Revisi Yang Terganjal Definisi

Rapat kerja DPR dan pemerintah menghasilkan dua opsi definisi terorisme, apakah frasa motif politik dan ideologi akan disahkan dalam paripurna DPR?

Revisi  Yang Terganjal Definisi
Densus antiteror/net

MONDAYREVIEW- Rancangan Undang-Undang (RUU) rencananya akan disahkan pada Jumat besok, 25 Mei 2018. Sebelumnya, DPR sempat diminta Presiden Jokowi untuk segera merampungkan RUU Antiterorisme ini, setelah terjadi teror bom yang menyerang tiga gereja dan Polresta di Surabaya.

Alotnya pembahasan tentang RUU ini terakhir menyangkut soal definisi. Menurut Ketua Pansus RUU Antiterorisme, Muhammad Syafii, pemerintah yang terdiri dari unsur Kapolri, Panglima TNI, Menko Pulhukham dan Menteri Pertahanan awalnya sudah sepakat dengan frasa motif politik dalam definisi terorisme. Namun, ada penolakan dari satuan Detasemen Khusus Antiterors 88 (Densus 88).

Alasannya, jika frasa politik dimasukan dalam definisi akan memperempit ruang gerak Densus dalam penangkapan, karena harus diketahui dulu adanya motif politik. Namun, DPR punya alasan lain. “Kami tidak ingin kembali ke era subversif, karena anggak ada batasan yang valid, bisa ditarik sana-sini,” jelas Syafii.

Dalam pembahasan Rabu lalu, belum ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah soal definisi terorisme dalam revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun, dalam rapat kerja yang berlangsung lima jam ini, menyisakan dua opsi.

Definisi pertama, “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/ atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas Internasional.”

Definisi kedua, “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/ atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas Internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.”

Pihak DPR tetap mempertahankan alasan politik dan ideologi dalam merumuskan definisi terorisme. Menurut Syafii, setiap tindakan terorisme pasti punya muatan politik, seperti ISIS yang ingin mendirikan negara Islam. “Coba catatlah teroris di seluruh dunia, mana sih yang nggak ada tujuan politiknya? “ kata anggota Fraksi Partai Gerindra ini.

Sementara itu, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, Enny Nurbaningsih menyatakan bahwa definisi terorisme yang diajukan diambil dari Pasal 6 dan 7 UU Antiterorisme. Karena, batasan politik dan ideologi akan mempersulit untuk pembuktiannya.  “Pembuktian tujuan ideologi dan politik yang melatarbelakangi aksi teror bakal tidak mudah, risikonya terduga teroris bisa lepas dari jerat hukum,” jelas Enny.

Revisi UU Antiterorisme diajukan pemerintah pada Februari 2016, setelah terjadi teror bom Thamrin, 14 Januari 2016. UU tersebut merupakan penetapan Perppu No 1 tahun 2002, yang isinya singkat dan padat serta belum mencakup semua pendekatan yang dibutuhkan dalam pemberantasan terorisme

Pemerintah mengajukan poin perubahan, antara lain batas waktu penambahan batas waktu penangkapan dan penahanan, yang awalnya selama 6 bulan, namun akhirnya disepakati menjadi 14 hari. Lalu, ada pelibatan TNI dan izin penyadapan cukup dari hakim pengadilan. Selain itu, untuk tindakan preventif dilakukan antara lain dengan mencabut paspor bagi WNI yang terlibat pelatihan militer teroris di luar negeri, pengawasan terhadap terduga dan mantan terpidana terorisme dan proses rehabilitasi.

Sebelumnya, pelibatan TNI dalam pemberantasan korupsi sempat diprotes oleh Setara Institute. Keterlibatan TNI sebenarnya sudah diatur dalam UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI sebagai satu dari 14 operasi militer, selain perang. Artinya, jika dimasukan dalam UU antiterorisme, malah bertentangan dengan Pasal 7 UU No 34 Tahun 2004, yang mengharuskan adanya kebijakan dan keputusan politik negara dalam melibatkan TNI.

UU Antiterorisme menjadi perhatian banyak pihak, mengingat ancaman keamanan mulai mengkhawatirkan, terutama di tahun politik ini. Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas menemui Ketua DPR Bambang Soesatyo Senin lalu (21/5) untuk mengajukan beberapa usulan. Salah satunya, Muhammadiyah berharap pemerintah dan DPR menyusun revisi UU Antiterorisme dengan cermat.”Jangan sampai terorisme digunakan sebagai dalih untuk melakukan kesalahan yang pernah terjadi di masa Orde Baru,” jelas mantan Pimpinan KPK ini.

Karena itu, pemberantasan terorisme harus tetap berada dalam koridor penegakan hukum dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Pelibatan TNI juga memerlukan kehati-hatian, hanya dilakukan dalam kondisi darurat dan menjadi pilihan terakhir. Cukup dengan keputusan politik Presiden bersama DPR.

Muhammadiyah juga berharap bisa dilakukan evaluasi terhadap kerja-kerja pemberantasan terorisme yang selama ini dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 Mabes Polri, karena kemungkinan ada kesalahan dalam penangangan kasus terorisme.

Selain itu, Muhammadiyah juga mengusulkan agar status kelembagaan BNPT berubah menjadi Komisi Nasional Penanggulangan Terorisme (KNPT), sehingga bisa melibatkan unsur dari TNI, Polri, tokoh masyarakat, tokoh agama dan akademisi.

Aspirasi masyarakat seharusnya didengar oleh DPR dan pemerintah, karena isu terorisme bukan sekedar penegakan hukum, juga pencegahannya. Semua pekerjaan besar ini harus melibatkan semua unsur di masyarakat, terutama tokoh agama dan ormas keagamaan.

Keputusan final Revisi UU Antiterorisme ini akan ditentukan Jumat besok dalam rapat paripurna DPR, apakah akan langsung disahkan atau masih terganjal dengan definisi terorisme?