sudah mulai berkurang. Akhirnya sumber pemasukan negara pun berkurang. Hingga pada masa kepemimpinan Umar bin Khatthab ra, pemerintah negara memungut ‘usyr alias pajak 10% atau bea sebesar 10% atas suatu komoditas tertentu demi kemaslahatan masyarakat.